Sentralisasi ini tentunya tercipta akibat mencari nilai ekonomis perbandingan jumlah transportasi maritime sehingga merujuk pada keefesienan di dunia maritime, namun sekali lagi bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat tidak tepat secara jangka panjang. Kembali terjadi aksi saling tunggu menunggu antara pemerintah dan pelaku industri maritim, dimana pemerintah menunggu meningkatnya jumlah kapal untuk melakukan desentralisasi arus barang.
Sedangkan pengusaha transportasi maritime menunggu menigkatnya supply demand barang serta perekonomian suatu daerah serta kemampuan perusahaan mereka untuk menambah armada mereka. Aksi saling tunggu menungg ini adalah aksi yang menyedihkan secara perencanaan strategis pengembangan perekonomian Indonesia. Yang harus dilakukan pemeritah Indonesia yaitu selain mambangun insfrastruktur pelabuhan dan menstimulasi perekonomian diseluruh daerah Indonesia adalah memberikan kebijakan pada pelaku usaha transportasi maritime untuk menstimulus dan memudahkan mereka dalam menambah armada mereka seperti yang dilakukan pemerintah Belanda, Jerman dan Belgia untuk mengembangkan pelabuhan dan perekonomiannya.
Kesemuanya sendi saling terkait dan saling endukung dan merupakan dasar pengembangan perekonomian mereka. Namun yang terjadi di Indonesia adalah kebijakan serta arah pengembangan yang kurang tepat. Tidak adanya peletakan dasar pembangunan yang bersinergi dalam pembangunan perekonomian khususnya pada sektor maritime sehingga Indonesi saat ini kelabakan menghadapi supply dan demand 250 juta penduduk Indonesia yang saat ini ekonomi dan taraf hidupnya semakin meningkat.
Sekali lagi, Pemerintah perlu membangun infrastruktur pelabuhan disetiap daerah dengan kapasitas pelabuhan penuh dan mestimulus perekonomian daerah serta menstimulus pelaku transportasi maritime agar bertambahnya armada transportasi maritime.
Kebijakan yang tepat untuk menmbah armada maritime di Indonesia yaitu dengan mempermudah perkreditan pembelian kapal, menjadikan kapal sebagai kolateral atau sebagai jaminan agunan dengan dukungan asuransi perkapalan yang mumpuni tanpa merugikan finansial perbankan nasional. Kemudian penganjuran bahkan peraturan untuk pemesanan kapal di galangan kapal dalam negeri yang tentunya dengan biaya efesien setara galangan kapal China dan Korea.
Dari konsep penambahan arada nasional ini, maka terjadi perluasan pergerakan perekonomian dari segi transportasi maritime ke finasial industri asuransi, perkreditan perbankan dan bahkan perluasan lapangan pekerjaan di galangan kapal. Kembali saya menyatakan sektor maritime adalah sektor usaha “emas” yang bersinergi membangun perekonomian suatu Negara dimana dalam pengembangannya akan membuka banyak sektor dan kesempatan lapangan pekerjaan. Dan kita tak kekurangan sumber daya manusia untuk ini semua.
Selain itu, perkembangan transportasi maritime Indonesia juga dikerdilkan dengan penyerahan pengembangan pelabuhan hanya pada Pelindo, BUMN Negara yang tidak sebanding kemampuan finasialnya untuk membangun infrastruktur maritime dari Sabang sampai Merauke. Pelindo tidak bisa sendiri untuk Indonesia. Jika merujuk pada konsep nasionalis bahwa maritim Indonesia harus sepenuhnya dikelolah oleh bangsa sendiri, ini justru pemahaman nasionalis yang sempit karena menjauhkan tujuan mulia untuk mensejahterahkan masyarakat Indonesia akibat tidak semibangnya kemampuan Pelindo seorang diri untuk mengelolah pelabuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia butuh kerja sama dalam pengembangan pelabuhan dari Sabang sampai Merauke demi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Pada pelabuhan-pelabuhan Eropa, pemerintahnya berperan sebagai otorita pelabuhan dan penyedia tanah, sedangkan pembangunan dermaga diserahkan oleh pihak swasta. Mereka mengundang pelaku-pelaku transportasi maritime kaliber dunia untuk pemenuhan crane dan segala infrastrukturnya. Tidakkah Indonesia mengamati China membeli seluruh pelabuhan-pelabuhan di Italia dan Yunani yang justru Negara tersebut dinyatakan sebagai Negara bangkrut ekspansi pengusaha China juga terjadi di pelabuhan Ghent, Perancis yang mengalami pertumbuhan ekonomi break even point, dimana pengusaha China membeli pelabuhan tersebut. Mereka juga melakukan negosiasi pada tahun 2012 untuk pembelian beberapa pelabuhan di Finlandia.
Di Spanyol, seluruh pelabuhan dimiliki oleh sektor swasta. Lantas apa yang diharapkan pemerintah Indoensia dari Pelindo dbandingkan dengan pengembangan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Dimana luas Indonesia setara dengan benua Eropa. Di sini saya tidak merendahkan BUMN Pelindo, namum Pelindo terlalu kecil untuk mengelolah pengembangan pelabuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke jika Indonesia ingin berkembang menjadi Negara maju dan mensejahterahkan masyarakatnya. Rasio perbandingan matematisnya sangat tidak logis terhadap beban BUMN Pelindo untuk daerah Indonesia seluas benua Eropa.
Perlu pemahaman nasionalis yang lebih luas untuk pengelolahan pelabuhan Indonesia agar ekonomi Indonesia bisa berlari dengan cepat dan kesejahteraan masyarakat bisa terpenuhi secara merata. Indonesia perlu menghilangkan ketakutan bangsa kita dikuasai oleh bangsa asing, nampaknya kita masih terlalu traumatik dengan penjajahan geografis yang pernah kita alami. Namun tidak sadar dengan penjajahan abad ini yaitu Penjajahan Ekonomi jika Ekonomi Indonesia tidak bangkit. Indonesia bisa memiliki kekuatan ekonomi kelas satu dunia jika sektor maritime telah terpenuhi. Jika tidak, maka itu hanya mimpi belakang atau hanya kembali terseret-seret membangun infrastruktur saat ekonomi Indonesia tiba-tiba bergerak naik.
Kita tidak akan bisa melihat keuntungan investasi infrastruktur pelabuhan dalam skala 10-20 tahun, namun dalam skala 50-100 tahun menjadi kekuatan yang sangat tidak tertandingi dalam pengembangan ekonomi suatu Negara.