Kondisi Arwan yang terlihat sudah tidak sadarkan diri akibat pengaruh alkohol, membuat Adinda, yang kala itu masih setengah sadar, menelpon Adera dan berharap untuk dijemput.
"Ra, bisa jemput gue?" ucap Adinda setelah berhasil keluar dari bar dengan mengendalikan tubuh yang sempoyongan.
"Dimana? Kok berisik?" tanya Adera di ujung telepon.
"Di bar tengah kota. Cepet ya Ra." Putus Adinda sepihak.
Dengan rasa sadar yang hampir menipis, Adinda mencoba berjalan menjauhi bar itu. Mengabaikan tatapan dari orang sekitar tentang usianya yang masih belia tapi sudah mencoba minuman haram itu.
Masih dengan tubuh yang sempoyongan, Adinda nekat menyeberang jalan.
"Adindaa.."
Tubuhnya seakan di dorong hingga terlempar saat ia mendengar suara tabrakan di belakangnya. Saat menolehkan kepalanya, pengaruh alkohol yang tadi sempat ia cecap itu hilang sudah.
Matanya seakan tak percaya. Hingga ia melangkahkan kakinya, menuju seseorang yang tadi mendorong tubuhnya. Tubuhnya lemas seketika saat ia berhasil melihat dengan jarak yang sangat dekat. Cairan bening yang sempat menghilang itu, memaksa untuk keluar.
Pandangannya semakin memburam ketika Adinda sadar sekelilingnya adalah darah.
Ya, darah dari orang yang sama yang selalu menolongnya. Dia, Adera. Sahabatnya.