Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lorong Kehidupan (2)

2 Oktober 2021   06:22 Diperbarui: 2 Oktober 2021   06:42 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

L O R O N G    K E H I D U P A N    (  2  )

Setelah perkenalan pertama kami tuan Deng secara khusus meminta ijin kepada suamiku dan keluarganya agar memperbolehkan putrinya mengunjungiku secara rutin. Untuk belajar melukis dan kaligrafi. Ibu mertuaku bersikap tidak peduli. Namun suamiku sama sekali tidak keberatan.
Terkadang tuan Deng datang sendiri untuk mengantar atau menjemput putrinya. Biasanya diselingi berbincang sambil menikmati acara minum teh bersama suami. Namun bila sibuk ia akan menyuruh pelayan pribadi mengantar dan menunggui Yin-yin.

Kehadiran Yin-yin dan tuan Deng dalam hidup keseharianku mirip secercah cahaya rembulan di tengah kegelapan langit. Muncul sesaat sebelum tertelan kepekatan malam. Perasaanku kutuangkan ke kanvas, "MUNG XIA DE YE LIANG". Rembulan dalam impian.
Lama tuan Deng berdiri di depan kanvas. Mencermati karyaku. Lalu memandangku dengan sorot matanya yang tajam. Secara spontan ia mengambil kuas. Menambahkan "SHI WANG DE DAI YANG" , matahari harapan di bawah goresan penaku. Tersirat hasratnya yang kuat untuk menyemangatiku.
Ia kembali memandangku cukup lama sebelum mengembalikan kuas kepadaku.
"Engkau wanita cantik dan anggun," ujarnya dengan nada tulus. " bangkitlah seperti matahari yang terbit setiap hari. Bagikan sinarmu kepada sekitarmu." Lantas ia menyinggahkan tatapannya kepada putrinya. Hangat menyayangi. "Termasuk bagi kami berdua."
Kurasakan pelupuk mataku memberat oleh air yang tak mampu kucurahkan.
"Akan kuingat terus kata-katamu tuan Deng," kataku membuang muka. Tak kuasa menerima pandangan maupun hujaman kata-katanya.
Aku merasa begitu menderita terbelenggu oleh cinta yang tak mampu kutuntaskan. Kepada Yin-yin dan ayahnya.

Siapa yang menduga cercah harapanku muncul melalui tampilnya sosok lain yang sama sekali tak pernah kuperhitungkan. Siap meruntuhkan keluarga berumur ratusan tahun dan berdiri kokoh menjalani tradisi feodal yang angkuh itu.
Hari itu rumah keluarga Tsang ditimpa kepanikan dan kesibukan luar biasa.
Bupati yang baru berniat mengutus ajudannya berkunjung ke tempat tinggal dan area pemeliharaan serta produksi benang sutra milik keluarga Tsang sudah berjalan hampir empat generasi.
Pada masa itu seorang bupati punya kekuasaan bagai raja kecil. Dialah yang berhak menentukan besaran pajak serta upeti yang harus diserahkan terhadapnya untuk mengisi kas daerah serta kantong pribadi. Korupsi dan pemanfaatan jabatan sudah lazim terjadi. Apalagi sejak terjadinya revolusi yang berhasil menggulingkan kekuasaan kaum bangsawan dan tuan tanah. Beralih  ke tangan kaum buruh dan militer

Suamiku sebagai anak sulung adalah ketua marga serta pimpinan perusahaan keluarganya. Kelangsungan hidup generasi Tsang kini ada di tangannya. Sementara ia bukan lelaki berkarakter kuat. Kurang punya persiapan mental menghadapi kehadiran seorang pejabat daerah yang bisa membolak-balikkan nasibnya sesukanya.
Konon sang ajudan yang akan berkunjung adalah tangan kanan kepercayaan sekaligus menantu sang bupati.  Konon Selama ini dialah yang selalu tampil secara resmi guna melaksanakan berbagai kebijaksanaan demi melindungi kekuasaan serta kepentingan mertuanya. Hadi secara tidak resmi dialah Kepala Daerah yang sesungguhnya.      

Ajudan itu datang menjelang malam beserta beberapa orang anak buahnya. Tuan Tsang menyambutnya di gerbang masuk didampingi staf administrasi perusahaan. Termasuk jajaran pelayan dan kepala juru masak.
Ia lelaki yang pongah dan banyak tingkah. Berjalan tegap memasuki rumah tanpa mengindahkan suamiku dan para penyambutnya yang bersoja menangkupkan tangan dengan badan membungkuk terhadapnya. Postur tubuhnya kokoh. Langkahnya panjang dengan tangan terayun bebas. Khas cara berjalan orang yang lama berkecimpung  di dunia militer.
" Aku tidak melihat nyonya rumah ikut menyambutku!" Suaranya menggelegar sambil menyapu ruangan.
Saat itu aku berada dibalik partisi kaca yang menyekat ruang penyambutan dengan tempat perjamuan yang bakal digunakan untuk melayani para tamu kehormatan makan malam. Membantu mengawasi para pelayan wanita. Perasaan tidak nyaman langsung menyerangku demi mendengar suara paraunya yang jauh dari nilai-nilai kesopanan.
Suamiku tergopoh-gopoh mendekatinya sambil membungkuk berkali-kali. Ia tampak begitu mengenaskan.
"Panggil istrimu!" Sang ajudan menghardik. Membuat suamiku lari ke arahku.
Entah kenapa pemandangan ini membuatku merasa puas. Terutama tatkala menyadari lelaki yang selama ini menindasku hari ini bisa jatuh martabatnya secara menyedihkan. Mirip seekor tikus menghadapi kucing yang siap memangsanya.
Aku keluar dari balik partisi dengan langkah tenang di belakang suamiku. Menahan rasa kejutan yang bergelora di dadaku.
Kutentang pandangan sang ajudan yang menyapu seluruh penampilanku sambil menyungging senyum mengejek. Ia tidak nampak terkejut melihatku. Sebaliknya justru sangat menikmati pertemuan ini.
"Aiya....." ia berseru seraya mengusap dagunya berulang kali dengan gaya tengil.
"Pantas tuan Tsang begitu ingin menyembunyikan istrinya dariku!" Serunya diiringi tawa membahana. "Begitu cantik..... begitu muda..." ia mendecak lidah.
Pandangannya beralih kepada suamiku yang seketika pucat pasi.
"Padahal kehadiran nyonya ini  akan membuat suasana perjamuan jadi lebih menyenangkan!" Lanjutnya sambil mengerling genit kepadaku. Membuat wajah suamiku bagai terbakar.
Ia nampak murka menghadapi hinaan ini. Namun tidak berdaya. Reaksi konyolnya ini spontan menimbulkan efek sebaliknya untukku. Meningkatkan rasa percaya diriku yang lama hancur dijadikan permainan olehnya.          

Aku maju selangkah di depan suamiku. Membungkuk sambil menyatukan kedua tangan di dada.
"Selamat datang tuan ajudan," sapaku. "Mohon maaf saya terlambat hadir Karena sibuk di dapur." Aku berdalih.
"Suami macam apa yang membiarkan istri sepertimu berada di tempat kotor seperti dapur!" Teriaknya sambil melemparkan pandangan marah ke tuan Tsang. Berkecak pinggang dengan congkak.
Secara jujur harus kuakui, aku sungguh sangat menikmati peristiwa ini. Kapan lagi bisa menyaksikan suamiku yang biasanya dingin dan angkuh diejek dan dipermalukan seorang tanpa mampu berbuat apa-apa?  

Penghinaan terhadap martabat keluarga Tsang masih berlanjut di tengah acara santap malam yang dipenuhi beragam hidangan kelas tinggi. Ada abalon tim, teripang, sirip ikan hiu, cakar naga. Namun suasanya lebih mirip sidang pengadilan. Berjalan tanpa jalinan komunikasi yang imbang.
Ajudan bupati menyuruh anak buahnya menikmati suguhan tuan rumah dengan rakus. Dilayani para pelayan putri pilihan. Semuanya cantik, muda dan perayu. Tuan Tsang sengaja menyewa mereka dari kedai minum tempat kaum lelaki menghabiskan harinya untuk bersenang-senang.
Sementara ia hanya memandangi hidangan yang berjajar memenuhi meja tanpa minat. Dengan kasar mengusir pelayan kami yang tercantik. Melanjutkan aksi gilanya.
"Suruh istrimu menuangkan arak untukku tuan Tsang!" Hardiknya kepada suamiku.

Saat itu aku sebenarnya sudah duduk mendampingi suamiku sebagai tuan rumah. Namun ia belum juga puas membuat jengkel dan malu suamiku dengan sikapnya yang keterlaluan.
Aku bergeming dengan ekspresi dingin. Menunggu.
Rasa jijikku terhadap tuan Tsang mencapai puncaknya malam itu. Ia bukannya menjaga kehormatan istrinya dengan menegur utusan pejabat yang sudah bertindak di luar batas kepantasan. Sebaliknya memandangku dingin. Menggerakkan kepalanya sebagai isyarat kepadaku untuk bangkit. Membiarkanku dihina dan dilecehkan hingga ke tingkat terendah.
Aku bangkit dengan wajah merah membara. Mengambil alih poci arak dari tangan pelayan yang berdiri ketakutan. Mendekatinya.
Tamu kehormatan itu mengangsurkan cangkirnya kepadaku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya yang bebas  disusupkan ke belahan samping gaunku. Mulai menggerayangi pahaku.  
Aku sengaja membiarkan tingkahnya yang tak senonoh itu beberapa saat. Menunggu reaksi suamiku. Namun ia menunduk. Pura-pura tidak melihat.
Akhirnya dengan senyum paling memikat kuangsurkan poci itu. Lalu menuangkan arak itu ke kepalanya.

Jamuan makan malam pun berakhir kacau-balau. Ajudan bupati tidak bisa menerima sikap penghinaanku terhadapnya. Ia bangkit dengan murka sambil mengobrak-abrik isi seluruh meja. Mengancam suamiku agar secepatnya mengutusku menemuinya untuk meminta maaf. Bila tidak ia bersumpah akan menggunakan kekuasaan ayah mertuanya menghancurkan usaha keluarga Tsang.
Setelah puas mencaci-maki ia mengajak para anak buahnya meninggalkan rumah kami yang  porak poranda.
Setelah bertahun-tahun tersekap rasa letih dan putus asa hidup terkungkung dalam lingkup rumahtangga keluarga Tsang yang menyesakkan dada malam ini aku merasa lebih bersemangat. Bisa mempertontonkan sikap lebih bermartabat menghadapi ulah pejabat daerah kurang ajar  ketimbang bersembunyi dibalik sikap pengecut dan tak tahu malu yang dipertontonkan suamiku.
Namun suamiku tidak melihatnya seperti itu. Rasa putus asa membuat ia kehilangan pengendalian diri dan menjadikanku tumpahan kemarahannya.
Ia menyeretku ke ranjang. Melayangkan tinju ke wajah dan tubuhku berulangkali sebelum melucuti tubuh dan menggagahiku.
Aku menerima perlakuannya dengan dingin. Rasanya sudah lama aku kehabisan ratapan dan air mata. Tekadku makin membuncah , bahwa suatu saat ia dan keluarganya harus membayar perlakuannya terhadapku dengan sangat mahal. Aku bersumpah untuk itu.

Dua hari kemudian suamiku memaksaku pergi menemui ajudan bupati untuk menyatakan penyesalan serta permintaan maafku. Sebelumnya ia sudah mendatangi rumah dinasnya sambil membawa sejumlah barang hantaran untuk membujuk dan meredakan kemarahannya. Namun ia dan stafnya diusir dengan kasar. Sang ajudan sesumbar, aku harus datang sendiri dan bersujud di hadapannya. Baru ia bersedia membuka jalur negosiasi dengan keluarga Tsang untuk membicarakan kelangsungan hidup perusahaan.
Dengan pandangan nanap tak berdaya ia memohon padaku agar mau merendahkan diri mengunjungi sang ajudan.
Aku sengaja bersikap angkuh. Menolak permintaan sintingnya.
"Bagaimana tuan bisa mengirim istri sendiri menghadapi lelaki yang jelas-jelas bersikap kurang ajar dan merendahkan itu? Tuan tidak takut menjadi cemoohan seluruh marga Tsang dan relasi bisnis?" Tanyaku menusuk. "Apalagi dengan wajah seperti ini?" Aku sengaja memperlihatkan akibat perbuatannya yang meninggalkan memar di sekitar mata dan pipiku.
Ia tertunduk malu. "Tolonglah !" Bisiknya. "Apa aku perlu berlutut memohon padamu?"
Ia segera menekuk kakinya sambil menggayuti tanganku. Aku menarik napas, berusaha menahan ledakan tawaku melihat sikapnya yang kini mirip seekor anjing buduk di hadapan tuannya. Aku berharap selamanya bisa membuatnya begini. Terutama di hadapan mertuaku. Agar ia paham kualitas putra sulung yang selama ini begitu di banggakannya.
"Apa kata Ta Niang nanti?" Aku sengaja memancing agar ia meminta pendapat ibunya. "Aku tidak akan pergi tanpa persetujuannya!" Aku bersikeras.

Tidak butuh waktu terlalu lama wanita itu tergopoh-gopoh mendatangiku. Sikapnya yang garang dan pengatur berubah jadi begitu manis.
"Tolong bantu keluarga suamimu menghadapi masalah ini Xifu," katanya.
Baru kali ini ia menyebutku "menantu" dengan panggilan sepantasnya.
"Aiya......" aku sengaja mendesah sambil menarik napas panjang. " apa kata orang bila tahu Tsang Xifu sengaja dikirim keluarganya menemui pejabat yang jelas-jelas berlaku tidak pantas itu?" Tanyaku gamblang. Membuat wajahnya tertekuk. Merah menahan malu.
Ia menggeleng-geleng sambil meraih dan meremas kedua tanganku.
"Tolonglah," desahnya. "Kami tidak akan melupakan pengorbananmu untuk keluarga Tsang," bujuknya. "Kami akan memberimu banyak hadiah bila engkau berhasil membuatnya menjalin hubungan baik dengan keluarga Tsang!"
"Baiklah!" Aku mengangguk. Sengaja menampilkan ekspresi enggan. "Mudah-mudahan ada yang bisa kulakukan."

Jadi atas restu dan dukungan keluarga, terutama suami dan ibu mertua berangkatlah daku menemui Ajudan bupati di sebuah tempat yang sudah direncanakan.
Ia sudah menantikan kedatanganku dengan gelisah. Tatkala tandu yang membawaku tiba sang ajudan mendekat, lantas mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar. Aku membalas senyumnya sambil menyambut uluran tangannya. Turun dari tandu. Kami saling menggenggam tangan disekap rindu yang mengendap sekian lama.
Ajudan bupati itu adalah Liang Hao, mantan kekasihku.

Setelah berpisah hampir sepuluh tahun lelaki itu banyak berubah. Nyaris tidak kutemukan jejak masa lalunya yang manis dan lembut. Yang membuatku dulu tidak ragu menyerahkan seluruh yang kumiliki.
Pengalaman di dunia militer dan politik telah membentuknya menjadi lelaki licik dan oportunis. Kini ia siao melakukan apapun demi memenuhi ambisinya menjadi penguasa. Mengabaikan perasaan. Pengalaman telah menempanya menjadi seorang politikus yang matang. Kami dipertemukan dengan suratan takdir berbeda. Ia sama sekali bebas. Bahkan bisa memanfaatkan ketampanan dan kepandaiannya merayu untuk mendekati putri komandannya. Menikahinya guna menaikkan derajatnya. Di lain pihak aku harus memikul seluruh azab perbuatannya terhadapku dulu. Terjebak dalam kehidupan perkawinan menyedihkan untuk membayar semua itu.

Tanpa perlu mengungkapkan Liang Hao tahu keadaanku. Ia jelas melihat penampilanku yang menyedihkan. Mengambil inisiatif menuangkan teh ke cangkirku sambil meminta maaf atas sikapnya yang provokatif dalam pertemuan pertama kami.
Ia berusaha menyelami penderitaanku dengan mengajakku menikmati acara minum teh di sebuah kedai pilihan yang sengaja dikosongkan untuk  menyambutku. Anak buahnya dikerahkan bersiaga di luar kedai. Mengusir pengunjung lain yang ingin menerobos masuk agar tidak mengganggu reuni kami.      
"Aku sengaja mengerjaimu untuk menunjukkan betapa tidak berharganya cecunguk itu sebagai suamimu."
Aku menarik napas. Ada jejak masa remaja dalam dirinya yang masih tersisa, yaitu kebiasaan menjahili orang. Dulu aku sering dibuat jengkel oleh ulahnya. Namun saat itu juga ia akan langsung membujukku untuk meredakan kemarahanku. Itulah kenangan paling manisku tentangnya.
Kami duduk bersebelahan. Ia mengulurkan tangannya mengusap bekas luka dan lebam di wajahku dengan raut sedih dan geram.
"Aku banyak mengetahui kisah hidup perkawinanmu yang menyedihkan dari nyonya Liao, guru melukis dan kaligrafimu." Ia menjelaskan.

Kini aku mengerti mengapa ia tidak nampak terkejut ketika melihatku pertama kali. Rupanya Suami nyonya Liao  bekerja sebagai sekretaris pribadi Liang Hao. Dugaanku bahwa ia sudah melupakanku ternyata tidak sepenuhnya benar. Ia berupaya melacak keberadaanku melalui orang-orang suruhannya.
Kesempatan mendatangiku tiba tatkala secara kebetulan mertuanya dipindahkan bertugas di daerah kami. Liang Hao mengatur siasat agar bisa mewakili bupati berkunjung ke rumah. Membuat jebakan yang mengharuskan aku pergi menemuinya.
Kini hanya mantan kekasihku lah satu-satunya orang yang bisa menolongku untuk membawaku keluar dari kungkungan keluarga Tsang.  Dan ia sudah menyatakan kesanggupannya.
Hal itu ditunjukkannya beberapa hari kemudian.

Dengan langkah gagah penuh kepercayaan diri ia kembali memasuki gerbang rumah keluarga Tsang memenuhi undangan suamiku dan keluarganya. Staf ayahnya sengaja diajak membawa catatan sumbangan serta upeti yang pernah dikeluarkan keluarga suamiku selama beberapa generasi kepada daerah yang sudah memberi mereka kemudahan berniaga. Hasilnya mengecewakan. Dibawah sistem pemerintahan Feodalis yang kini sudah ditumbangkan kaum Nasionalis mereka betul-betul diperlakukan istimewa. Pembayaran pajak, nyaris tidak ada. Upeti hampir semuanya masuk ke kantong pribadi para keturunan raja dan kaki tangannya yang ditunjuk sebagai panglima di daerah. Keluarga tersebut diindikasi melakukan pemerasan terhadap kaum buruh, peternak ulat sutra serta petani dengan memberi mereka upah yang sangat rendah.
Jadi kini Liang Hao datang mewakili pemerintah alias ayahnya untuk memperhitungkan denda serta pajak dan upeti yang seharusnya dibayarkan oleh keluarga tersebut. Sesuatu yang sangat tidak enak namun harus ditelan tuntas oleh keluarga Tsang sebagai kelompok kontra revolusi yang diharuskan menebus dosa-dosa nenek moyangnya.

Aku sengaja menarik diri tidak mau menemui Liang Hao. Dengan bersemangat menunggu keputusan keluarga di ruang pribadiku yang kini dipenuhi karya kaligrafiku bersama Yin-yin dan ayahnya.
Dengan perasaan hangat kuamati karya Yin-yin dengan sapuan kuasnya yang antusias namun belum rapi. Salah satu yang sangat menyentuh diberinya judul CI MU HE XIAO CI. Induk ayam bersama anaknya. Sang induk melebarkan sayapnya untuk melindungi sang anak dari serangan alap-alap. Karya kaligrafi itu belum selesai. Tinggal polesan kecil di beberapa bagian agar tampil sempurna. Karya seorang anak yang baru saja kehilangan sosok ibu dan sangat mendambakan belai kasihnya.
Kususut air mataku di hadapan lukisan itu. Sadar tak lama lagi aku bakal tidak bisa bertemu dengan dua sosok yang selalu kurindukan kehadirannya. Karena membuat Perasaanku hangat.
Semua perasaan kucetuskan lewat sapuan kuas. Kuberi judul HU TIE CHUI JAI SHIA. Menggambarkan sepasang kupu-kupu sedang terbang beriringan menuju langit mengejar mega-mega di angkasa.
Betapa ingin kuselesaikan karya terakhirku ini untuk kuhadiahkan sebagai kenang-kenangan kepada tuan Deng. Lelaki yang begitu lembut dan tulus. Satu-satunya lelaki yang berhasil menangkap kedalaman perasaanku dan dituangkannya dengan begitu indah di kanvas sutra. Sayang lukisan itu sudah dibawanya pulang. Padahal aku begitu ingin memilikinya sebagai kenangan pribadiku terhadapnya.

Setelah Liang Hao dan anak buahnya meninggalkan rumah aku dipanggil ke ruang keluarga.
Di sana sudah hadir keluarga besar Tsang, yaitu ibu mertua serta ketiga adik suamiku. Juga empat orang paman yang hanya pernah kutemui satu kali. Tatkala di hari pernikahanku dalam acara Pai Ciu, saat itu suamiku mengajakku menyajikan arak keberuntungan kepada mereka yang mereka balas dengan memberikan angpao.
Aku tahu sesuatu yang luar biasa telah diputuskan keluarga tersebut. Firasatku mengatakan semua itu bakal berkaitan denganku, sehingga aku disuruh ikut hadir. Mereka tidak pernah memperhitungkan keberadaan seorang perempuan. Terkecuali ibu mertuaku karena suaminya sudah meninggal. Ia punya kedudukan mirip ibu suri yang sangat terhormat dan disegani seluruh marga Tsang.
Jadi kalau saat ini mereka yakin aku bisa dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga itu. Dimata mereka aku bukan manusia, tetapi benda yang bisa diperlakukan sesuai kegunaannya. Untuk memproduksi anak atau alat tukar.
Intinya Liang Hao bersedia menghapus semua denda yang wajib dibayarkan keluarga tersebut yang jumlahnya bisa menguras nyaris semua kekayaan keluarga. Termasuk upeti yang biasanyya diserahkan secara khusus untuk kepentingan pribadi bupati setiap bulan. Syaratnya adalah dengan menyerahkanku untuk dijadikan selir sang ajudan.
Keluarga Tsang dipaksa menelan buah simalakama . Bangkrut atau tercoreng reputasinya karena menjadikan istri sah sang ketua marga sebagai pembayaran upeti. Sesuatu yang sangat memalukan dan belum pernah diperbuat oleh keluarga bangsawan manapun.
Namun mereka terlalu mencintai uang serta kenikmatan hidup yang sudah direguk beberapa generasi. Aku sama sekali tidak berarti, termasuk bagi suamiku yang kenyang menikmati pelayananku sekian tahun.
Rasa marah melanda batinku. Ini saatnya aku menagih tumpukan hutang keluarga suamiku terhadapku.
Aku bangkit dari posisi berlutut. Mertuaku tergopoh-gopoh menghampiri, membantuku berdiri. Lalu mengajakku mengambil kursi duduk di sebelahnya dengan sikap menjilat.
Kutempiskan tangannya. Dalam posisi berdiri tegak menghadapi mereka.
"Saya menolak usulan itu," kilahku dengan mimik kubuat sesedih mungkin. "Bagaimana mungkin bisa kutinggalkan keluarga yang kini sudah menjadi hidup dan pengabdianku begitu saja. Apalagi hanya untuk dijadikan selir seorang pejabat berperangai begitu buruk."
Untuk mendramatisir suasana aku sengaja menangis sambil menunjuk-nunjuk suamiku yang nampak menyusut bersembunyi di belakang wibawa ibunya.
"Xien shen, tolonglah. Anda harus melindungi saya. Karena saya ingin melayani tuan seumur hidup."
Suamiku berkelit dengan mengibaskan tangannya yang dibalut ciongsam berlengan panjang.
"Aiyah....... Dai-dai saya tidak sangka ajudan gila itu begitu kepincut olehmu."
Ada niat jahat dari sanggahannya seolah-olah itu semua salahku. Karena akulah yang berusaha menggodanya.
Ibu mertuaku yang licik berusaha melerai dengan tujuan untuk melindungi putranya.
Ia mendekatiku. Mengusap-usap lenganku dengan gaya membujuk.
"Ini saatnya engkau menunjukkan baktimu terhadap marga Tsang dengan memenuhi permintaan kami." Katanya sambil memberi isyarat kepada salah seorang paman.
"Kami sudah menyiapkan sejumlah barang berharga sebagai ungkapan Terimakasih kami kepadamu, Xi fu."
Lalu kotak perhiasan berbahan perak itu sengaja dibuka di hadapanku. Isinya  beragam perhiasan kalung, anting, penjepit rambut dari emas bertahtakan permata dan mutiara.
Aku sengaja membuang muka. Menunjukkan rasa tidak tertarik. Dengan nada tinggi menolak.
"Apa artinya semua ini bila saya harus berpisah dengan suami  tercinta serta ibu mertua yang sudah kuanggap ibu sendiri," ungkapku disertai isak tangis kesedihan makin keras.
Termakan siasatku wanita itu kembali memberi isyarat.
Sebuah kotak dibentangkan lagi di hadapanku. Isinya beberapa barang emas dan perak.
Aku menahan napas. Tahu nilai yang ditawarkan keluarga itu untukku. Cukup untuk menunjang hidupku selanjutnya tanpa harus susah payah bekerja.      
Aku menyusut air mataku.
"Dengan berat hati saya terpaksa menuruti permintaan keluarga Tsang," kataku dengan suara bergetar menunjukkan penyesalan. "Sebagai wujud kesungguhan saya mohon keluarga membuat surat cerai, sehingga nama baik keluarga tidak ikut tercemar oleh perilaku saya hari-hari selanjutnya."
"Betul, betul sekali!" Ibu mertuaku spontan menyetujui usulku dengan bersemangat.
"Kelak bila terjadi apa-apa tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan kami!"
Aku tersenyum dalam hati. Menikmati jalan pikirannya yang jalang itu. Di matanya aku hanya wanita penggoda. Bila suatu ketika sang ajudan kurang berkenan dengan pelayananku  ia tidak bisa lagi menyalahkan keluarga Tsang karena aku sudah diceraikan secara resmi.

Sehari sebelum aku pergi dari rumah keluarga Tsang Yin-yin dan ayahnya datang mengunjungiku.
Waktu itu aku sedang berbenah di ruang pribadi. Mengemasi karya kami bersama yang ingin kubawa sebagai kenang-kenangan. Namun ada beberapa yang sengaja kusisihkan untuk kuberikan kepada ayah dan anak. Kaligrafi berisi ungkapan serta pesan pribadiku yang mudah-mudahkan bisa ditangkap dengan cermat oleh keduanya.
Keduanya tidak berkata-kata. Yin-yin menunjukkan sikap kematangannya sebagai seorang bocah dengan merengkuh dan memelukku erat. Tidak merengek. Namun aku bisa menangkap kesedihannya yang mendalam dari wajah cantik serta matanya yang bening berkaca-kaca.
"Fujin menghabiskan tiga hari tiga malam untuk melukis ini." Ia mewakili sang ayah menunjukkan karya Tuan Deng kepadaku. Dibentangkan di easel yang belum sempat kukemas.
Kali ini aku hadir dalam sosok berbeda. Sepasang mata yang dinaungi alis tipis memanjang itu memancarkan sinar keriangan.  Dipadukan seulas senyum merekah. Tubuhnya melayang diantara awan-awan berwarna biru bercampur semburat merah jingga.
Perempuan itu tidak lagi seperti sedang menari. Tapi ia benar-benar terbang menggapai awan. Selendang sutranya yang panjang berwarna-warni dan melilit pinggangnya yang ramping  merebak, ikut terbang mengembang tersapu angin.
Lukisan yang begitu riang dan luar biasa indahnya. Tuan Deng menuliskan kata QIANG CHENG, masa depan yang cerah, di sudut kiri lukisannya.
Aku gagal menahan diri. Sambil mendekap Yin-yin tangisku pecah.
Tuan Deng mengikuti ekspresiku dengan senyum tipis.
"CU NI YUNG YEN XIN FU, semoga engkau berbahagia selamanya," bisiknya. "Ini adalah karya terakhirku untukmu."
Ia menghampiri easel, menggulung lukisan itu hati-hati. Memasukannya  ke batang bambu yang sudah dipelitur dengan indah. Lalu merangkul bahu putrinya. Pergi meninggalkanku sendirian tanpa pernah berpaling lagi. Berlalu dari kehidupanku yang tragis.

                                                                     ***

Hari yang terjanji kan tiba. Berbekal selembar surat cerai serta hadiah  dan batangan emas pemberian keluarga Tsang  aku pergi diantar tandu meninggalkan pintu gerbang kompleks perumahan yang disatukan dengan lahan peternakan ulat dan pabrik pengolahan benang sutra milik marga Tsang dengan perasaan lapang.
Aku siap menyambut hari baruku yang masih samar-samar namun akan kulakoni dengan semangat baru yang disemaikan Yin-yin dan tuan Deng kepadaku.
Kini aku manusia bebas. Siap mengatur langkah-langkah masa depanku sendiri.
Sayangnya aku masih harus membereskan sisa masa laluku yang mirip kerak yang bakal meninggalkan karat di hatiku bila tak segera diselesaikan.

Liang Hao tengah menungguku di wilayah perbatasan. Tanduku dihentikan di tengah jalan oleh anak buahnya. Keempat lelaki yang mengantarku berhenti. Menyibakkan kain penutup tandu dan mempersilahkan aku turun dengan wajah cemas.
"Siaocia tugas kami hanya sampai di sini," kata sang pemimpin sambil mengulurkan tangan membantuku keluar. Ia nampak begitu meresahkan keselamatanku.
Aku mengangguk. "Kini kalian bisa pergi," kataku tenang sambil mengamati ia mengosongkan isi tandu. Meletakkannya di jalanan.
Setelah mereka berpamitan dan pergi meninggalkanku Liang Hao dengan langkah tegapnya berjalan menghampiriku. Menyongsongku dengan wajah berseri-seri.
Ia telah menyiapkan sebuah kereta berukir indah dihela sepasang kuda yang gagah.
"Selamat datang selirku yang cantik," ujarnya dengan gaya menyanjung. " Aku telah menyiapkan semuanya untuk menyambut kehadiranmu dalam hidupku."
Aku bergeming. Membiarkan ia yang menghampiriku dengan sikap siap menghadapinya.

"Ajudan bupati yang terhormat," akhirnya aku menangkupkan tangan memberi hormat dengan sikap resmi begitu ia berada di mukaku. "Terimakasih tuan sudah membantu saya keluar dari keluarga Tsang."
Ia menunjukkan reaksi terkejut. "Ini apa-apaan?" Teriaknya. " Kamu jangan mempermainkanku!"
Aku menghampirinya. "Liang Hao," bujukku sambil meletakkan tangan di bahunya. "Engkau kini bukan lagi orang yang sama dengan kekasih yang kucintai dulu. Engkau sudah berubah. Dalam dirimu kini tersemat reputasi dan kehormatan keluarga bupati. Penguasa tertinggi daerah."
Aku memandanginya dengan tenang namun penuh kesungguhan.
"Jangan kau kotori nama baikmu dengan merebut istri orang, lalu menjadikannya selirmu." Aku memberanikan diri memeluknya. "Engkau akan menjadi bahan tertawaan orang. Termasuk seluruh keluarga istrimu!" Aku mengingatkannya.
Ia menggeleng dengan resah. Merenggangkan tubuhku. Namun tidak menyanggah ucapanku.
"Ayo lah," bujukku. "Kini kita impas. Tidak saling berhutang apapun. Biarlah kita menyusuri lorong kehidupan yang sudah digariskan takdir masing-masing. "

Akhirnya Liang Hao surut dari hadapanku dengan geram. Kembali ke keretanya diiringi para anak buahnya. Aku berdiri mengamati kepergian mereka dengan dingin. Pria itu sudah lama tidak ada lagi dalam hatiku. Sama seperti yang dia lakukan, menghempaskanku begitu saja tanpa upaya mengetahui keberadaan serta nasibku sekian tahun.
Sayup-sayup kudengar kereta itu beranjak menjauh disertai umpatan dan caci-maki Liang Hao terhadap keluarga Tsang yang tidak memenuhi janjinya terhadap dia. Dianggap sudah menipunya mentah-mentah.
Aku masih sempat mendengar seruannya. "Akan kubuat bangkrut keluarga itu!"
Namun aku tidak peduli. Bagiku mereka sudah bukan siapa-siapa. Sudah saatnya keluarga yang tidak pernah menghargai perempuan sebagaimana mestinya dihancurkan oleh seorang perempuan. Kendati harus meminjam tangan Liang Hao.

                                                                  ***

Berdiri di tepi jalan sendirian kuamati hamparan cakrawala di hadapanku yang Menampilkan keleluasaan alam. Setelah berhasil menutup buku masa laluku kini yang perlu kulakukan hanyalah membuka lembaran baru kehidupanku yang ingin kuisi dengan berbagai hal yang mencerminkan keberadaanku sebagai manusia bebas. Tidak terkekang tradisi yang sarat ketidakadilan terhadap kaumku. Dengan bekal yang diberikan keluarga Tsang rasanya aku mampu mengatur hidupku secara layak. Termasuk menyalurkan hasratku melukis dan menulis kaligrafi.

Keheningan tak berlangsung lama.
Dari kejauhan diantara kepulan debu menyeruak sebuah pedati berderak mendekatiku. Keretanya berbentuk sederhana, mirip milik petani yang biasa digunakan mengangkut hasil bumi.
Sayup-sayup kudengar suara bocah memanggil  bersama hembusan angin yang sepoi-sepoi menerpa wajahku.
"Ayi... Ayi...... kami datang menjemputmu."
Sang kusir yang sebagian wajahnya tertutup topi jerami melompat turun. Berdiri di sebelah kereta sambil membungkuk penuh hormat.
"Selamat datang siaocie," ia mengubah panggilan terhadapku disesuaikan dengan statusku yang sudah bebas.
Tuan Deng dan Yin-yin berjalan menghampiri. Keduanya menunjukkan ekspresi riang bersemangat.
Aku tersenyum lebar. Mengangsurkan tanganku. Memeluk Yin-yin dengan erat.
"Untung anda berdua bisa menangkap pesan yang tersirat dari kaligrafi yang kuberikan," kataku menarik napas lega. Dadaku bergemuruh dilimpahi kebahagiaan. Karena orang yang sangat kuharapkan akhirnya datang menjemputku.
Yin-yin melingkarkan tangannya yang kecil ke pinggangku. Merapatkan kepalanya ke tubuhku.
"Fujin sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan Ayi ke rumah kami," ia berpromosi. " kita juga punya kamar khusus untuk menggambar."
Aku mengangguk. Hanya mengangguk guna meyakinkan bocah itu bahwa aku siap mempersatukan hidupku bersama mereka. Tenggorokanku sesak tercekat rasa haru.
Namun seperti takut kehilangan ia masih terus berceloteh.
"Kita akan terbang ke angkasa mengejar pelangi seperti yang Ayi gambar." Ia merentangkan tangannya menunjuk langit.
Tuan Deng memandangku dengan pancaran matanya yang lembut. Lalu mengangsurkan tangannya. Membantuku naik ke kereta.
"Ayo," serunya sambil memberi isyarat kepada putrinya agar duduk dibagian belakang pedati.
"Mari kita tangkap mimpi-mimpi kita sebelum terlambat," bisiknya lebih ditujukan kepadaku.
Ia memandangku: hangat dan menjanjikan.  Lalu meraih tali kekang dan menyentakkannya.  Membawa pedati berderak maju menembus langit tak berbatas yang benderang dipenuhi warna-warni awan. (fani.c)

Setelah perkenalan pertama kami tuan Deng secara khusus meminta ijin kepada suamiku dan keluarganya agar memperbolehkan putrinya mengunjungiku secara rutin. Untuk belajar melukis dan kaligrafi. Ibu mertuaku bersikap tidak peduli. Namun suamiku sama sekali tidak keberatan.
Terkadang tuan Deng datang sendiri untuk mengantar atau menjemput putrinya. Biasanya diselingi berbincang sambil menikmati acara minum teh bersama suami. Namun bila sibuk ia akan menyuruh pelayan pribadi mengantar dan menunggui Yin-yin.

Kehadiran Yin-yin dan tuan Deng dalam hidup keseharianku mirip secercah cahaya rembulan di tengah kegelapan langit. Muncul sesaat sebelum tertelan kepekatan malam. Perasaanku kutuangkan ke kanvas, "MUNG XIA DE YE LIANG". Rembulan dalam impian.
Lama tuan Deng berdiri di depan kanvas. Mencermati karyaku. Lalu memandangku dengan sorot matanya yang tajam. Secara spontan ia mengambil kuas. Menambahkan "SHI WANG DE DAI YANG" , matahari harapan di bawah goresan penaku. Tersirat hasratnya yang kuat untuk menyemangatiku.
Ia kembali memandangku cukup lama sebelum mengembalikan kuas kepadaku.
"Engkau wanita cantik dan anggun," ujarnya dengan nada tulus. " bangkitlah seperti matahari yang terbit setiap hari. Bagikan sinarmu kepada sekitarmu." Lantas ia menyinggahkan tatapannya kepada putrinya. Hangat menyayangi. "Termasuk bagi kami berdua."
Kurasakan pelupuk mataku memberat oleh air yang tak mampu kucurahkan.
"Akan kuingat terus kata-katamu tuan Deng," kataku membuang muka. Tak kuasa menerima pandangan maupun hujaman kata-katanya.
Aku merasa begitu menderita terbelenggu oleh cinta yang tak mampu kutuntaskan. Kepada Yin-yin dan ayahnya.

Siapa yang menduga cercah harapanku muncul melalui tampilnya sosok lain yang sama sekali tak pernah kuperhitungkan. Siap meruntuhkan keluarga berumur ratusan tahun dan berdiri kokoh menjalani tradisi feodal yang angkuh itu.
Hari itu rumah keluarga Tsang ditimpa kepanikan dan kesibukan luar biasa.
Bupati yang baru berniat mengutus ajudannya berkunjung ke tempat tinggal dan area pemeliharaan serta produksi benang sutra milik keluarga Tsang sudah berjalan hampir empat generasi.
Pada masa itu seorang bupati punya kekuasaan bagai raja kecil. Dialah yang berhak menentukan besaran pajak serta upeti yang harus diserahkan terhadapnya untuk mengisi kas daerah serta kantong pribadi. Korupsi dan pemanfaatan jabatan sudah lazim terjadi. Apalagi sejak terjadinya revolusi yang berhasil menggulingkan kekuasaan kaum bangsawan dan tuan tanah. Beralih  ke tangan kaum buruh dan militer

Suamiku sebagai anak sulung adalah ketua marga serta pimpinan perusahaan keluarganya. Kelangsungan hidup generasi Tsang kini ada di tangannya. Sementara ia bukan lelaki berkarakter kuat. Kurang punya persiapan mental menghadapi kehadiran seorang pejabat daerah yang bisa membolak-balikkan nasibnya sesukanya.
Konon sang ajudan yang akan berkunjung adalah tangan kanan kepercayaan sekaligus menantu sang bupati.  Konon Selama ini dialah yang selalu tampil secara resmi guna melaksanakan berbagai kebijaksanaan demi melindungi kekuasaan serta kepentingan mertuanya. Hadi secara tidak resmi dialah Kepala Daerah yang sesungguhnya.      

Ajudan itu datang menjelang malam beserta beberapa orang anak buahnya. Tuan Tsang menyambutnya di gerbang masuk didampingi staf administrasi perusahaan. Termasuk jajaran pelayan dan kepala juru masak.
Ia lelaki yang pongah dan banyak tingkah. Berjalan tegap memasuki rumah tanpa mengindahkan suamiku dan para penyambutnya yang bersoja menangkupkan tangan dengan badan membungkuk terhadapnya. Postur tubuhnya kokoh. Langkahnya panjang dengan tangan terayun bebas. Khas cara berjalan orang yang lama berkecimpung  di dunia militer.
" Aku tidak melihat nyonya rumah ikut menyambutku!" Suaranya menggelegar sambil menyapu ruangan.
Saat itu aku berada dibalik partisi kaca yang menyekat ruang penyambutan dengan tempat perjamuan yang bakal digunakan untuk melayani para tamu kehormatan makan malam. Membantu mengawasi para pelayan wanita. Perasaan tidak nyaman langsung menyerangku demi mendengar suara paraunya yang jauh dari nilai-nilai kesopanan.
Suamiku tergopoh-gopoh mendekatinya sambil membungkuk berkali-kali. Ia tampak begitu mengenaskan.
"Panggil istrimu!" Sang ajudan menghardik. Membuat suamiku lari ke arahku.
Entah kenapa pemandangan ini membuatku merasa puas. Terutama tatkala menyadari lelaki yang selama ini menindasku hari ini bisa jatuh martabatnya secara menyedihkan. Mirip seekor tikus menghadapi kucing yang siap memangsanya.
Aku keluar dari balik partisi dengan langkah tenang di belakang suamiku. Menahan rasa kejutan yang bergelora di dadaku.
Kutentang pandangan sang ajudan yang menyapu seluruh penampilanku sambil menyungging senyum mengejek. Ia tidak nampak terkejut melihatku. Sebaliknya justru sangat menikmati pertemuan ini.
"Aiya....." ia berseru seraya mengusap dagunya berulang kali dengan gaya tengil.
"Pantas tuan Tsang begitu ingin menyembunyikan istrinya dariku!" Serunya diiringi tawa membahana. "Begitu cantik..... begitu muda..." ia mendecak lidah.
Pandangannya beralih kepada suamiku yang seketika pucat pasi.
"Padahal kehadiran nyonya ini  akan membuat suasana perjamuan jadi lebih menyenangkan!" Lanjutnya sambil mengerling genit kepadaku. Membuat wajah suamiku bagai terbakar.
Ia nampak murka menghadapi hinaan ini. Namun tidak berdaya. Reaksi konyolnya ini spontan menimbulkan efek sebaliknya untukku. Meningkatkan rasa percaya diriku yang lama hancur dijadikan permainan olehnya.          

Aku maju selangkah di depan suamiku. Membungkuk sambil menyatukan kedua tangan di dada.
"Selamat datang tuan ajudan," sapaku. "Mohon maaf saya terlambat hadir Karena sibuk di dapur." Aku berdalih.
"Suami macam apa yang membiarkan istri sepertimu berada di tempat kotor seperti dapur!" Teriaknya sambil melemparkan pandangan marah ke tuan Tsang. Berkecak pinggang dengan congkak.
Secara jujur harus kuakui, aku sungguh sangat menikmati peristiwa ini. Kapan lagi bisa menyaksikan suamiku yang biasanya dingin dan angkuh diejek dan dipermalukan seorang tanpa mampu berbuat apa-apa?  

Penghinaan terhadap martabat keluarga Tsang masih berlanjut di tengah acara santap malam yang dipenuhi beragam hidangan kelas tinggi. Ada abalon tim, teripang, sirip ikan hiu, cakar naga. Namun suasanya lebih mirip sidang pengadilan. Berjalan tanpa jalinan komunikasi yang imbang.
Ajudan bupati menyuruh anak buahnya menikmati suguhan tuan rumah dengan rakus. Dilayani para pelayan putri pilihan. Semuanya cantik, muda dan perayu. Tuan Tsang sengaja menyewa mereka dari kedai minum tempat kaum lelaki menghabiskan harinya untuk bersenang-senang.
Sementara ia hanya memandangi hidangan yang berjajar memenuhi meja tanpa minat. Dengan kasar mengusir pelayan kami yang tercantik. Melanjutkan aksi gilanya.
"Suruh istrimu menuangkan arak untukku tuan Tsang!" Hardiknya kepada suamiku.

Saat itu aku sebenarnya sudah duduk mendampingi suamiku sebagai tuan rumah. Namun ia belum juga puas membuat jengkel dan malu suamiku dengan sikapnya yang keterlaluan.
Aku bergeming dengan ekspresi dingin. Menunggu.
Rasa jijikku terhadap tuan Tsang mencapai puncaknya malam itu. Ia bukannya menjaga kehormatan istrinya dengan menegur utusan pejabat yang sudah bertindak di luar batas kepantasan. Sebaliknya memandangku dingin. Menggerakkan kepalanya sebagai isyarat kepadaku untuk bangkit. Membiarkanku dihina dan dilecehkan hingga ke tingkat terendah.
Aku bangkit dengan wajah merah membara. Mengambil alih poci arak dari tangan pelayan yang berdiri ketakutan. Mendekatinya.
Tamu kehormatan itu mengangsurkan cangkirnya kepadaku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya yang bebas  disusupkan ke belahan samping gaunku. Mulai menggerayangi pahaku.  
Aku sengaja membiarkan tingkahnya yang tak senonoh itu beberapa saat. Menunggu reaksi suamiku. Namun ia menunduk. Pura-pura tidak melihat.
Akhirnya dengan senyum paling memikat kuangsurkan poci itu. Lalu menuangkan arak itu ke kepalanya.

Jamuan makan malam pun berakhir kacau-balau. Ajudan bupati tidak bisa menerima sikap penghinaanku terhadapnya. Ia bangkit dengan murka sambil mengobrak-abrik isi seluruh meja. Mengancam suamiku agar secepatnya mengutusku menemuinya untuk meminta maaf. Bila tidak ia bersumpah akan menggunakan kekuasaan ayah mertuanya menghancurkan usaha keluarga Tsang.
Setelah puas mencaci-maki ia mengajak para anak buahnya meninggalkan rumah kami yang  porak poranda.
Setelah bertahun-tahun tersekap rasa letih dan putus asa hidup terkungkung dalam lingkup rumahtangga keluarga Tsang yang menyesakkan dada malam ini aku merasa lebih bersemangat. Bisa mempertontonkan sikap lebih bermartabat menghadapi ulah pejabat daerah kurang ajar  ketimbang bersembunyi dibalik sikap pengecut dan tak tahu malu yang dipertontonkan suamiku.
Namun suamiku tidak melihatnya seperti itu. Rasa putus asa membuat ia kehilangan pengendalian diri dan menjadikanku tumpahan kemarahannya.
Ia menyeretku ke ranjang. Melayangkan tinju ke wajah dan tubuhku berulangkali sebelum melucuti tubuh dan menggagahiku.
Aku menerima perlakuannya dengan dingin. Rasanya sudah lama aku kehabisan ratapan dan air mata. Tekadku makin membuncah , bahwa suatu saat ia dan keluarganya harus membayar perlakuannya terhadapku dengan sangat mahal. Aku bersumpah untuk itu.

Dua hari kemudian suamiku memaksaku pergi menemui ajudan bupati untuk menyatakan penyesalan serta permintaan maafku. Sebelumnya ia sudah mendatangi rumah dinasnya sambil membawa sejumlah barang hantaran untuk membujuk dan meredakan kemarahannya. Namun ia dan stafnya diusir dengan kasar. Sang ajudan sesumbar, aku harus datang sendiri dan bersujud di hadapannya. Baru ia bersedia membuka jalur negosiasi dengan keluarga Tsang untuk membicarakan kelangsungan hidup perusahaan.
Dengan pandangan nanap tak berdaya ia memohon padaku agar mau merendahkan diri mengunjungi sang ajudan.
Aku sengaja bersikap angkuh. Menolak permintaan sintingnya.
"Bagaimana tuan bisa mengirim istri sendiri menghadapi lelaki yang jelas-jelas bersikap kurang ajar dan merendahkan itu? Tuan tidak takut menjadi cemoohan seluruh marga Tsang dan relasi bisnis?" Tanyaku menusuk. "Apalagi dengan wajah seperti ini?" Aku sengaja memperlihatkan akibat perbuatannya yang meninggalkan memar di sekitar mata dan pipiku.
Ia tertunduk malu. "Tolonglah !" Bisiknya. "Apa aku perlu berlutut memohon padamu?"
Ia segera menekuk kakinya sambil menggayuti tanganku. Aku menarik napas, berusaha menahan ledakan tawaku melihat sikapnya yang kini mirip seekor anjing buduk di hadapan tuannya. Aku berharap selamanya bisa membuatnya begini. Terutama di hadapan mertuaku. Agar ia paham kualitas putra sulung yang selama ini begitu di banggakannya.
"Apa kata Ta Niang nanti?" Aku sengaja memancing agar ia meminta pendapat ibunya. "Aku tidak akan pergi tanpa persetujuannya!" Aku bersikeras.

Tidak butuh waktu terlalu lama wanita itu tergopoh-gopoh mendatangiku. Sikapnya yang garang dan pengatur berubah jadi begitu manis.
"Tolong bantu keluarga suamimu menghadapi masalah ini Xifu," katanya.
Baru kali ini ia menyebutku "menantu" dengan panggilan sepantasnya.
"Aiya......" aku sengaja mendesah sambil menarik napas panjang. " apa kata orang bila tahu Tsang Xifu sengaja dikirim keluarganya menemui pejabat yang jelas-jelas berlaku tidak pantas itu?" Tanyaku gamblang. Membuat wajahnya tertekuk. Merah menahan malu.
Ia menggeleng-geleng sambil meraih dan meremas kedua tanganku.
"Tolonglah," desahnya. "Kami tidak akan melupakan pengorbananmu untuk keluarga Tsang," bujuknya. "Kami akan memberimu banyak hadiah bila engkau berhasil membuatnya menjalin hubungan baik dengan keluarga Tsang!"
"Baiklah!" Aku mengangguk. Sengaja menampilkan ekspresi enggan. "Mudah-mudahan ada yang bisa kulakukan."

Jadi atas restu dan dukungan keluarga, terutama suami dan ibu mertua berangkatlah daku menemui Ajudan bupati di sebuah tempat yang sudah direncanakan.
Ia sudah menantikan kedatanganku dengan gelisah. Tatkala tandu yang membawaku tiba sang ajudan mendekat, lantas mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar. Aku membalas senyumnya sambil menyambut uluran tangannya. Turun dari tandu. Kami saling menggenggam tangan disekap rindu yang mengendap sekian lama.
Ajudan bupati itu adalah Liang Hao, mantan kekasihku.

Setelah berpisah hampir sepuluh tahun lelaki itu banyak berubah. Nyaris tidak kutemukan jejak masa lalunya yang manis dan lembut. Yang membuatku dulu tidak ragu menyerahkan seluruh yang kumiliki.
Pengalaman di dunia militer dan politik telah membentuknya menjadi lelaki licik dan oportunis. Kini ia siao melakukan apapun demi memenuhi ambisinya menjadi penguasa. Mengabaikan perasaan. Pengalaman telah menempanya menjadi seorang politikus yang matang. Kami dipertemukan dengan suratan takdir berbeda. Ia sama sekali bebas. Bahkan bisa memanfaatkan ketampanan dan kepandaiannya merayu untuk mendekati putri komandannya. Menikahinya guna menaikkan derajatnya. Di lain pihak aku harus memikul seluruh azab perbuatannya terhadapku dulu. Terjebak dalam kehidupan perkawinan menyedihkan untuk membayar semua itu.

Tanpa perlu mengungkapkan Liang Hao tahu keadaanku. Ia jelas melihat penampilanku yang menyedihkan. Mengambil inisiatif menuangkan teh ke cangkirku sambil meminta maaf atas sikapnya yang provokatif dalam pertemuan pertama kami.
Ia berusaha menyelami penderitaanku dengan mengajakku menikmati acara minum teh di sebuah kedai pilihan yang sengaja dikosongkan untuk  menyambutku. Anak buahnya dikerahkan bersiaga di luar kedai. Mengusir pengunjung lain yang ingin menerobos masuk agar tidak mengganggu reuni kami.      
"Aku sengaja mengerjaimu untuk menunjukkan betapa tidak berharganya cecunguk itu sebagai suamimu."
Aku menarik napas. Ada jejak masa remaja dalam dirinya yang masih tersisa, yaitu kebiasaan menjahili orang. Dulu aku sering dibuat jengkel oleh ulahnya. Namun saat itu juga ia akan langsung membujukku untuk meredakan kemarahanku. Itulah kenangan paling manisku tentangnya.
Kami duduk bersebelahan. Ia mengulurkan tangannya mengusap bekas luka dan lebam di wajahku dengan raut sedih dan geram.
"Aku banyak mengetahui kisah hidup perkawinanmu yang menyedihkan dari nyonya Liao, guru melukis dan kaligrafimu." Ia menjelaskan.

Kini aku mengerti mengapa ia tidak nampak terkejut ketika melihatku pertama kali. Rupanya Suami nyonya Liao  bekerja sebagai sekretaris pribadi Liang Hao. Dugaanku bahwa ia sudah melupakanku ternyata tidak sepenuhnya benar. Ia berupaya melacak keberadaanku melalui orang-orang suruhannya.
Kesempatan mendatangiku tiba tatkala secara kebetulan mertuanya dipindahkan bertugas di daerah kami. Liang Hao mengatur siasat agar bisa mewakili bupati berkunjung ke rumah. Membuat jebakan yang mengharuskan aku pergi menemuinya.
Kini hanya mantan kekasihku lah satu-satunya orang yang bisa menolongku untuk membawaku keluar dari kungkungan keluarga Tsang.  Dan ia sudah menyatakan kesanggupannya.
Hal itu ditunjukkannya beberapa hari kemudian.

Dengan langkah gagah penuh kepercayaan diri ia kembali memasuki gerbang rumah keluarga Tsang memenuhi undangan suamiku dan keluarganya. Staf ayahnya sengaja diajak membawa catatan sumbangan serta upeti yang pernah dikeluarkan keluarga suamiku selama beberapa generasi kepada daerah yang sudah memberi mereka kemudahan berniaga. Hasilnya mengecewakan. Dibawah sistem pemerintahan Feodalis yang kini sudah ditumbangkan kaum Nasionalis mereka betul-betul diperlakukan istimewa. Pembayaran pajak, nyaris tidak ada. Upeti hampir semuanya masuk ke kantong pribadi para keturunan raja dan kaki tangannya yang ditunjuk sebagai panglima di daerah. Keluarga tersebut diindikasi melakukan pemerasan terhadap kaum buruh, peternak ulat sutra serta petani dengan memberi mereka upah yang sangat rendah.
Jadi kini Liang Hao datang mewakili pemerintah alias ayahnya untuk memperhitungkan denda serta pajak dan upeti yang seharusnya dibayarkan oleh keluarga tersebut. Sesuatu yang sangat tidak enak namun harus ditelan tuntas oleh keluarga Tsang sebagai kelompok kontra revolusi yang diharuskan menebus dosa-dosa nenek moyangnya.

Aku sengaja menarik diri tidak mau menemui Liang Hao. Dengan bersemangat menunggu keputusan keluarga di ruang pribadiku yang kini dipenuhi karya kaligrafiku bersama Yin-yin dan ayahnya.
Dengan perasaan hangat kuamati karya Yin-yin dengan sapuan kuasnya yang antusias namun belum rapi. Salah satu yang sangat menyentuh diberinya judul CI MU HE XIAO CI. Induk ayam bersama anaknya. Sang induk melebarkan sayapnya untuk melindungi sang anak dari serangan alap-alap. Karya kaligrafi itu belum selesai. Tinggal polesan kecil di beberapa bagian agar tampil sempurna. Karya seorang anak yang baru saja kehilangan sosok ibu dan sangat mendambakan belai kasihnya.
Kususut air mataku di hadapan lukisan itu. Sadar tak lama lagi aku bakal tidak bisa bertemu dengan dua sosok yang selalu kurindukan kehadirannya. Karena membuat Perasaanku hangat.
Semua perasaan kucetuskan lewat sapuan kuas. Kuberi judul HU TIE CHUI JAI SHIA. Menggambarkan sepasang kupu-kupu sedang terbang beriringan menuju langit mengejar mega-mega di angkasa.
Betapa ingin kuselesaikan karya terakhirku ini untuk kuhadiahkan sebagai kenang-kenangan kepada tuan Deng. Lelaki yang begitu lembut dan tulus. Satu-satunya lelaki yang berhasil menangkap kedalaman perasaanku dan dituangkannya dengan begitu indah di kanvas sutra. Sayang lukisan itu sudah dibawanya pulang. Padahal aku begitu ingin memilikinya sebagai kenangan pribadiku terhadapnya.

Setelah Liang Hao dan anak buahnya meninggalkan rumah aku dipanggil ke ruang keluarga.
Di sana sudah hadir keluarga besar Tsang, yaitu ibu mertua serta ketiga adik suamiku. Juga empat orang paman yang hanya pernah kutemui satu kali. Tatkala di hari pernikahanku dalam acara Pai Ciu, saat itu suamiku mengajakku menyajikan arak keberuntungan kepada mereka yang mereka balas dengan memberikan angpao.
Aku tahu sesuatu yang luar biasa telah diputuskan keluarga tersebut. Firasatku mengatakan semua itu bakal berkaitan denganku, sehingga aku disuruh ikut hadir. Mereka tidak pernah memperhitungkan keberadaan seorang perempuan. Terkecuali ibu mertuaku karena suaminya sudah meninggal. Ia punya kedudukan mirip ibu suri yang sangat terhormat dan disegani seluruh marga Tsang.
Jadi kalau saat ini mereka yakin aku bisa dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga itu. Dimata mereka aku bukan manusia, tetapi benda yang bisa diperlakukan sesuai kegunaannya. Untuk memproduksi anak atau alat tukar.
Intinya Liang Hao bersedia menghapus semua denda yang wajib dibayarkan keluarga tersebut yang jumlahnya bisa menguras nyaris semua kekayaan keluarga. Termasuk upeti yang biasanyya diserahkan secara khusus untuk kepentingan pribadi bupati setiap bulan. Syaratnya adalah dengan menyerahkanku untuk dijadikan selir sang ajudan.
Keluarga Tsang dipaksa menelan buah simalakama . Bangkrut atau tercoreng reputasinya karena menjadikan istri sah sang ketua marga sebagai pembayaran upeti. Sesuatu yang sangat memalukan dan belum pernah diperbuat oleh keluarga bangsawan manapun.
Namun mereka terlalu mencintai uang serta kenikmatan hidup yang sudah direguk beberapa generasi. Aku sama sekali tidak berarti, termasuk bagi suamiku yang kenyang menikmati pelayananku sekian tahun.
Rasa marah melanda batinku. Ini saatnya aku menagih tumpukan hutang keluarga suamiku terhadapku.
Aku bangkit dari posisi berlutut. Mertuaku tergopoh-gopoh menghampiri, membantuku berdiri. Lalu mengajakku mengambil kursi duduk di sebelahnya dengan sikap menjilat.
Kutempiskan tangannya. Dalam posisi berdiri tegak menghadapi mereka.
"Saya menolak usulan itu," kilahku dengan mimik kubuat sesedih mungkin. "Bagaimana mungkin bisa kutinggalkan keluarga yang kini sudah menjadi hidup dan pengabdianku begitu saja. Apalagi hanya untuk dijadikan selir seorang pejabat berperangai begitu buruk."
Untuk mendramatisir suasana aku sengaja menangis sambil menunjuk-nunjuk suamiku yang nampak menyusut bersembunyi di belakang wibawa ibunya.
"Xien shen, tolonglah. Anda harus melindungi saya. Karena saya ingin melayani tuan seumur hidup."
Suamiku berkelit dengan mengibaskan tangannya yang dibalut ciongsam berlengan panjang.
"Aiyah....... Dai-dai saya tidak sangka ajudan gila itu begitu kepincut olehmu."
Ada niat jahat dari sanggahannya seolah-olah itu semua salahku. Karena akulah yang berusaha menggodanya.
Ibu mertuaku yang licik berusaha melerai dengan tujuan untuk melindungi putranya.
Ia mendekatiku. Mengusap-usap lenganku dengan gaya membujuk.
"Ini saatnya engkau menunjukkan baktimu terhadap marga Tsang dengan memenuhi permintaan kami." Katanya sambil memberi isyarat kepada salah seorang paman.
"Kami sudah menyiapkan sejumlah barang berharga sebagai ungkapan Terimakasih kami kepadamu, Xi fu."
Lalu kotak perhiasan berbahan perak itu sengaja dibuka di hadapanku. Isinya  beragam perhiasan kalung, anting, penjepit rambut dari emas bertahtakan permata dan mutiara.
Aku sengaja membuang muka. Menunjukkan rasa tidak tertarik. Dengan nada tinggi menolak.
"Apa artinya semua ini bila saya harus berpisah dengan suami  tercinta serta ibu mertua yang sudah kuanggap ibu sendiri," ungkapku disertai isak tangis kesedihan makin keras.
Termakan siasatku wanita itu kembali memberi isyarat.
Sebuah kotak dibentangkan lagi di hadapanku. Isinya beberapa barang emas dan perak.
Aku menahan napas. Tahu nilai yang ditawarkan keluarga itu untukku. Cukup untuk menunjang hidupku selanjutnya tanpa harus susah payah bekerja.      
Aku menyusut air mataku.
"Dengan berat hati saya terpaksa menuruti permintaan keluarga Tsang," kataku dengan suara bergetar menunjukkan penyesalan. "Sebagai wujud kesungguhan saya mohon keluarga membuat surat cerai, sehingga nama baik keluarga tidak ikut tercemar oleh perilaku saya hari-hari selanjutnya."
"Betul, betul sekali!" Ibu mertuaku spontan menyetujui usulku dengan bersemangat.
"Kelak bila terjadi apa-apa tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan kami!"
Aku tersenyum dalam hati. Menikmati jalan pikirannya yang jalang itu. Di matanya aku hanya wanita penggoda. Bila suatu ketika sang ajudan kurang berkenan dengan pelayananku  ia tidak bisa lagi menyalahkan keluarga Tsang karena aku sudah diceraikan secara resmi.

Sehari sebelum aku pergi dari rumah keluarga Tsang Yin-yin dan ayahnya datang mengunjungiku.
Waktu itu aku sedang berbenah di ruang pribadi. Mengemasi karya kami bersama yang ingin kubawa sebagai kenang-kenangan. Namun ada beberapa yang sengaja kusisihkan untuk kuberikan kepada ayah dan anak. Kaligrafi berisi ungkapan serta pesan pribadiku yang mudah-mudahkan bisa ditangkap dengan cermat oleh keduanya.
Keduanya tidak berkata-kata. Yin-yin menunjukkan sikap kematangannya sebagai seorang bocah dengan merengkuh dan memelukku erat. Tidak merengek. Namun aku bisa menangkap kesedihannya yang mendalam dari wajah cantik serta matanya yang bening berkaca-kaca.
"Fujin menghabiskan tiga hari tiga malam untuk melukis ini." Ia mewakili sang ayah menunjukkan karya Tuan Deng kepadaku. Dibentangkan di easel yang belum sempat kukemas.
Kali ini aku hadir dalam sosok berbeda. Sepasang mata yang dinaungi alis tipis memanjang itu memancarkan sinar keriangan.  Dipadukan seulas senyum merekah. Tubuhnya melayang diantara awan-awan berwarna biru bercampur semburat merah jingga.
Perempuan itu tidak lagi seperti sedang menari. Tapi ia benar-benar terbang menggapai awan. Selendang sutranya yang panjang berwarna-warni dan melilit pinggangnya yang ramping  merebak, ikut terbang mengembang tersapu angin.
Lukisan yang begitu riang dan luar biasa indahnya. Tuan Deng menuliskan kata QIANG CHENG, masa depan yang cerah, di sudut kiri lukisannya.
Aku gagal menahan diri. Sambil mendekap Yin-yin tangisku pecah.
Tuan Deng mengikuti ekspresiku dengan senyum tipis.
"CU NI YUNG YEN XIN FU, semoga engkau berbahagia selamanya," bisiknya. "Ini adalah karya terakhirku untukmu."
Ia menghampiri easel, menggulung lukisan itu hati-hati. Memasukannya  ke batang bambu yang sudah dipelitur dengan indah. Lalu merangkul bahu putrinya. Pergi meninggalkanku sendirian tanpa pernah berpaling lagi. Berlalu dari kehidupanku yang tragis.

                                                                     ***

Hari yang terjanji kan tiba. Berbekal selembar surat cerai serta hadiah  dan batangan emas pemberian keluarga Tsang  aku pergi diantar tandu meninggalkan pintu gerbang kompleks perumahan yang disatukan dengan lahan peternakan ulat dan pabrik pengolahan benang sutra milik marga Tsang dengan perasaan lapang.
Aku siap menyambut hari baruku yang masih samar-samar namun akan kulakoni dengan semangat baru yang disemaikan Yin-yin dan tuan Deng kepadaku.
Kini aku manusia bebas. Siap mengatur langkah-langkah masa depanku sendiri.
Sayangnya aku masih harus membereskan sisa masa laluku yang mirip kerak yang bakal meninggalkan karat di hatiku bila tak segera diselesaikan.

Liang Hao tengah menungguku di wilayah perbatasan. Tanduku dihentikan di tengah jalan oleh anak buahnya. Keempat lelaki yang mengantarku berhenti. Menyibakkan kain penutup tandu dan mempersilahkan aku turun dengan wajah cemas.
"Siaocia tugas kami hanya sampai di sini," kata sang pemimpin sambil mengulurkan tangan membantuku keluar. Ia nampak begitu meresahkan keselamatanku.
Aku mengangguk. "Kini kalian bisa pergi," kataku tenang sambil mengamati ia mengosongkan isi tandu. Meletakkannya di jalanan.
Setelah mereka berpamitan dan pergi meninggalkanku Liang Hao dengan langkah tegapnya berjalan menghampiriku. Menyongsongku dengan wajah berseri-seri.
Ia telah menyiapkan sebuah kereta berukir indah dihela sepasang kuda yang gagah.
"Selamat datang selirku yang cantik," ujarnya dengan gaya menyanjung. " Aku telah menyiapkan semuanya untuk menyambut kehadiranmu dalam hidupku."
Aku bergeming. Membiarkan ia yang menghampiriku dengan sikap siap menghadapinya.

"Ajudan bupati yang terhormat," akhirnya aku menangkupkan tangan memberi hormat dengan sikap resmi begitu ia berada di mukaku. "Terimakasih tuan sudah membantu saya keluar dari keluarga Tsang."
Ia menunjukkan reaksi terkejut. "Ini apa-apaan?" Teriaknya. " Kamu jangan mempermainkanku!"
Aku menghampirinya. "Liang Hao," bujukku sambil meletakkan tangan di bahunya. "Engkau kini bukan lagi orang yang sama dengan kekasih yang kucintai dulu. Engkau sudah berubah. Dalam dirimu kini tersemat reputasi dan kehormatan keluarga bupati. Penguasa tertinggi daerah."
Aku memandanginya dengan tenang namun penuh kesungguhan.
"Jangan kau kotori nama baikmu dengan merebut istri orang, lalu menjadikannya selirmu." Aku memberanikan diri memeluknya. "Engkau akan menjadi bahan tertawaan orang. Termasuk seluruh keluarga istrimu!" Aku mengingatkannya.
Ia menggeleng dengan resah. Merenggangkan tubuhku. Namun tidak menyanggah ucapanku.
"Ayo lah," bujukku. "Kini kita impas. Tidak saling berhutang apapun. Biarlah kita menyusuri lorong kehidupan yang sudah digariskan takdir masing-masing. "

Akhirnya Liang Hao surut dari hadapanku dengan geram. Kembali ke keretanya diiringi para anak buahnya. Aku berdiri mengamati kepergian mereka dengan dingin. Pria itu sudah lama tidak ada lagi dalam hatiku. Sama seperti yang dia lakukan, menghempaskanku begitu saja tanpa upaya mengetahui keberadaan serta nasibku sekian tahun.
Sayup-sayup kudengar kereta itu beranjak menjauh disertai umpatan dan caci-maki Liang Hao terhadap keluarga Tsang yang tidak memenuhi janjinya terhadap dia. Dianggap sudah menipunya mentah-mentah.
Aku masih sempat mendengar seruannya. "Akan kubuat bangkrut keluarga itu!"
Namun aku tidak peduli. Bagiku mereka sudah bukan siapa-siapa. Sudah saatnya keluarga yang tidak pernah menghargai perempuan sebagaimana mestinya dihancurkan oleh seorang perempuan. Kendati harus meminjam tangan Liang Hao.

                                                                  ***

Berdiri di tepi jalan sendirian kuamati hamparan cakrawala di hadapanku yang Menampilkan keleluasaan alam. Setelah berhasil menutup buku masa laluku kini yang perlu kulakukan hanyalah membuka lembaran baru kehidupanku yang ingin kuisi dengan berbagai hal yang mencerminkan keberadaanku sebagai manusia bebas. Tidak terkekang tradisi yang sarat ketidakadilan terhadap kaumku. Dengan bekal yang diberikan keluarga Tsang rasanya aku mampu mengatur hidupku secara layak. Termasuk menyalurkan hasratku melukis dan menulis kaligrafi.

Keheningan tak berlangsung lama.
Dari kejauhan diantara kepulan debu menyeruak sebuah pedati berderak mendekatiku. Keretanya berbentuk sederhana, mirip milik petani yang biasa digunakan mengangkut hasil bumi.
Sayup-sayup kudengar suara bocah memanggil  bersama hembusan angin yang sepoi-sepoi menerpa wajahku.
"Ayi... Ayi...... kami datang menjemputmu."
Sang kusir yang sebagian wajahnya tertutup topi jerami melompat turun. Berdiri di sebelah kereta sambil membungkuk penuh hormat.
"Selamat datang siaocie," ia mengubah panggilan terhadapku disesuaikan dengan statusku yang sudah bebas.
Tuan Deng dan Yin-yin berjalan menghampiri. Keduanya menunjukkan ekspresi riang bersemangat.
Aku tersenyum lebar. Mengangsurkan tanganku. Memeluk Yin-yin dengan erat.
"Untung anda berdua bisa menangkap pesan yang tersirat dari kaligrafi yang kuberikan," kataku menarik napas lega. Dadaku bergemuruh dilimpahi kebahagiaan. Karena orang yang sangat kuharapkan akhirnya datang menjemputku.
Yin-yin melingkarkan tangannya yang kecil ke pinggangku. Merapatkan kepalanya ke tubuhku.
"Fujin sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan Ayi ke rumah kami," ia berpromosi. " kita juga punya kamar khusus untuk menggambar."
Aku mengangguk. Hanya mengangguk guna meyakinkan bocah itu bahwa aku siap mempersatukan hidupku bersama mereka. Tenggorokanku sesak tercekat rasa haru.
Namun seperti takut kehilangan ia masih terus berceloteh.
"Kita akan terbang ke angkasa mengejar pelangi seperti yang Ayi gambar." Ia merentangkan tangannya menunjuk langit.
Tuan Deng memandangku dengan pancaran matanya yang lembut. Lalu mengangsurkan tangannya. Membantuku naik ke kereta.
"Ayo," serunya sambil memberi isyarat kepada putrinya agar duduk dibagian belakang pedati.
"Mari kita tangkap mimpi-mimpi kita sebelum terlambat," bisiknya lebih ditujukan kepadaku.
Ia memandangku: hangat dan menjanjikan.  Lalu meraih tali kekang dan menyentakkannya.  Membawa pedati berderak maju menembus langit tak berbatas yang benderang dipenuhi warna-warni awan. (fani.c)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun