Ilahi via Imaji
Pasalnya, dalam khazanah islam, terdapat tiga tingkat pemikiran manusia. Tingkat pertama adalah rasional-logis. Tingat kedua adalah imajinasi atau daya khayal. Sedangkan yang terakhir adalah yang bersifat rohani-spiritual. Di sini, imajinasi berperan sebagai penghubung antara akal manusia dengan pengalaman spiritual. Kurang lebih begitu yang ditulis Haidar Bagir dalam esainya, "Akal, Imajinasi, dan Pengalaman Tasawuf."
Tak lain seperti Syeh Rumi yang menggunakan metafora, syair, dan tarian untuk mengungkapkan ekstatisme spiritualnya dengan Sang Kekasih. Rumi menggunakan imajinasinya untuk menerjemahkan pengalaman rohaninya menjadi bahasa yang sekiranya bisa diraba akal manusia. Nah, kalau buat kita-kita yang bukan Syeh Rumi ini, alurnya dibalik. Imajinasi menerjemahkan pengalaman empiris-rasional menjadi pengalaman rohaniah, menjadi iman.
Maka, mungkin, video-video tentang tanda-tanda kebesaran Allah tersebut adalah implementasi daya imaji umat kita yang paling relevan. Itu adalah usaha mentok umat pada masa tersebut buat menjembatani rasionalitas dengan iman.Â
Walau terkesan mekso dan rodok ra mashok. Setidaknya melihat lafaz Allah terukir di awan, daun, dan cangkang telur bisa membikin saya, dan teman-teman yang ikut menonton saat itu, jadi lebih rajin sholat dan ngaji. Bukankah itu juga imajinasi ndakik yang berhasil menjembatani akal dan spiritual?
"Ini Lho Buktinya"
Tak jarang pula, video-video macam begitu dijadikan sebagai ala ala bukti konkrit. Sebuah justifikasi terhadap keyakinan sendiri. Dengan kata lain, ia berperan sebagai alat pembenaran, bukan sesuatu yang harus digali kebenarannya.
Entah kenapa, hal ini begitu menjamur di Indonesia yang, notabene, sudah mayoritas muslim. Padahal pembenaran-pembenaran, pembuktian-pembuktian yang terlalu dipaksakan buat masuk akal, sebenarnya adalah alat kaum minoritas.Â
Bahkan, bukankah seluruh mukjizat nabi di sepanjang sejarah, tak lain adalah sebuah pembuktian kebenaran pada mayoritas yang mendustakannya? Bukankah keajaiban-keajaiban para nabi adalah suatu bukti agar kaum mereka yang kafir, bisa kembali kepada Tuhan?
Entah kenapa, kita yang sudah mayoritas ini, masih mencoba menggaet kaum minoritas dengan bukti-bukti yang mekso, dan terkesan utak-atik gatuk, di abad 21 yang sudah serba rasional ini. Bukankah itu berarti kita hanya mencari pembenaran terhadap ego religius kita yang sudah terlajur besar?
Belajar Enggan Kalah Tak Mau