Waktu itu usiaku sembilanbelas tahun. Memasuki awal masa dewasa dengan pengalaman minim tentang dunia kaum lelaki. Sosoknya yang matang dan mempesona telah menyerap seluruh energi yang kumiliki. Membuatku terbelenggu oleh rasa cinta secara intens. Kurasa ketika itu aku menghabiskan terlalu banyak waktu untuk melamun. Ia menjadi subyek obsesiku sepanjang waktu. Termasuk ketika tidur, dimana pak Bob mengisi alam mimpiku secara bebas dan liar. Mencapai puncaknya enam bulan sesudah kencan pertama kami.
Kami merencanakan hari kebebasan itu secara detail dan seksama. Â Ia bermaksud mengajukan ijin cuti satu hari, bertepatan dengan hari libur kuliahku. Itu hari Sabtu. Istri pak Bob sudah memberitahu bakal tidak pulang ke Bandung karena ikut acara gathering di kantor.
Kesempatan itu dimanfaatkannya mengajakku ke daerah Pengalengan mengunjungi villa milik keluarganya. Â Konon suasana di sana bukan hanya sejuk, tetapi juga wangi karena dikelilingi tanaman Melati sebagai bahan campuran membuat teh.
Tentu saja ide itu kusambut dengan sangat antusias. Â Ia menjemputku Sabtu subuh. Jarak tempuh sekitar 50 km kami jalani sekitar satu jam dalam suasana santai. Sesuai kesepakatan hari ini kami akan menikmati kebersamaan hanya berdua saja. Tidak mau diganggu oleh apapun. Karena itulah pak Bob sengaja meninggalkan Pagernya di rumah. Toh ia sudah mengajukan cuti. Bila ada sesuatu yang krisis menyangkut pasiennya bisa ditangani rekannya yang sedang piket.
Sesuai yang kuangankan, acara piknik kami berjalan begitu menyenangkan. Â Kami bergandengan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi kebun teh diselingi rumah-rumah peternakan. Udara sejuk menguarkan harum daun teh berbaur dengan aroma pakan ternak dan kotoran hewan.
Tibalah kami di villa milik keluarganya. Terletak di atas bukit, berbentuk mungil. Luasnya tak lebih dari tigaratus meter. Seluruh dindingnya terbuat dari kayu kamper. Berlantai parket. Perpaduan yang sangat estetik, menyatu dengan alam sekitarnya yang dikelilingi hambaran perkebunan.
Dengan antusias pak Bob menggandeng tanganku menyusuri perkebunan bunga Melati. Kami menapaki jalan berkerikil dengan deretan tanaman perdu yang putih bersemu kekuningan di kanan-kirinya. Matahari mengirimkan sinarnya yang hangat meningkahi bunga-bunga yang menampilkan nuansa keemasan. Angin pagi menjelang siang berhembus sepoi-sepoi. Mengirimkan aroma harum memabokkan. Dibawah sinar surya kupandangi lelaki pujaanku. Wajahnya terang, tampan dan cerdas. Lelaki pertama yang mengirimkan sinyal batiniah ke kalbuku. Membuatku begitu tershisap kedalam pusaran cinta yang membelenggu.
Ia memetik sekuntum Melati, menyematkannya ke telingaku.
"Engkau adalah bunga keabadian," bisiknya dengan sorot mata memuja sambil membelai wajahku. "Cantik, anggun dan bersahaja."
Aku merasa sebegitu tersanjung oleh rayuannya sehingga melupakan semuanya. Jadi tatkala kami masuk kedalam villa untuk menikmati istirahat siang kuputuskan secara bulat, bahwa aku akan menyerahkan seluruh jiwa ragaku untuknya.
Persetan semuanya! Aku begitu mabuk oleh cinta. Siap menyelaminya hingga ke dasar jurang.
Kini cintaku tersekap didalam kamar berdinding kayu yang memberi kesan damai dan natural. Setelah setengah hari menikmati keindahan perkebunan berhawa sejuk kami berdua sama-sama lelah. Butuh melepaskan diri.
Pak Bob membaringkan tubuhnya dengan bertelanjang dada.