Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik Video-video Awan Berbentuk Lafaz Allah

9 Juni 2020   16:21 Diperbarui: 9 Juni 2020   16:26 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan awan kinton Dragon Ball yaaa~

Sebagai generasi Z, saya tumbuh dewasa bersama internet. Lahir di tahun 2000-an awal menjadikan angkatan saya berada di titik seimbang antara dua masa yang menyenangkan. Di satu sisi, kami masih bisa mencicipi kebahagiaan klasik khas 90'an. Di sisi yang lain, kami pun menikmati internet di jaman-jaman mengecambahnya di Indonesia.

Waktu itu akses internet belum semudah sekarang. Harus punya komputer atau handphone yang mendukung opera mini. Jelas itu bukan privilege yang bisa dinikmati semua orang. Sehingga lahirlah warnet.

Selain digunakan mas-mas kuliah buat garap tugas, anak main Lost Saga dan Point Blank, warnet pun menampung orang-orang yang bosan nonton tayangan di TV. Warnet menyajikan YouTube. 

Dan seperti anak-anak tahun 2000-an awal lainnya, saya dan teman-teman saya barang tentu tak luput dari tren nonton video YouTube berbau-bau mistis nan mindblowing (baca: mbledoske ndas). Apalagi kalau bukan video seperti Bayi Ngomong Kiamat, Siksa Kubur Asli Live, dan H3B0H 4WA4N BERBENTUK LAFADZ ALLAH TANDA AKHIR ZAMAN !!!11!1

Video-video tersebut sukses mematrikan diri di ingatan masa kecil saya. Kala itu dengan rasa takut. Beda sekarang. Entah apakah saya yang sudah lebih nambah cc otaknya, terbukti selamat dari berbagai versi tiap beberapa tahun, atau saya yang makin gupak dosa.

Kini, saya malah tertarik untuk meninjau kembali video tersebut. Terutama ihwal video awan-awan yang nampak membentuk simbol-simbol religius. Mulai dari awan dan daun menyerupai lafaz Allah, bentuk orang solat di langit, dan semua-mua yang berbau mukjizat-mukjizat salah abad itu. Kurang lebih beginilah beberapa poin catatan dari pengamatan kecil saya:

Mencari Allah di Awan

Video-video awan itu mengingatkan saya dengan tulisan alm. Cak Rusdi Mathari yang berjudul "Ikan Mencari Air, Mat Piti Mencari Allah". Di sana diceritakan Mat Piti yang kebingungan mencari Allah usai ngobrol dengan Cak Dlahom. Pasalnya, selama ini ia mengaku telah menyaksikan Allah, tapi ia sendiri belum pernah ketemu dengan yang disaksikan itu. Saya sarankan njenengan buat baca artikel yang dimaksud itu dahulu: mojok.co

Saya pun kepikiran. Jangan-jangan kita ini sekumpulan Mat Piti-Mat Piti yang mumet mencari Allah ada di mana. Kita demikian sibuk mencari tanda-tanda Allah di jagat wadak kita. Bahkan sampai mantengin bentuk awan dan pola tulang daun segala.

Padahal seharusnya, sebagai orang yang sudah bersaksi atas keesaan Allah, kita tidak memerlukan bukti-bukti materialistis. Tanda-tanda kebesaran --dan eksistensi-- Allah mustinya dapat kita rasakan setiap hari, setiap saat, dan pada setiap hal. Bukan pada apa yang bisa ditangkap mripat saja. Kan Gusti Allah sudah ngendika, "Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya."

Ilahi via Imaji

Pasalnya, dalam khazanah islam, terdapat tiga tingkat pemikiran manusia. Tingkat pertama adalah rasional-logis. Tingat kedua adalah imajinasi atau daya khayal. Sedangkan yang terakhir adalah yang bersifat rohani-spiritual. Di sini, imajinasi berperan sebagai penghubung antara akal manusia dengan pengalaman spiritual. Kurang lebih begitu yang ditulis Haidar Bagir dalam esainya, "Akal, Imajinasi, dan Pengalaman Tasawuf."

Tak lain seperti Syeh Rumi yang menggunakan metafora, syair, dan tarian untuk mengungkapkan ekstatisme spiritualnya dengan Sang Kekasih. Rumi menggunakan imajinasinya untuk menerjemahkan pengalaman rohaninya menjadi bahasa yang sekiranya bisa diraba akal manusia. Nah, kalau buat kita-kita yang bukan Syeh Rumi ini, alurnya dibalik. Imajinasi menerjemahkan pengalaman empiris-rasional menjadi pengalaman rohaniah, menjadi iman.

Maka, mungkin, video-video tentang tanda-tanda kebesaran Allah tersebut adalah implementasi daya imaji umat kita yang paling relevan. Itu adalah usaha mentok umat pada masa tersebut buat menjembatani rasionalitas dengan iman. 

Walau terkesan mekso dan rodok ra mashok. Setidaknya melihat lafaz Allah terukir di awan, daun, dan cangkang telur bisa membikin saya, dan teman-teman yang ikut menonton saat itu, jadi lebih rajin sholat dan ngaji. Bukankah itu juga imajinasi ndakik yang berhasil menjembatani akal dan spiritual?

"Ini Lho Buktinya"

Tak jarang pula, video-video macam begitu dijadikan sebagai ala ala bukti konkrit. Sebuah justifikasi terhadap keyakinan sendiri. Dengan kata lain, ia berperan sebagai alat pembenaran, bukan sesuatu yang harus digali kebenarannya.

Entah kenapa, hal ini begitu menjamur di Indonesia yang, notabene, sudah mayoritas muslim. Padahal pembenaran-pembenaran, pembuktian-pembuktian yang terlalu dipaksakan buat masuk akal, sebenarnya adalah alat kaum minoritas. 

Bahkan, bukankah seluruh mukjizat nabi di sepanjang sejarah, tak lain adalah sebuah pembuktian kebenaran pada mayoritas yang mendustakannya? Bukankah keajaiban-keajaiban para nabi adalah suatu bukti agar kaum mereka yang kafir, bisa kembali kepada Tuhan?

Entah kenapa, kita yang sudah mayoritas ini, masih mencoba menggaet kaum minoritas dengan bukti-bukti yang mekso, dan terkesan utak-atik gatuk, di abad 21 yang sudah serba rasional ini. Bukankah itu berarti kita hanya mencari pembenaran terhadap ego religius kita yang sudah terlajur besar?

Belajar Enggan Kalah Tak Mau

Sekitar tahun 2017. Saya baru kelas 9 SMP. Waktu itu saya sedang membaca sebuah buku di teras masjid sekolah. Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. Sekolah sudah pulang dari jam 2 tadi. Sekarang sudah jam 4. Saya memamg sudah terbiasa dijemput terlambat. Seorang guru datang dan duduk di samping saya, mengenakan kaos kakinya usai sholat di dalam.

"Baca apa, mas?" Tanyanya melihat seorang anak SMP membaca buku setebel.

"Ini, Pak," saya menunjukkan cover novel yang digarap dengan apik itu, "novel filsafat."

Beliau terdiam sebentar sambil menali sepatunya.

"Ilmu ilmuwan-ilmuwan barat yaa. Hati-hati loo nanti jadi liberal. Banyak yang baca filsafat malah jadi ateis loo," katanya menyindir.

"Filsuf, Pak," koreksi saya, "di buku ini semua dipelajari, Pak. Mulai dari komunismenya Marx, rasionalismenya Descartes, sampai nihilsmenya Nietzsche."

Tali sepatunya rampung beliau tali. Tapi beliau tak kunjung beranjak.

"Tau nggak, Mas, Itu dulu ilmunya semua punya umat islam, lho, Mas. Dari ilmuwan-ilmuwan muslim di zaman kekhalifan Abbasiyah-Andalusia. Tapi semua pengetahuan itu dihancurkan orang kafir. Perpustakaan kita dibakar. Ilmu kita dicuri dan diakui sama mereka."

DEGG

Saya tau yang dimaksud pak guru itu adalah pembakaran perpustakaan Alexandria di Mesir dan perpustakaan di Baghdad. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah akrab saya dengarkan di sekolah saya yang islam tersebut. Dan saya akui itu semua memang benar terjadi. Walau pada kenyataanya, situasi tidak sehitam-putih dan persis seperti yang dideskripsikan pak guru tersebut.

Namun yang lebih mengganggu benak saya, sejak pak guru tersebut mengatakan hal tersebut sampai hari ini, adalah ke-emoh-an umat ini buat bangkit. Lebih khususnya, bangkit secara budaya dan sains. Kita lebih suka mengutuk peristiwa tersebut. Menyesalinya. Melaknat 'orang kafir' yang melakukannya. Tapi kita sendiri enggan membangun kembali 'perpustakaan ilmu' tersebut. Semangat kita yang membara sebagai umat, acap kita habiskan cuma buat menunjukkan dominasi. Bukannya menjalani proses re-discovery dan sistesisme ilmu pengetahuan agar sesuai dengan zaman.

Makanya, enggak kaget kalau hari ini umat lebih suka lihat-lihat awan berbentuk simbol-simbol religius tersebut dan memamerkannya sebagai interpretasi kebenaran subjektif kita. Padahal bangsa lain sudah bisa menciptakan awan buatan guna membantu pengairan ladang-ladang mereka.

Sudah tahu kemarin kalah, kok ya enggak mau berdiri dan ngejar lagi. Padahal memaki dan merengek tidak akan bisa mengembalikan perbedaharaan ilmu itu kepada kita. Satu-satunya cara, ya, belajar lagi. Gali lagi. Baca dan tulis lagi. Tentu itu semua tidak akan bisa terwujud, kalau seorang anak SMP yang sedang baca buku filsafat saja disindiri liberal dan bakal jadi ateis. Hehehe~

Daftar Pustaka:
Islam Tuhan Islam Manusia karya Haidar Bagir. Diterbitkan oleh Penerbit Mizan. 2017.
Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya karya Rusdhi Mathari. Diterbitkan oleh Penerbit Mojok. 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun