Tidak butuh waktu terlalu lama wanita itu tergopoh-gopoh mendatangiku. Sikapnya yang garang dan pengatur berubah jadi begitu manis.
"Tolong bantu keluarga suamimu menghadapi masalah ini Xifu," katanya.
Baru kali ini ia menyebutku "menantu" dengan panggilan sepantasnya.
"Aiya......" aku sengaja mendesah sambil menarik napas panjang. " apa kata orang bila tahu Tsang Xifu sengaja dikirim keluarganya menemui pejabat yang jelas-jelas berlaku tidak pantas itu?" Tanyaku gamblang. Membuat wajahnya tertekuk. Merah menahan malu.
Ia menggeleng-geleng sambil meraih dan meremas kedua tanganku.
"Tolonglah," desahnya. "Kami tidak akan melupakan pengorbananmu untuk keluarga Tsang," bujuknya. "Kami akan memberimu banyak hadiah bila engkau berhasil membuatnya menjalin hubungan baik dengan keluarga Tsang!"
"Baiklah!" Aku mengangguk. Sengaja menampilkan ekspresi enggan. "Mudah-mudahan ada yang bisa kulakukan."
Jadi atas restu dan dukungan keluarga, terutama suami dan ibu mertua berangkatlah daku menemui Ajudan bupati di sebuah tempat yang sudah direncanakan.
Ia sudah menantikan kedatanganku dengan gelisah. Tatkala tandu yang membawaku tiba sang ajudan mendekat, lantas mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar. Aku membalas senyumnya sambil menyambut uluran tangannya. Turun dari tandu. Kami saling menggenggam tangan disekap rindu yang mengendap sekian lama.
Ajudan bupati itu adalah Liang Hao, mantan kekasihku.
Setelah berpisah hampir sepuluh tahun lelaki itu banyak berubah. Nyaris tidak kutemukan jejak masa lalunya yang manis dan lembut. Yang membuatku dulu tidak ragu menyerahkan seluruh yang kumiliki.
Pengalaman di dunia militer dan politik telah membentuknya menjadi lelaki licik dan oportunis. Kini ia siao melakukan apapun demi memenuhi ambisinya menjadi penguasa. Mengabaikan perasaan. Pengalaman telah menempanya menjadi seorang politikus yang matang. Kami dipertemukan dengan suratan takdir berbeda. Ia sama sekali bebas. Bahkan bisa memanfaatkan ketampanan dan kepandaiannya merayu untuk mendekati putri komandannya. Menikahinya guna menaikkan derajatnya. Di lain pihak aku harus memikul seluruh azab perbuatannya terhadapku dulu. Terjebak dalam kehidupan perkawinan menyedihkan untuk membayar semua itu.
Tanpa perlu mengungkapkan Liang Hao tahu keadaanku. Ia jelas melihat penampilanku yang menyedihkan. Mengambil inisiatif menuangkan teh ke cangkirku sambil meminta maaf atas sikapnya yang provokatif dalam pertemuan pertama kami.
Ia berusaha menyelami penderitaanku dengan mengajakku menikmati acara minum teh di sebuah kedai pilihan yang sengaja dikosongkan untuk  menyambutku. Anak buahnya dikerahkan bersiaga di luar kedai. Mengusir pengunjung lain yang ingin menerobos masuk agar tidak mengganggu reuni kami.   Â
"Aku sengaja mengerjaimu untuk menunjukkan betapa tidak berharganya cecunguk itu sebagai suamimu."
Aku menarik napas. Ada jejak masa remaja dalam dirinya yang masih tersisa, yaitu kebiasaan menjahili orang. Dulu aku sering dibuat jengkel oleh ulahnya. Namun saat itu juga ia akan langsung membujukku untuk meredakan kemarahanku. Itulah kenangan paling manisku tentangnya.
Kami duduk bersebelahan. Ia mengulurkan tangannya mengusap bekas luka dan lebam di wajahku dengan raut sedih dan geram.
"Aku banyak mengetahui kisah hidup perkawinanmu yang menyedihkan dari nyonya Liao, guru melukis dan kaligrafimu." Ia menjelaskan.
Kini aku mengerti mengapa ia tidak nampak terkejut ketika melihatku pertama kali. Rupanya Suami nyonya Liao  bekerja sebagai sekretaris pribadi Liang Hao. Dugaanku bahwa ia sudah melupakanku ternyata tidak sepenuhnya benar. Ia berupaya melacak keberadaanku melalui orang-orang suruhannya.
Kesempatan mendatangiku tiba tatkala secara kebetulan mertuanya dipindahkan bertugas di daerah kami. Liang Hao mengatur siasat agar bisa mewakili bupati berkunjung ke rumah. Membuat jebakan yang mengharuskan aku pergi menemuinya.
Kini hanya mantan kekasihku lah satu-satunya orang yang bisa menolongku untuk membawaku keluar dari kungkungan keluarga Tsang. Â Dan ia sudah menyatakan kesanggupannya.
Hal itu ditunjukkannya beberapa hari kemudian.
Dengan langkah gagah penuh kepercayaan diri ia kembali memasuki gerbang rumah keluarga Tsang memenuhi undangan suamiku dan keluarganya. Staf ayahnya sengaja diajak membawa catatan sumbangan serta upeti yang pernah dikeluarkan keluarga suamiku selama beberapa generasi kepada daerah yang sudah memberi mereka kemudahan berniaga. Hasilnya mengecewakan. Dibawah sistem pemerintahan Feodalis yang kini sudah ditumbangkan kaum Nasionalis mereka betul-betul diperlakukan istimewa. Pembayaran pajak, nyaris tidak ada. Upeti hampir semuanya masuk ke kantong pribadi para keturunan raja dan kaki tangannya yang ditunjuk sebagai panglima di daerah. Keluarga tersebut diindikasi melakukan pemerasan terhadap kaum buruh, peternak ulat sutra serta petani dengan memberi mereka upah yang sangat rendah.
Jadi kini Liang Hao datang mewakili pemerintah alias ayahnya untuk memperhitungkan denda serta pajak dan upeti yang seharusnya dibayarkan oleh keluarga tersebut. Sesuatu yang sangat tidak enak namun harus ditelan tuntas oleh keluarga Tsang sebagai kelompok kontra revolusi yang diharuskan menebus dosa-dosa nenek moyangnya.
Aku sengaja menarik diri tidak mau menemui Liang Hao. Dengan bersemangat menunggu keputusan keluarga di ruang pribadiku yang kini dipenuhi karya kaligrafiku bersama Yin-yin dan ayahnya.
Dengan perasaan hangat kuamati karya Yin-yin dengan sapuan kuasnya yang antusias namun belum rapi. Salah satu yang sangat menyentuh diberinya judul CI MU HE XIAO CI. Induk ayam bersama anaknya. Sang induk melebarkan sayapnya untuk melindungi sang anak dari serangan alap-alap. Karya kaligrafi itu belum selesai. Tinggal polesan kecil di beberapa bagian agar tampil sempurna. Karya seorang anak yang baru saja kehilangan sosok ibu dan sangat mendambakan belai kasihnya.
Kususut air mataku di hadapan lukisan itu. Sadar tak lama lagi aku bakal tidak bisa bertemu dengan dua sosok yang selalu kurindukan kehadirannya. Karena membuat Perasaanku hangat.
Semua perasaan kucetuskan lewat sapuan kuas. Kuberi judul HU TIE CHUI JAI SHIA. Menggambarkan sepasang kupu-kupu sedang terbang beriringan menuju langit mengejar mega-mega di angkasa.
Betapa ingin kuselesaikan karya terakhirku ini untuk kuhadiahkan sebagai kenang-kenangan kepada tuan Deng. Lelaki yang begitu lembut dan tulus. Satu-satunya lelaki yang berhasil menangkap kedalaman perasaanku dan dituangkannya dengan begitu indah di kanvas sutra. Sayang lukisan itu sudah dibawanya pulang. Padahal aku begitu ingin memilikinya sebagai kenangan pribadiku terhadapnya.
Setelah Liang Hao dan anak buahnya meninggalkan rumah aku dipanggil ke ruang keluarga.
Di sana sudah hadir keluarga besar Tsang, yaitu ibu mertua serta ketiga adik suamiku. Juga empat orang paman yang hanya pernah kutemui satu kali. Tatkala di hari pernikahanku dalam acara Pai Ciu, saat itu suamiku mengajakku menyajikan arak keberuntungan kepada mereka yang mereka balas dengan memberikan angpao.
Aku tahu sesuatu yang luar biasa telah diputuskan keluarga tersebut. Firasatku mengatakan semua itu bakal berkaitan denganku, sehingga aku disuruh ikut hadir. Mereka tidak pernah memperhitungkan keberadaan seorang perempuan. Terkecuali ibu mertuaku karena suaminya sudah meninggal. Ia punya kedudukan mirip ibu suri yang sangat terhormat dan disegani seluruh marga Tsang.
Jadi kalau saat ini mereka yakin aku bisa dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga itu. Dimata mereka aku bukan manusia, tetapi benda yang bisa diperlakukan sesuai kegunaannya. Untuk memproduksi anak atau alat tukar.
Intinya Liang Hao bersedia menghapus semua denda yang wajib dibayarkan keluarga tersebut yang jumlahnya bisa menguras nyaris semua kekayaan keluarga. Termasuk upeti yang biasanyya diserahkan secara khusus untuk kepentingan pribadi bupati setiap bulan. Syaratnya adalah dengan menyerahkanku untuk dijadikan selir sang ajudan.
Keluarga Tsang dipaksa menelan buah simalakama . Bangkrut atau tercoreng reputasinya karena menjadikan istri sah sang ketua marga sebagai pembayaran upeti. Sesuatu yang sangat memalukan dan belum pernah diperbuat oleh keluarga bangsawan manapun.
Namun mereka terlalu mencintai uang serta kenikmatan hidup yang sudah direguk beberapa generasi. Aku sama sekali tidak berarti, termasuk bagi suamiku yang kenyang menikmati pelayananku sekian tahun.
Rasa marah melanda batinku. Ini saatnya aku menagih tumpukan hutang keluarga suamiku terhadapku.
Aku bangkit dari posisi berlutut. Mertuaku tergopoh-gopoh menghampiri, membantuku berdiri. Lalu mengajakku mengambil kursi duduk di sebelahnya dengan sikap menjilat.
Kutempiskan tangannya. Dalam posisi berdiri tegak menghadapi mereka.
"Saya menolak usulan itu," kilahku dengan mimik kubuat sesedih mungkin. "Bagaimana mungkin bisa kutinggalkan keluarga yang kini sudah menjadi hidup dan pengabdianku begitu saja. Apalagi hanya untuk dijadikan selir seorang pejabat berperangai begitu buruk."
Untuk mendramatisir suasana aku sengaja menangis sambil menunjuk-nunjuk suamiku yang nampak menyusut bersembunyi di belakang wibawa ibunya.
"Xien shen, tolonglah. Anda harus melindungi saya. Karena saya ingin melayani tuan seumur hidup."
Suamiku berkelit dengan mengibaskan tangannya yang dibalut ciongsam berlengan panjang.
"Aiyah....... Dai-dai saya tidak sangka ajudan gila itu begitu kepincut olehmu."
Ada niat jahat dari sanggahannya seolah-olah itu semua salahku. Karena akulah yang berusaha menggodanya.
Ibu mertuaku yang licik berusaha melerai dengan tujuan untuk melindungi putranya.
Ia mendekatiku. Mengusap-usap lenganku dengan gaya membujuk.
"Ini saatnya engkau menunjukkan baktimu terhadap marga Tsang dengan memenuhi permintaan kami." Katanya sambil memberi isyarat kepada salah seorang paman.
"Kami sudah menyiapkan sejumlah barang berharga sebagai ungkapan Terimakasih kami kepadamu, Xi fu."
Lalu kotak perhiasan berbahan perak itu sengaja dibuka di hadapanku. Isinya  beragam perhiasan kalung, anting, penjepit rambut dari emas bertahtakan permata dan mutiara.
Aku sengaja membuang muka. Menunjukkan rasa tidak tertarik. Dengan nada tinggi menolak.
"Apa artinya semua ini bila saya harus berpisah dengan suami  tercinta serta ibu mertua yang sudah kuanggap ibu sendiri," ungkapku disertai isak tangis kesedihan makin keras.
Termakan siasatku wanita itu kembali memberi isyarat.
Sebuah kotak dibentangkan lagi di hadapanku. Isinya beberapa barang emas dan perak.
Aku menahan napas. Tahu nilai yang ditawarkan keluarga itu untukku. Cukup untuk menunjang hidupku selanjutnya tanpa harus susah payah bekerja. Â Â Â
Aku menyusut air mataku.
"Dengan berat hati saya terpaksa menuruti permintaan keluarga Tsang," kataku dengan suara bergetar menunjukkan penyesalan. "Sebagai wujud kesungguhan saya mohon keluarga membuat surat cerai, sehingga nama baik keluarga tidak ikut tercemar oleh perilaku saya hari-hari selanjutnya."
"Betul, betul sekali!" Ibu mertuaku spontan menyetujui usulku dengan bersemangat.
"Kelak bila terjadi apa-apa tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan kami!"
Aku tersenyum dalam hati. Menikmati jalan pikirannya yang jalang itu. Di matanya aku hanya wanita penggoda. Bila suatu ketika sang ajudan kurang berkenan dengan pelayananku  ia tidak bisa lagi menyalahkan keluarga Tsang karena aku sudah diceraikan secara resmi.
Sehari sebelum aku pergi dari rumah keluarga Tsang Yin-yin dan ayahnya datang mengunjungiku.
Waktu itu aku sedang berbenah di ruang pribadi. Mengemasi karya kami bersama yang ingin kubawa sebagai kenang-kenangan. Namun ada beberapa yang sengaja kusisihkan untuk kuberikan kepada ayah dan anak. Kaligrafi berisi ungkapan serta pesan pribadiku yang mudah-mudahkan bisa ditangkap dengan cermat oleh keduanya.
Keduanya tidak berkata-kata. Yin-yin menunjukkan sikap kematangannya sebagai seorang bocah dengan merengkuh dan memelukku erat. Tidak merengek. Namun aku bisa menangkap kesedihannya yang mendalam dari wajah cantik serta matanya yang bening berkaca-kaca.
"Fujin menghabiskan tiga hari tiga malam untuk melukis ini." Ia mewakili sang ayah menunjukkan karya Tuan Deng kepadaku. Dibentangkan di easel yang belum sempat kukemas.
Kali ini aku hadir dalam sosok berbeda. Sepasang mata yang dinaungi alis tipis memanjang itu memancarkan sinar keriangan. Â Dipadukan seulas senyum merekah. Tubuhnya melayang diantara awan-awan berwarna biru bercampur semburat merah jingga.
Perempuan itu tidak lagi seperti sedang menari. Tapi ia benar-benar terbang menggapai awan. Selendang sutranya yang panjang berwarna-warni dan melilit pinggangnya yang ramping  merebak, ikut terbang mengembang tersapu angin.
Lukisan yang begitu riang dan luar biasa indahnya. Tuan Deng menuliskan kata QIANG CHENG, masa depan yang cerah, di sudut kiri lukisannya.
Aku gagal menahan diri. Sambil mendekap Yin-yin tangisku pecah.
Tuan Deng mengikuti ekspresiku dengan senyum tipis.
"CU NI YUNG YEN XIN FU, semoga engkau berbahagia selamanya," bisiknya. "Ini adalah karya terakhirku untukmu."
Ia menghampiri easel, menggulung lukisan itu hati-hati. Memasukannya  ke batang bambu yang sudah dipelitur dengan indah. Lalu merangkul bahu putrinya. Pergi meninggalkanku sendirian tanpa pernah berpaling lagi. Berlalu dari kehidupanku yang tragis.
                                   ***
Hari yang terjanji kan tiba. Berbekal selembar surat cerai serta hadiah  dan batangan emas pemberian keluarga Tsang  aku pergi diantar tandu meninggalkan pintu gerbang kompleks perumahan yang disatukan dengan lahan peternakan ulat dan pabrik pengolahan benang sutra milik marga Tsang dengan perasaan lapang.
Aku siap menyambut hari baruku yang masih samar-samar namun akan kulakoni dengan semangat baru yang disemaikan Yin-yin dan tuan Deng kepadaku.
Kini aku manusia bebas. Siap mengatur langkah-langkah masa depanku sendiri.
Sayangnya aku masih harus membereskan sisa masa laluku yang mirip kerak yang bakal meninggalkan karat di hatiku bila tak segera diselesaikan.