Satu lagi pekerja mati tadi malam. Isi perutnya terburai. Mulutnya belepotan darah. Kantong matanya kosong melompong, entah hilang ke mana isinya. Dan, yang janggal, di sekujur tubuhnya tertabur semen kering.
      Peristiwa tewasnya pekerja-pekerja itu tentu menjadi bebanku. Aku, yang ditugaskan sebagai kepala pelaksana lapangan untuk pembangunan pabrik semen di Kendeng ini, tentu harus bisa memberikan penjelasan ke perusahaan tentang apa yang terjadi. Pemilik perusahaan, penanam saham, dan kerabat korban itu tentu menuntut kejelasan tentang siapa dalang di balik pembantaian berantai ini.
      "Ini tidak lain ulah penduduk yang ngeyel dan kampungan itu. Mereka sudah berani main fisik dengan kita rupanya."
      "Para aktivis dan mahasiswa itu barangkali sudah berkomplot untuk melakukan hal mengerikan ini. Mereka itu cuma sok-sokan dengan idealisme dan moral mereka!"
      "Mungkinkah ini ulah para petani yang pura-pura tak berdaya itu? Mereka gagal membujuk gubernur, dan kini melancarkan serangan ke kita. Coba pikirkan!"
      Semua tuduhan dan spekulasi itu tak bisa aku benarkan. Aku salahkan pun tak mampu. Semuanya itu tak berdasar. Tapi tentu, aku tak punya cukup nyali untuk mengatakannya tepat di depan muka-muka klimis mereka. Bisa-bisa, malah jabatan dan martabatku yang akan tergusur. Bukan sawah milik para petani sialan itu.
----------
      Pembunuhan ini bukan yang pertama. Malahan, ini adalah yang kelima bulan ini. Ada yang mati dengan keadaan seperti usai tenggelam, ada yang kaki dan tangannya terpotong hilang, ada yang badannya terkubur dan menyisakan kepalanya saja di permukaan. Tapi semua korban itu punya satu persamaan: Tubuh mereka tertaburi semen kering.
      Kami sudah menyusun tim penyelidik. Nihil. Bahkan para pakar kriminolog, baik yang resmi dari kepolisian maupun yang tidak, tak bisa menemukan apapun. Tak ada bukti alat pembunuhan, tak ada jejak kaki, bahkan tak ada sidik jari apapun. Hanya sehelai rambut binatang dari famili felidae. Kucing-kucing besar.
      Aku harus menemukan pembunuhnya. Bukan apa-apa, namun pekerjaan dan seluruh karierku mungkin bergantung di sini. Para atasanku bilang, kalau aku tak bisa mengusut pelaku di balik tewasnya para pekerja, maka aku akan dipecat. Tidak ditemukannya pelaku berarti tidak ada yang bisa disalahkan. Perusahaan terpaksa harus mengakui bahwa itu kecelakaan kerja. Itu tentu akan merusak citra perusahaan, dan lebih dari itu, perhatian dan kecurigaan yang tidak perlu.
      "Barangkali ini serangan macan kumbang?" salah satu pekerjaku berusul.
      Aku membantah, "Tidak. Macan kumbang memang tersebar di Pulau Jawa. Mereka memang berkeliaran bebas di Jawa Barat. Tapi tidak di sini. Tidak di pegunungan kapur ini."
      "Bagaimana dengan harimau jawa?"
      "Goblok! Mereka sudah punah puluhan tahun lalu karena diburu!" tukasku.
      "Atau mungkin makhluk halus?" seorang lagi nyeletuk.
      "Ah, otakmu banyak khayal, cuk," temannya mengejek.
      "Eh, benar ini. Mana mungkin hewan bisa menaburkan semen di tubuh mangsa-mangsanya?"
      "Benar juga."
      "Tapi mahluk halus macam apa? Malaikat? Setan? Jin? Tuhan?"
      Tak ada yang tahu: siapa pelakunya atau mengapa jatuhnya korban hanya terjadi pada para pekerja, tanpa satu pun dari para penduduk desa.
Salah seorang karyawanku bercerita, ia pernah diperingatkan oleh seorang tetua desa di sini. Bahwa tanah Kendeng ini adalah salah satu tanah tertua di muka bumi. Para leluhur yang telah lama hidup dan telah lama mati di sini tak akan membiarkan sembarang orang melakukan sembarang hal. Katanya, arwah para leluhur itu menjelma dalam bentuk seekor macan putih besar. Terkadang ia mengambil bentuk tubuhnya semasa masih hidup sebagai manusia untuk menghilang dalam keramaian.
      Gagasan tentang mahkluk halus ini sedari awal tak masuk akal buatku. Maksudku, ayolah! Ini abad 21. Semuanya pasti dapat dijelaskan lewat nalar dan sains. Setidaknya begitu yang aku pegang kukuh semasa masih mahasiswa. Masa kuliahku mungkin tak jauh beda dengan mahasiswa-mahasiswa itu. Bahkan aku pun dulu juga kerap ikut berdemonstrasi, turun ke jalanan untuk memprotes seorang presiden tua yang tak mau lengser dari tahtanya selama berpuluh-puluh tahun. Aku berjuang, lebih dari itu: berjuang untuk suatu alasan.
      Tapi itu berubah. Aku wisuda, menikah, dan melamar menjadi tenaga ahli di sebuah perusahaan semen. Memanjat hierarki pangkat dan harus bekerja terus-terusan. Para mahasiswa aktivis lingkungan itu mungkin juga akan melalui fase yang mirip denganku. Mereka boleh mengutuk dan memanggil sistem ini dengan nama-nama semau mereka: kapitalisme, pemerkosaan ekologis, penggusuran hak masyarakat adat, dan sebagainya. Terserah. Kita lihat sejauh apa idealisme mereka dapat bertahan di dunia kerja.
      Namun, kini malah pekerjaanku yang di ujung tanduk. Pekerjaan para pekerja ku di ujung tanduk. Mereka akhirnya meminta diadakan doa bersama. Agar setidaknya diberi izin, kata mereka.
      Maka pada malam ini, kami benar-benar mengadakan doa bersama. Kami berkumpul dan duduk khidmat di antara mesin-mesin besar kami. Dengan beralaskan terpal dan beratapkan langit yang kelam, kami mulai memanjatkan doa. Meminta diberikan kelancaran untuk urusan di sini.
      Di seberang sana, para petani, penduduk desa, mahasiswa, dan aktivis lingkungan juga berdoa. Sayup-sayup terdengar rintih dan isak tangis ibu-ibu petani yang tanahnya terampas. Seorang kakek yang sawahnya mati karena air sungai yang digunakannya untuk irigasi tercemar limbah pabrik. Seorang mahasiswa yang beberapa hari kemarin dianiaya oleh aparat keamanan yang kami bayar. Orang-orang desa yang tak menginginkan lebih dari hidup damai dan makan cukup dari tanah leluhur mereka.
      Kami sama-sama berdoa.
      Aku jadi penasaran. Bagaimana Tuhan akan berurusan dengan pertentangan kepentingan dan harapan seperti ini? Kami ingin cepat bekerja lagi tanpa halangan dan memperoleh bayaran. Mereka ingin mempertahankan tanah air leluhur mereka. Di pihak mana Tuhan akan bertarung? Kemungkinan besar kami memang akan menang suatu hari nanti. Tapi apakah Tuhan selalu berada pada kubu yang menang? Ah, urusan langit memang sukar dimengerti.
----------
      Acara doa bersama selesai. Para pekerja kembali tidur di tenda, pos, dan jok kendaraan mereka masing-masing. Para petani, penduduk, mahasiswa, dan aktivis berjalan kembali ke desa mereka beriringan. Aku pergi ke sungai sebentar untuk buang air kecil. Melepas cairan yang aku terlalu lama ditampung kandung kemihku sejak tadi.
      Waktu aku sampai di sana, sudah ada seorang kakek tua duduk berjongkok di tepian sungai. Mungkin pemburu kalong. Pakaiannya serba hitam, kontras dengan rambut dan kumisnya yang telah sempurna beruban. Matanya tak lepas barang sedetik memandangi arus riak sungai bak sebuah pertunjukan yang mengagumkan. Mulutnya mengebulkan asap dari rokok klobot. Terbang, melayang, meliuk, dan perlahan pudar dilahap gelap.
      Aku mendekati kakek tua itu usai menuntaskan hajat, menyusul berjongkok di pinggir sungai sepertinya. Mata cekungnya hanya sebentar melirikku dan kembali menekuri sungai. Bau limbah kimia dari pabrik kami dapat dengan mudah aku endus.
      "Sungai ini segar ya, Mbah," kataku memecah hening.
      Si kakek melirikku sebentar, kemudian berpaling lagi ke arah sungai sembari menghisap rokoknya."Tak salah, Le. Namun lebih jernih dahulu. Ketika pabrik semen itu belum datang," ia menjawab.
      "Mungkin benar. Sekarang airnya keruh. Penduduk tak dapat air bersih. Petani tak bisa beririgasi. Entah benda-benda apa yang mereka masukkan ke sana."
      "Hahaha." si kakek terkekeh. "Meski keruh, masih mampu bercermin di sana, kok. Coba saja." Jari kurusnya menunjuk ke air sungai di depan. Tangannya memberi isyarat mempersilahkanku mencobanya.
      Aku melongokkan leher. Benar saja. Bayanganku masih dapat terlihat meski samar-samar. Bergelayut dengan gelombang sungai yang katanya tak sejernih dulu itu. Sekilas, mataku bisa menangkap ikan-ikan kecil yang biasa berenang di selokan masa kecilku. Pasti bukan hanya yang seperti itu yang menghuni sungai ini dahulu, tapi juga ikan mas dan ikan sapu-sapu dan kepiting kali. Tapi tentu itu semua tak mungkin hidup di sungai yang tercemar ini sekarang. Limbah kimia akan menyelusup ke insang-insang mereka dan membunuh perlahan-lahan.
Ikan-ikan kecil itu tetiba berenang menjauh. Seperti ada bahaya yang menunggu di sana. Bau bahan kimia perlahan memudar, digeser paksa oleh bau yang lain lagi: anyir darah. Baru saja kepalaku mendongak untuk mencari sumbernya. Jangan-jangan salah satu pekerja, batinku. Tapi tidak. Bayanganku di air sungai menatap diriku lekat-lekat. Wajahnya berdarah-darah dengan luka-luka yang membuka mengesumba. Tubuhnya tercabik dan tergigit. Aku melirik si kakek. Bayangannya menjelma seekor macan putih.
      Malam senyap. Langit gelap. Riak sungai bersuara. Aroma semen menguar di udara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H