Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mayat-Mayat Tertabur Semen di Pegunungan Kendeng

5 Oktober 2020   21:22 Diperbarui: 5 Oktober 2020   21:26 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Tapi itu berubah. Aku wisuda, menikah, dan melamar menjadi tenaga ahli di sebuah perusahaan semen. Memanjat hierarki pangkat dan harus bekerja terus-terusan. Para mahasiswa aktivis lingkungan itu mungkin juga akan melalui fase yang mirip denganku. Mereka boleh mengutuk dan memanggil sistem ini dengan nama-nama semau mereka: kapitalisme, pemerkosaan ekologis, penggusuran hak masyarakat adat, dan sebagainya. Terserah. Kita lihat sejauh apa idealisme mereka dapat bertahan di dunia kerja.

            Namun, kini malah pekerjaanku yang di ujung tanduk. Pekerjaan para pekerja ku di ujung tanduk. Mereka akhirnya meminta diadakan doa bersama. Agar setidaknya diberi izin, kata mereka.

            Maka pada malam ini, kami benar-benar mengadakan doa bersama. Kami berkumpul dan duduk khidmat di antara mesin-mesin besar kami. Dengan beralaskan terpal dan beratapkan langit yang kelam, kami mulai memanjatkan doa. Meminta diberikan kelancaran untuk urusan di sini.

            Di seberang sana, para petani, penduduk desa, mahasiswa, dan aktivis lingkungan juga berdoa. Sayup-sayup terdengar rintih dan isak tangis ibu-ibu petani yang tanahnya terampas. Seorang kakek yang sawahnya mati karena air sungai yang digunakannya untuk irigasi tercemar limbah pabrik. Seorang mahasiswa yang beberapa hari kemarin dianiaya oleh aparat keamanan yang kami bayar. Orang-orang desa yang tak menginginkan lebih dari hidup damai dan makan cukup dari tanah leluhur mereka.

            Kami sama-sama berdoa.

            Aku jadi penasaran. Bagaimana Tuhan akan berurusan dengan pertentangan kepentingan dan harapan seperti ini? Kami ingin cepat bekerja lagi tanpa halangan dan memperoleh bayaran. Mereka ingin mempertahankan tanah air leluhur mereka. Di pihak mana Tuhan akan bertarung? Kemungkinan besar kami memang akan menang suatu hari nanti. Tapi apakah Tuhan selalu berada pada kubu yang menang? Ah, urusan langit memang sukar dimengerti.

----------

            Acara doa bersama selesai. Para pekerja kembali tidur di tenda, pos, dan jok kendaraan mereka masing-masing. Para petani, penduduk, mahasiswa, dan aktivis berjalan kembali ke desa mereka beriringan. Aku pergi ke sungai sebentar untuk buang air kecil. Melepas cairan yang aku terlalu lama ditampung kandung kemihku sejak tadi.

            Waktu aku sampai di sana, sudah ada seorang kakek tua duduk berjongkok di tepian sungai. Mungkin pemburu kalong. Pakaiannya serba hitam, kontras dengan rambut dan kumisnya yang telah sempurna beruban. Matanya tak lepas barang sedetik memandangi arus riak sungai bak sebuah pertunjukan yang mengagumkan. Mulutnya mengebulkan asap dari rokok klobot. Terbang, melayang, meliuk, dan perlahan pudar dilahap gelap.

            Aku mendekati kakek tua itu usai menuntaskan hajat, menyusul berjongkok di pinggir sungai sepertinya. Mata cekungnya hanya sebentar melirikku dan kembali menekuri sungai. Bau limbah kimia dari pabrik kami dapat dengan mudah aku endus.

            "Sungai ini segar ya, Mbah," kataku memecah hening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun