Aku sengaja menarik diri tidak mau menemui Liang Hao. Dengan bersemangat menunggu keputusan keluarga di ruang pribadiku yang kini dipenuhi karya kaligrafiku bersama Yin-yin dan ayahnya.
Dengan perasaan hangat kuamati karya Yin-yin dengan sapuan kuasnya yang antusias namun belum rapi. Salah satu yang sangat menyentuh diberinya judul CI MU HE XIAO CI. Induk ayam bersama anaknya. Sang induk melebarkan sayapnya untuk melindungi sang anak dari serangan alap-alap. Karya kaligrafi itu belum selesai. Tinggal polesan kecil di beberapa bagian agar tampil sempurna. Karya seorang anak yang baru saja kehilangan sosok ibu dan sangat mendambakan belai kasihnya.
Kususut air mataku di hadapan lukisan itu. Sadar tak lama lagi aku bakal tidak bisa bertemu dengan dua sosok yang selalu kurindukan kehadirannya. Karena membuat Perasaanku hangat.
Semua perasaan kucetuskan lewat sapuan kuas. Kuberi judul HU TIE CHUI JAI SHIA. Menggambarkan sepasang kupu-kupu sedang terbang beriringan menuju langit mengejar mega-mega di angkasa.
Betapa ingin kuselesaikan karya terakhirku ini untuk kuhadiahkan sebagai kenang-kenangan kepada tuan Deng. Lelaki yang begitu lembut dan tulus. Satu-satunya lelaki yang berhasil menangkap kedalaman perasaanku dan dituangkannya dengan begitu indah di kanvas sutra. Sayang lukisan itu sudah dibawanya pulang. Padahal aku begitu ingin memilikinya sebagai kenangan pribadiku terhadapnya.
Setelah Liang Hao dan anak buahnya meninggalkan rumah aku dipanggil ke ruang keluarga.
Di sana sudah hadir keluarga besar Tsang, yaitu ibu mertua serta ketiga adik suamiku. Juga empat orang paman yang hanya pernah kutemui satu kali. Tatkala di hari pernikahanku dalam acara Pai Ciu, saat itu suamiku mengajakku menyajikan arak keberuntungan kepada mereka yang mereka balas dengan memberikan angpao.
Aku tahu sesuatu yang luar biasa telah diputuskan keluarga tersebut. Firasatku mengatakan semua itu bakal berkaitan denganku, sehingga aku disuruh ikut hadir. Mereka tidak pernah memperhitungkan keberadaan seorang perempuan. Terkecuali ibu mertuaku karena suaminya sudah meninggal. Ia punya kedudukan mirip ibu suri yang sangat terhormat dan disegani seluruh marga Tsang.
Jadi kalau saat ini mereka yakin aku bisa dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga itu. Dimata mereka aku bukan manusia, tetapi benda yang bisa diperlakukan sesuai kegunaannya. Untuk memproduksi anak atau alat tukar.
Intinya Liang Hao bersedia menghapus semua denda yang wajib dibayarkan keluarga tersebut yang jumlahnya bisa menguras nyaris semua kekayaan keluarga. Termasuk upeti yang biasanyya diserahkan secara khusus untuk kepentingan pribadi bupati setiap bulan. Syaratnya adalah dengan menyerahkanku untuk dijadikan selir sang ajudan.
Keluarga Tsang dipaksa menelan buah simalakama . Bangkrut atau tercoreng reputasinya karena menjadikan istri sah sang ketua marga sebagai pembayaran upeti. Sesuatu yang sangat memalukan dan belum pernah diperbuat oleh keluarga bangsawan manapun.
Namun mereka terlalu mencintai uang serta kenikmatan hidup yang sudah direguk beberapa generasi. Aku sama sekali tidak berarti, termasuk bagi suamiku yang kenyang menikmati pelayananku sekian tahun.
Rasa marah melanda batinku. Ini saatnya aku menagih tumpukan hutang keluarga suamiku terhadapku.
Aku bangkit dari posisi berlutut. Mertuaku tergopoh-gopoh menghampiri, membantuku berdiri. Lalu mengajakku mengambil kursi duduk di sebelahnya dengan sikap menjilat.
Kutempiskan tangannya. Dalam posisi berdiri tegak menghadapi mereka.
"Saya menolak usulan itu," kilahku dengan mimik kubuat sesedih mungkin. "Bagaimana mungkin bisa kutinggalkan keluarga yang kini sudah menjadi hidup dan pengabdianku begitu saja. Apalagi hanya untuk dijadikan selir seorang pejabat berperangai begitu buruk."
Untuk mendramatisir suasana aku sengaja menangis sambil menunjuk-nunjuk suamiku yang nampak menyusut bersembunyi di belakang wibawa ibunya.
"Xien shen, tolonglah. Anda harus melindungi saya. Karena saya ingin melayani tuan seumur hidup."
Suamiku berkelit dengan mengibaskan tangannya yang dibalut ciongsam berlengan panjang.
"Aiyah....... Dai-dai saya tidak sangka ajudan gila itu begitu kepincut olehmu."
Ada niat jahat dari sanggahannya seolah-olah itu semua salahku. Karena akulah yang berusaha menggodanya.
Ibu mertuaku yang licik berusaha melerai dengan tujuan untuk melindungi putranya.
Ia mendekatiku. Mengusap-usap lenganku dengan gaya membujuk.
"Ini saatnya engkau menunjukkan baktimu terhadap marga Tsang dengan memenuhi permintaan kami." Katanya sambil memberi isyarat kepada salah seorang paman.
"Kami sudah menyiapkan sejumlah barang berharga sebagai ungkapan Terimakasih kami kepadamu, Xi fu."
Lalu kotak perhiasan berbahan perak itu sengaja dibuka di hadapanku. Isinya  beragam perhiasan kalung, anting, penjepit rambut dari emas bertahtakan permata dan mutiara.
Aku sengaja membuang muka. Menunjukkan rasa tidak tertarik. Dengan nada tinggi menolak.
"Apa artinya semua ini bila saya harus berpisah dengan suami  tercinta serta ibu mertua yang sudah kuanggap ibu sendiri," ungkapku disertai isak tangis kesedihan makin keras.
Termakan siasatku wanita itu kembali memberi isyarat.
Sebuah kotak dibentangkan lagi di hadapanku. Isinya beberapa barang emas dan perak.
Aku menahan napas. Tahu nilai yang ditawarkan keluarga itu untukku. Cukup untuk menunjang hidupku selanjutnya tanpa harus susah payah bekerja. Â Â Â
Aku menyusut air mataku.
"Dengan berat hati saya terpaksa menuruti permintaan keluarga Tsang," kataku dengan suara bergetar menunjukkan penyesalan. "Sebagai wujud kesungguhan saya mohon keluarga membuat surat cerai, sehingga nama baik keluarga tidak ikut tercemar oleh perilaku saya hari-hari selanjutnya."
"Betul, betul sekali!" Ibu mertuaku spontan menyetujui usulku dengan bersemangat.
"Kelak bila terjadi apa-apa tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan kami!"
Aku tersenyum dalam hati. Menikmati jalan pikirannya yang jalang itu. Di matanya aku hanya wanita penggoda. Bila suatu ketika sang ajudan kurang berkenan dengan pelayananku  ia tidak bisa lagi menyalahkan keluarga Tsang karena aku sudah diceraikan secara resmi.
Sehari sebelum aku pergi dari rumah keluarga Tsang Yin-yin dan ayahnya datang mengunjungiku.
Waktu itu aku sedang berbenah di ruang pribadi. Mengemasi karya kami bersama yang ingin kubawa sebagai kenang-kenangan. Namun ada beberapa yang sengaja kusisihkan untuk kuberikan kepada ayah dan anak. Kaligrafi berisi ungkapan serta pesan pribadiku yang mudah-mudahkan bisa ditangkap dengan cermat oleh keduanya.
Keduanya tidak berkata-kata. Yin-yin menunjukkan sikap kematangannya sebagai seorang bocah dengan merengkuh dan memelukku erat. Tidak merengek. Namun aku bisa menangkap kesedihannya yang mendalam dari wajah cantik serta matanya yang bening berkaca-kaca.
"Fujin menghabiskan tiga hari tiga malam untuk melukis ini." Ia mewakili sang ayah menunjukkan karya Tuan Deng kepadaku. Dibentangkan di easel yang belum sempat kukemas.
Kali ini aku hadir dalam sosok berbeda. Sepasang mata yang dinaungi alis tipis memanjang itu memancarkan sinar keriangan. Â Dipadukan seulas senyum merekah. Tubuhnya melayang diantara awan-awan berwarna biru bercampur semburat merah jingga.
Perempuan itu tidak lagi seperti sedang menari. Tapi ia benar-benar terbang menggapai awan. Selendang sutranya yang panjang berwarna-warni dan melilit pinggangnya yang ramping  merebak, ikut terbang mengembang tersapu angin.
Lukisan yang begitu riang dan luar biasa indahnya. Tuan Deng menuliskan kata QIANG CHENG, masa depan yang cerah, di sudut kiri lukisannya.
Aku gagal menahan diri. Sambil mendekap Yin-yin tangisku pecah.
Tuan Deng mengikuti ekspresiku dengan senyum tipis.
"CU NI YUNG YEN XIN FU, semoga engkau berbahagia selamanya," bisiknya. "Ini adalah karya terakhirku untukmu."
Ia menghampiri easel, menggulung lukisan itu hati-hati. Memasukannya  ke batang bambu yang sudah dipelitur dengan indah. Lalu merangkul bahu putrinya. Pergi meninggalkanku sendirian tanpa pernah berpaling lagi. Berlalu dari kehidupanku yang tragis.
                                   ***
Hari yang terjanji kan tiba. Berbekal selembar surat cerai serta hadiah  dan batangan emas pemberian keluarga Tsang  aku pergi diantar tandu meninggalkan pintu gerbang kompleks perumahan yang disatukan dengan lahan peternakan ulat dan pabrik pengolahan benang sutra milik marga Tsang dengan perasaan lapang.
Aku siap menyambut hari baruku yang masih samar-samar namun akan kulakoni dengan semangat baru yang disemaikan Yin-yin dan tuan Deng kepadaku.
Kini aku manusia bebas. Siap mengatur langkah-langkah masa depanku sendiri.
Sayangnya aku masih harus membereskan sisa masa laluku yang mirip kerak yang bakal meninggalkan karat di hatiku bila tak segera diselesaikan.
Liang Hao tengah menungguku di wilayah perbatasan. Tanduku dihentikan di tengah jalan oleh anak buahnya. Keempat lelaki yang mengantarku berhenti. Menyibakkan kain penutup tandu dan mempersilahkan aku turun dengan wajah cemas.
"Siaocia tugas kami hanya sampai di sini," kata sang pemimpin sambil mengulurkan tangan membantuku keluar. Ia nampak begitu meresahkan keselamatanku.
Aku mengangguk. "Kini kalian bisa pergi," kataku tenang sambil mengamati ia mengosongkan isi tandu. Meletakkannya di jalanan.
Setelah mereka berpamitan dan pergi meninggalkanku Liang Hao dengan langkah tegapnya berjalan menghampiriku. Menyongsongku dengan wajah berseri-seri.
Ia telah menyiapkan sebuah kereta berukir indah dihela sepasang kuda yang gagah.
"Selamat datang selirku yang cantik," ujarnya dengan gaya menyanjung. " Aku telah menyiapkan semuanya untuk menyambut kehadiranmu dalam hidupku."
Aku bergeming. Membiarkan ia yang menghampiriku dengan sikap siap menghadapinya.
"Ajudan bupati yang terhormat," akhirnya aku menangkupkan tangan memberi hormat dengan sikap resmi begitu ia berada di mukaku. "Terimakasih tuan sudah membantu saya keluar dari keluarga Tsang."
Ia menunjukkan reaksi terkejut. "Ini apa-apaan?" Teriaknya. " Kamu jangan mempermainkanku!"
Aku menghampirinya. "Liang Hao," bujukku sambil meletakkan tangan di bahunya. "Engkau kini bukan lagi orang yang sama dengan kekasih yang kucintai dulu. Engkau sudah berubah. Dalam dirimu kini tersemat reputasi dan kehormatan keluarga bupati. Penguasa tertinggi daerah."
Aku memandanginya dengan tenang namun penuh kesungguhan.
"Jangan kau kotori nama baikmu dengan merebut istri orang, lalu menjadikannya selirmu." Aku memberanikan diri memeluknya. "Engkau akan menjadi bahan tertawaan orang. Termasuk seluruh keluarga istrimu!" Aku mengingatkannya.
Ia menggeleng dengan resah. Merenggangkan tubuhku. Namun tidak menyanggah ucapanku.
"Ayo lah," bujukku. "Kini kita impas. Tidak saling berhutang apapun. Biarlah kita menyusuri lorong kehidupan yang sudah digariskan takdir masing-masing. "
Akhirnya Liang Hao surut dari hadapanku dengan geram. Kembali ke keretanya diiringi para anak buahnya. Aku berdiri mengamati kepergian mereka dengan dingin. Pria itu sudah lama tidak ada lagi dalam hatiku. Sama seperti yang dia lakukan, menghempaskanku begitu saja tanpa upaya mengetahui keberadaan serta nasibku sekian tahun.
Sayup-sayup kudengar kereta itu beranjak menjauh disertai umpatan dan caci-maki Liang Hao terhadap keluarga Tsang yang tidak memenuhi janjinya terhadap dia. Dianggap sudah menipunya mentah-mentah.
Aku masih sempat mendengar seruannya. "Akan kubuat bangkrut keluarga itu!"
Namun aku tidak peduli. Bagiku mereka sudah bukan siapa-siapa. Sudah saatnya keluarga yang tidak pernah menghargai perempuan sebagaimana mestinya dihancurkan oleh seorang perempuan. Kendati harus meminjam tangan Liang Hao.
                                 ***
Berdiri di tepi jalan sendirian kuamati hamparan cakrawala di hadapanku yang Menampilkan keleluasaan alam. Setelah berhasil menutup buku masa laluku kini yang perlu kulakukan hanyalah membuka lembaran baru kehidupanku yang ingin kuisi dengan berbagai hal yang mencerminkan keberadaanku sebagai manusia bebas. Tidak terkekang tradisi yang sarat ketidakadilan terhadap kaumku. Dengan bekal yang diberikan keluarga Tsang rasanya aku mampu mengatur hidupku secara layak. Termasuk menyalurkan hasratku melukis dan menulis kaligrafi.
Keheningan tak berlangsung lama.
Dari kejauhan diantara kepulan debu menyeruak sebuah pedati berderak mendekatiku. Keretanya berbentuk sederhana, mirip milik petani yang biasa digunakan mengangkut hasil bumi.
Sayup-sayup kudengar suara bocah memanggil  bersama hembusan angin yang sepoi-sepoi menerpa wajahku.
"Ayi... Ayi...... kami datang menjemputmu."
Sang kusir yang sebagian wajahnya tertutup topi jerami melompat turun. Berdiri di sebelah kereta sambil membungkuk penuh hormat.
"Selamat datang siaocie," ia mengubah panggilan terhadapku disesuaikan dengan statusku yang sudah bebas.
Tuan Deng dan Yin-yin berjalan menghampiri. Keduanya menunjukkan ekspresi riang bersemangat.
Aku tersenyum lebar. Mengangsurkan tanganku. Memeluk Yin-yin dengan erat.
"Untung anda berdua bisa menangkap pesan yang tersirat dari kaligrafi yang kuberikan," kataku menarik napas lega. Dadaku bergemuruh dilimpahi kebahagiaan. Karena orang yang sangat kuharapkan akhirnya datang menjemputku.
Yin-yin melingkarkan tangannya yang kecil ke pinggangku. Merapatkan kepalanya ke tubuhku.
"Fujin sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan Ayi ke rumah kami," ia berpromosi. " kita juga punya kamar khusus untuk menggambar."
Aku mengangguk. Hanya mengangguk guna meyakinkan bocah itu bahwa aku siap mempersatukan hidupku bersama mereka. Tenggorokanku sesak tercekat rasa haru.
Namun seperti takut kehilangan ia masih terus berceloteh.
"Kita akan terbang ke angkasa mengejar pelangi seperti yang Ayi gambar." Ia merentangkan tangannya menunjuk langit.
Tuan Deng memandangku dengan pancaran matanya yang lembut. Lalu mengangsurkan tangannya. Membantuku naik ke kereta.
"Ayo," serunya sambil memberi isyarat kepada putrinya agar duduk dibagian belakang pedati.
"Mari kita tangkap mimpi-mimpi kita sebelum terlambat," bisiknya lebih ditujukan kepadaku.
Ia memandangku: hangat dan menjanjikan. Â Lalu meraih tali kekang dan menyentakkannya. Â Membawa pedati berderak maju menembus langit tak berbatas yang benderang dipenuhi warna-warni awan. (fani.c)