Mohon tunggu...
Fandi Andi S
Fandi Andi S Mohon Tunggu... Maritime Officer - Master Marine -

Ingin Indonesia lebih baik dan jangan pernah berhenti mencintai Indonesia. Mari terus berusaha memperbaiki indonesia untuk Indonesia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Infrastruktur & Ekonomi Maritim Indonesia pasca 70 tahun Indonesia Merdeka

15 Agustus 2015   13:28 Diperbarui: 15 Agustus 2015   14:09 2118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Capt. Fandi A. S., S.Si.T., M.Mar

Indonesia merupakan Negara Maritim Terbesar di dunia dimana terdapat 250 juta penduduk tersebar di seluruh kepulauan Indonesia yang harus dipenuhi supply demand-nya. Terdapat permintaan yang besar untuk barang konsumsi kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya, dimana terdapat 150 juta penduduk (60%) tergolong middle class dengan high demand yang tinggi. 

Jika merujuk pada segi geografis Indonesia yang terpisah-pisah sebagai kepulauan dan dihubungkan oleh laut, hanya ada satu solusi untuk pemenuhan kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia, yaitu dengan transportasi massal maritime yang menggunakan kapal. 

Adalah hal yang tepat jika pemerintahan saat ini merujuk pada konsep “Tol Laut” untuk pemecahan masalah supply and demand dengan tujuan pemerataan ekonomi di seluruh Indonesia.

Namun cita-cita mulia pemerintahan Jokowi ini sulit terpenuhi jika pejabat terkait tidak mengubah pola pikir konsep pembangunan infrastruktur transportasi maritim, khususnya pembangunan infrastruktur pelabuhan. Otorita pelabuhan dan Pelindo sampai saat ini melakukan pembangunan infrastruktur pelabuhan dengan pendekatan dasar melihat peluang ekonomi jangka pendek dan merujuk pada kondisi supply demand saat ini. Dengan kata lain, hanya daerah yang berekonomi tergolong baik yang menjadi sasaran pembangunan infrastruktur dermaga/pelabuhan berskala besar, tanpa melihat perkembangan 100 tahun ke depan.

Pembangunan pelabuan juga belum terintegrasi dengan pemerintah setempat dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi. Sehingga secara tidak langsung terjadi siklus saling tunggu menunggu dari kedua belah pihak, Otorita pelabuhan dan pelindo menunggu perkembangan ekonomi daerah tersebut meningkat untuk membangun infrastruktur pelabuhan, dan pemerintah daerah setempat juga menunggu adanya infrastruktur pelabuhan dalam mengekspansi ekonomi mereka. Sehingga sampai saat ini, hanya dominan daerah yang memiliki pelabuhan yang berkala besar yang memiliki perekonomian yang semakin bertambah, sedangkan daerah dengan minim atau tidak ada infrastruktur pelabuhan akan perkembangan ekonomi yang lambat bahkan statis ataupun merosot. 

Aksi saling menunggu yang tidak disadari ini berkontribusi besar terhadap sangat minimnya infrastruktur maritime di seluruh Indonesia. Padahal sejak Indonesia merdeka tahun 1945, bangsa ini telah menyadari bahwa Negara kita adalah Negara maritime terbesar di dunia, namun tidak ada sama permbangunan infrastruktur baru yang siginifikan berdampak pada perekonomian Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Yang ada hanya pelabuhan-pelabuhan yang telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri seperti pelabuhan Makassar yang dibangun pada tahun 1300an namun justru mengalami perkembangan biasa-biasa saja setelah Indonesia berdiri, Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1877, Pelabuhan Pelabuhan Tanjung Perak tahun 1875. 

Hampir semuanya hanya pelabuhan yang telah eksis sebelum Indonesia yang berdiri yang dikembangkan pihak otorita pelabuhan dan pelindo hanya karena berpatokan besarnya supply demand yang tercipta disana. Padahal tanpa mereka sadari bahwa pendiri pelabuhan kesemuanya di Nusantara dan bahka di belahan Eropa dan China mulai pembangunan infrastruktur pelabuhan untuk memicu dan mendukung tumbuhnya perekonomian suatu daerah, bukan seperti konsep pemerintah Indonesia yaitu aksi saling tunggu tumbuhnya perekonomian lalu diperlengkapi dengan infrastruktur pelabuhan, sehingga yang tercipta saat ini Indonesia adalah Negara maritim terbesar di dunia namun dengan infrastrukur maritime yang sangat minim. Tidakkah pemerintah dan pengembang pelabuhan di Indonesia menyadari bahwa 90% komoditas di seluruh dunia di transportasikan melalui transportasi maritim sangat menyedihkan konsep pembangunan pelabuhan yang digunakan di Indonesia. 

Tidak sampai disitu, selanjutnya kebijakan pemerintah dalam sentralisasi arus barang dari dalam dan luar justru menjadi bom waktu jangka panjang. Seperti yang terjadi pada Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak yang telah melebihi kapasitas tampungannya sehingga menyebabkan banyaknya antrian kapal di luar pelabuhan yang justru menambah biaya transportasi maritime dan perlambatan ekonomi akibat delay tersebut. 

Sampai kapan pun, masalah ini tidak akan terpecahkan jika konsep sentralisasi arus barang ini terus dilakukan. Karena seberapa besar perluasan pelabuhan tidak akan mampu melambung supply and demand perekomomian yang sedang tubuh dan berkembang. Harus dilakukan desentralisasi arus barang di transportasi maritime. 

Sentralisasi ini tentunya tercipta akibat mencari nilai ekonomis perbandingan jumlah transportasi maritime sehingga merujuk pada keefesienan di dunia maritime, namun sekali lagi bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat tidak tepat secara jangka panjang. Kembali terjadi aksi saling tunggu menunggu antara pemerintah dan pelaku industri maritim, dimana pemerintah menunggu meningkatnya jumlah kapal untuk melakukan desentralisasi arus barang. 

Sedangkan pengusaha transportasi maritime menunggu menigkatnya supply demand barang serta perekonomian suatu daerah serta kemampuan perusahaan mereka untuk menambah armada mereka. Aksi saling tunggu menungg ini adalah aksi yang menyedihkan secara perencanaan strategis pengembangan perekonomian Indonesia. Yang harus dilakukan pemeritah Indonesia yaitu selain mambangun insfrastruktur pelabuhan dan menstimulasi perekonomian diseluruh daerah Indonesia adalah memberikan kebijakan pada pelaku usaha transportasi maritime untuk menstimulus dan memudahkan mereka dalam menambah armada mereka seperti yang dilakukan pemerintah Belanda, Jerman dan Belgia untuk mengembangkan pelabuhan dan perekonomiannya. 

Kesemuanya sendi saling terkait dan saling endukung dan merupakan dasar pengembangan perekonomian mereka. Namun yang terjadi di Indonesia adalah kebijakan serta arah pengembangan yang kurang tepat. Tidak adanya peletakan dasar pembangunan yang bersinergi dalam pembangunan perekonomian khususnya pada sektor maritime sehingga Indonesi saat ini kelabakan menghadapi supply dan demand 250 juta penduduk Indonesia yang saat ini ekonomi dan taraf hidupnya semakin meningkat. 

Sekali lagi, Pemerintah perlu membangun infrastruktur pelabuhan disetiap daerah dengan kapasitas pelabuhan penuh dan mestimulus perekonomian daerah serta  menstimulus pelaku transportasi maritime agar bertambahnya armada transportasi maritime.

Kebijakan yang tepat untuk menmbah armada maritime di Indonesia yaitu dengan mempermudah perkreditan pembelian kapal, menjadikan kapal sebagai kolateral  atau sebagai jaminan agunan dengan dukungan asuransi perkapalan yang mumpuni tanpa merugikan finansial perbankan nasional. Kemudian penganjuran bahkan peraturan untuk pemesanan kapal di galangan kapal dalam negeri yang tentunya dengan biaya efesien setara galangan kapal China dan Korea.

Dari konsep penambahan arada nasional ini, maka terjadi perluasan pergerakan perekonomian dari segi transportasi maritime ke finasial industri asuransi, perkreditan perbankan dan bahkan perluasan lapangan pekerjaan di galangan kapal. Kembali saya menyatakan sektor maritime adalah sektor usaha  “emas” yang bersinergi membangun perekonomian suatu Negara dimana dalam pengembangannya akan membuka banyak sektor dan kesempatan lapangan pekerjaan. Dan kita tak kekurangan sumber daya manusia untuk ini semua.  

Selain itu, perkembangan transportasi maritime Indonesia juga dikerdilkan dengan penyerahan pengembangan pelabuhan hanya pada Pelindo, BUMN Negara yang tidak sebanding kemampuan finasialnya untuk membangun infrastruktur maritime dari Sabang sampai Merauke. Pelindo tidak bisa sendiri untuk Indonesia. Jika merujuk pada konsep nasionalis bahwa maritim Indonesia harus sepenuhnya dikelolah oleh bangsa sendiri, ini justru pemahaman nasionalis yang sempit karena menjauhkan tujuan mulia untuk mensejahterahkan masyarakat Indonesia akibat tidak semibangnya kemampuan Pelindo seorang diri untuk mengelolah pelabuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. 

Indonesia butuh kerja sama dalam pengembangan pelabuhan dari Sabang sampai Merauke demi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Pada pelabuhan-pelabuhan Eropa, pemerintahnya berperan sebagai otorita pelabuhan dan penyedia tanah, sedangkan pembangunan dermaga diserahkan oleh pihak swasta. Mereka mengundang pelaku-pelaku transportasi maritime kaliber dunia untuk pemenuhan crane dan segala infrastrukturnya. Tidakkah Indonesia mengamati China membeli seluruh pelabuhan-pelabuhan di Italia dan Yunani yang justru Negara tersebut dinyatakan sebagai Negara bangkrut ekspansi pengusaha China juga terjadi di pelabuhan Ghent, Perancis yang mengalami pertumbuhan ekonomi break even point, dimana pengusaha China membeli pelabuhan tersebut. Mereka juga melakukan negosiasi pada tahun 2012 untuk pembelian beberapa pelabuhan di Finlandia. 

Di Spanyol, seluruh pelabuhan dimiliki oleh sektor swasta. Lantas apa yang diharapkan pemerintah Indoensia dari Pelindo dbandingkan dengan pengembangan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Dimana luas Indonesia setara dengan benua Eropa. Di sini saya tidak merendahkan BUMN Pelindo, namum Pelindo terlalu kecil untuk mengelolah pengembangan pelabuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke jika Indonesia ingin berkembang menjadi Negara maju dan mensejahterahkan masyarakatnya. Rasio perbandingan matematisnya sangat tidak logis terhadap beban BUMN Pelindo untuk daerah Indonesia seluas benua Eropa. 

Perlu pemahaman nasionalis yang lebih luas untuk pengelolahan pelabuhan Indonesia agar ekonomi Indonesia bisa berlari dengan cepat dan kesejahteraan masyarakat bisa terpenuhi secara merata. Indonesia perlu menghilangkan ketakutan bangsa kita dikuasai oleh bangsa asing, nampaknya kita masih terlalu traumatik dengan penjajahan geografis yang pernah kita alami. Namun tidak sadar dengan penjajahan abad ini yaitu Penjajahan  Ekonomi jika Ekonomi Indonesia tidak bangkit. Indonesia bisa memiliki kekuatan ekonomi kelas satu dunia jika sektor maritime telah terpenuhi. Jika tidak, maka itu hanya mimpi belakang atau hanya kembali terseret-seret membangun infrastruktur saat ekonomi Indonesia tiba-tiba bergerak naik.

Kita tidak akan bisa melihat keuntungan investasi infrastruktur pelabuhan dalam skala 10-20 tahun, namun dalam skala 50-100 tahun menjadi kekuatan yang sangat tidak tertandingi dalam pengembangan ekonomi suatu Negara. 

Indonesia saat ini, perlu menata kembali peletakan dasar konsep pembangunan insfrastruktur pelabuhan Indonesia. Membentuk tim yang bersinergi dala pengembangan infrastrukur maritime dan pengembangan ekonomi tiap daerah dan mempermudah kepemilikan kapal, merevisi peraturan perbankan untuk system kolateral atau jaminan perbankan terkait kapal sebagai jaminan dan mengembangkan asurasi maritime dan pengembangan galangan kapal.

Pengembangan sektor maritime tidak hanya terkait dengan sumber daya alam seperti yang difahami di Indonesia saat ini. Sektor maritime lebih merujuk pada sumber daya manusia dan kekuatan finansial untuk investasi jangka panjang dalam pembangunan infrastruktur maritime Indonesia. Sudah saatnya Indonesia menguatkan pondasi ekonominya dari sektor maritime untuk pemenuhan 250 juta penduduk Indonesia. 

Indonesia tidak butuh market dari luar, dengan demand 250 juta penduduk Indonesia, Indonesia akan bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia yang terkuat menyaingi belahan Eropa, Afrika dan Amerika dan setelah kuat bisa ekspansi layaknya China yang memperluas arketnya keseluruh dunia.

Tidak ada alasan untuk tidak melakukan ini semua sekarang, kita memiliki sumber daya manusia yang cukup dan kekuatan finansial dari segala arah. Jika pembangunan infrastruktur secara massif tidak dimulai saat ini, maka Indonesia akan tetap seperti saat ini untuk perekonomian 100 tahun mendatang dan akan mengalami stagnansi perekonomian dari sektor maritime di tahun 2030 dimana Indonesia mengalami ledakan demanding supply barang dari masyarakat Indonesia yang mengalami bonus demographi (bonus demographi yaitu jumlah penduduk muda yang efektif untuk bekerja mencapai puncaknya di suatu Negara dan hanya terjadi satu kali sepanjang Negara berdiri). 

Kondisi 2030 ini tidak menutup kemungkinan akan menaikkan berkali-kali lipat biaya transportasi mariti akibat delay/antrian pada sistem pelabuhan yang sentralisasi/terpusat. 

Pelabuhan Transit
Indonesia selalu iri dengan pengembangan pelabuhan transit singapura dan bercita-cita memiliki pelabuhan transit untuk perekonomiannya, namun ini tidak akan pernah terlaksana mungkin dikarenakan hanya gengsi semata yang berapi-api untuk menyaingi singapura. 

Ini pernah hampir terwujud saat konsep Pak Habibie untuk pengebangan pelabuhan di daerah Batam dan sekitar selat Malaka mulai dikembangkan, namun hanya kandas pada pengembangan pulau Batam dan itupun prematur dalam menyaingi pelabuhan transit singapura. 

Dalam pembangunan transit, ini bukan hal yang sulit, ini hanya persoalan kekuatan finansial dalam pembangunan infrastruktur maritim di sepanjang selat Malaka dan bebas tarif transit muatan. Dengan memiliki infrastruktur maritime yang lengkap, termasuk di dalamnya ada segala fasilitas pelabuhan pendukung seperti penyediaan air tawar, bunker, supply makanan, pengolahan limbah kapal dan galangan dan hanya ditambahkan peletakan tarif dibawah singapura, maka ini akan terwujud. 

Jika kita terkendala oleh kebijakan perusahaan besar yang telah memiliki perwakilan di Singapura, maka kebijakan hanya perlu difasilitasi dengan kebijakan pemerintah dalam menstimulus mereka. Karena tidak aka nada suatu kesetiaaan perusahaan kelas dunia pada suatu Negara selain kesetiaan pada nilai ekonomis dan keuntungan pada perusahaan mereka.

Banyak ketakutan Singapura pada pengebangan infrastruktur ini di Selat Malaka, namun Singapura harus merujuk pada Pelabuhan Rotterdam di Belanda, Antwerp di Belgia dan Hamburg di Jerman yang saling berdekatan secara geografis. Mereka saling berdampingan dan saling bersaing dan tetap hidup bahkan terus berkembang dan tidak ada yang saling mematikan walau bagaimanapun kebijakan-kebijakan pengembangan mereka terhadap satu sama lain. Ini dikarenakan volume permintaan barang akan selalu bertambah dan berkembang seiring peningkatan jumlah manusia. 

Namun sekali lagi rencana ini kanda di Indonesia dan hanya melahirkan Batam yang kerdil. Saya bisa mengerti apa yang dilihat Pak Habibie dalam perencanaan pengembangan ini. Saya melihat hal yang sama selama 5 tahun saya bekerja di Eropa dan Amerika. Dan dengan kandasnya perncanaan ini, kembali Indonesia gagal dalal membangun infrastruktur maritimnya. 

Di sini saya berusaha mengkritisi Kepala Negara dari awal hingga yang menjabat saat ini yang memilih Menteri Perhubungan yang bertanggung jawab dalam pengembangan transportasi maritime Negara Indonesia. Saya juga mengkritisi beban format tanggung jawab yang diberikan kepada Menteri Perhubungan seorang diri membawahi transportasi Udara, Darat dan Laut. Adalah suatu proporsi yang tidak matematis dalam usaha pengembangan transportasi di Indonesia untuk seorang diri. 

Saya juga kembali mengkritisi tidak adanya menteri yang berlatar belakang dari sektor maritime yang memimpin sebagai menteri perhubungan. Tidak heran jika transportasi maritime Indonesia tidak berkembang. Saya perlu menekankan, hanya pelaku Industri/profesional Maritim yang berkompeten dalam usaha pengembangan sektor transportasi maritime, demikian juga udara dan darat dan bukan faktor politis.

Khusus nya pada infrastruktur maritime, ada terdapat banyak aturan terkait safety, regulasi, konvesi, kebijakan transportasi maritime, perekonomian transportasi maritim serta unsur-unsur lain yang sulit dimengerti oleh orang bukan professional/pelaku Industri transportasi maritime. Berarti sangat ironis menyerahkan beban tanggung jawab pembangunan Transportasi dan Infrastruktur dan ekonomi Maritim pada satu orang yang tidak memiliki latar belakang prefesional/pelaku dalam dunia maritime. Dunia maritime jauh lebih kompleks dari dunia penerbangan. Sederhana namun kompleks. Terdapat sistematis pengetahuan yang tidak bisa di dapat jika bukan ketekunan dalam mendalami sektor maritime secara utuh dan kesatuan. 

Jika Indonesia ingin mengembangkan secara serius sektor infrastruktur maritime, maka pemimpin Negara harus membuatkan format tersendiri kepemimpinan sektor transportasi/infrastruktur maritime dan mengambil orang-orang professional atau yang faham dengan dunia maritime, bukan meletakkan orang dari pertimbangan politis, satu lagi terpenting yang perlu dicatat bahwa kepemimpinan di sektor pengembangan maritime, selain tenaga prefesional, dibutuhkan orang yang berdedikasi tinggi dan tidak kongkalikong, karena sektor ini akan merupakan sektor yang basah dan penopang perekonomian Indonesia dan kemaslahatan hajat hidup orang banyak. 

Jika tidak rencana pengembangan pelabuhan Indonesia yang bisa menopang ekonomi Indonesia secara mandiri hanyalah gigitan jari semata dan selanjutnya apapun rencana-rencana gemilang yang lahir dari sekaliber Pak Habibie atau diatasnya hanyak akan melahirkan sesuatu yang kerdil seperti Batam yang jauh dari konsep pengembangan semula dan menjadi Indonesia yang tidak berkembang.               

Untuk Ekonomi Indonesia yang mandiri dan nomer satu dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun