Si kakek melirikku sebentar, kemudian berpaling lagi ke arah sungai sembari menghisap rokoknya."Tak salah, Le. Namun lebih jernih dahulu. Ketika pabrik semen itu belum datang," ia menjawab.
      "Mungkin benar. Sekarang airnya keruh. Penduduk tak dapat air bersih. Petani tak bisa beririgasi. Entah benda-benda apa yang mereka masukkan ke sana."
      "Hahaha." si kakek terkekeh. "Meski keruh, masih mampu bercermin di sana, kok. Coba saja." Jari kurusnya menunjuk ke air sungai di depan. Tangannya memberi isyarat mempersilahkanku mencobanya.
      Aku melongokkan leher. Benar saja. Bayanganku masih dapat terlihat meski samar-samar. Bergelayut dengan gelombang sungai yang katanya tak sejernih dulu itu. Sekilas, mataku bisa menangkap ikan-ikan kecil yang biasa berenang di selokan masa kecilku. Pasti bukan hanya yang seperti itu yang menghuni sungai ini dahulu, tapi juga ikan mas dan ikan sapu-sapu dan kepiting kali. Tapi tentu itu semua tak mungkin hidup di sungai yang tercemar ini sekarang. Limbah kimia akan menyelusup ke insang-insang mereka dan membunuh perlahan-lahan.
Ikan-ikan kecil itu tetiba berenang menjauh. Seperti ada bahaya yang menunggu di sana. Bau bahan kimia perlahan memudar, digeser paksa oleh bau yang lain lagi: anyir darah. Baru saja kepalaku mendongak untuk mencari sumbernya. Jangan-jangan salah satu pekerja, batinku. Tapi tidak. Bayanganku di air sungai menatap diriku lekat-lekat. Wajahnya berdarah-darah dengan luka-luka yang membuka mengesumba. Tubuhnya tercabik dan tergigit. Aku melirik si kakek. Bayangannya menjelma seekor macan putih.
      Malam senyap. Langit gelap. Riak sungai bersuara. Aroma semen menguar di udara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H