Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kapitalisme dan Demokrasi: Tidak Selamanya Seiring Sejalan

11 April 2020   19:33 Diperbarui: 11 April 2020   22:59 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dokumen Penulis)

Tulisan ini adalah tanggapan dan pendalaman terhadap artikel dari Kanopi FEB UI berjudul "Panggung Sandiwara Kapitalisme dan Demokrasi: Menilik Dua Naskah". Pada artikel tersebut, dinarasikan setidaknya dua hal utama. Pertama, keberadaan kelas menengah menjadi pemicu terjadinya kapitalisme. Kedua, kapitalisme harus beriringan dengan demokrasi, sehingga berbagai fenomena seperti yang terjadi di Asia dianggap menjadi anomali. 

Untuk mempermudah pembahasan, alur tulisan akan dibuat seperti ini. Pada titik awal, harus dipahami bahwa proses kesejarahan antara Asia dengan Barat memiliki perjalanan yang berbeda. Perbedaan proses sejarah ini menyebabkan adanya perbedaan pula pola relasi antara kekuasaan politik dengan ekonomi. Akibatnya, apa yang dikutip dalam artikel Kanopi tersebut dari penulis yang hidup dalam alam-pemikiran Barat, perlu ditinjau ulang apabila kita hendak melihat fenomena yang terjadi di belahan benua lain, khususnya Asia.

Proses Sejarah

Sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Kanopi, Kapitalisme di Barat lahir dari proses Revolusi Industri di abad ke-18. Artinya, pendorong Kapitalisme berasal dari kalangan pemodal yang didukung oleh para penemu. Situasi sosial politik mereka menjadikan kalangan bangsawan sebagai oposisi, yang dianggap selama ini memiliki otoritas kekuasaan politik dan ekonomi ketika ekonomi ditopang utamanya oleh sektor agraris.

Seiring dengan perkembangan industri, akumulasi kekayaan pun berpindah dari kalangan aristokrat ke tangan para industrialis. Terbentuklah kelas menengah yang secara ekonomi mampu namun tidak memiliki akses pada kekuasaan politik. Ketika mereka telah mengalami akumulasi sosial dan kapital, terjadilah reformasi politik.

Proses demokratisasi berjalan karena adanya tekanan dari kalangan pemilik modal untuk mendapat akses kekuasaan politik di samping para bangsawan. Hasilnya seperti yang kita perhatikan di Inggris hari ini. Para Bangsawan tetap memegang posisi penting sebagai simbol negara, tetapi kekuasaan politik telah bergeser ke kalangan non-bangsawan melalui mekanisme demokrasi.

Tetapi apa yang terjadi di Asia berbeda, dan ini bagian yang tampaknya kurang diperhatikan oleh penulis artikel tersebut. Negara-negara Asia pada umumnya adalah negara yang mengalami pengalaman sebagai koloni bagi pada pemilik modal di Barat. Akumulasi kekayaan di Barat pada masa Revolusi Industri tidak bisa dipisahkan dari proses ekstraksi sumber daya alam di Asia, Afrika, dan Amerika Latin selama berabad-abad.

Untuk melanggengkan kekuasaan, Kolonialisme tidak segan-segan membentuk struktur politik di tanah jajahan yang bersifat feodal. Ketika Barat melepaskan Feodalisme seiring dengan lahirnya kapitalisme dan demokrasi, tidak demikian yang ada di Asia. Di Asia, politik Feodalisme masih ada bahkan eksesnya masih dirasakan hingga hari ini.

Proses pembentukan negara pun berbeda. Bagi kebanyakan negara Barat, negara dibentuk melalui perang dengan sesama mereka. Teritori wilayah bergeser seiring dengan tata kekuatan yang juga berubah. Belum lagi ditambah dengan berbagai proses revolusi seperti di Prancis, Inggris, Amerika, hingga Rusia yang menghasilkan Uni Soviet. Di Asia, kebanyakan negara merupakan hasil bentukan kolonial. Negara yang merdeka melalui perjuangan seperti Indonesia pun diwarisi sistem ekonomi-politik sisa kolonial. Sementara proses pembentukan negara berlangsung di Asia, di Barat sudah berjalan proses industri ke tahapan yang lebih maju.

Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, negara di Asia pun membawa strategi yang berbeda dari proses di Barat. Industrialisasi pertama di Asia terjadi di Jepang, yakni pada masa Restorasi Meiji di paruh kedua abad 19. Jepang mengadopsi pola pembangunan Developmental State dari Jerman masa Imperium (Thompson, 2010). Jerman mengeluarkan strategi pembangunan yang terkoordinasi oleh negara karena mereka mengalami keterlambatan industrialisasi jika dibandingkan dengan Inggris dan Prancis yang sudah lebih awal berproses. Kekaisaran Meiji mengadopsi ini. Negara mengatur industrialisasi hingga kepada sektor apa yang hendak diindustrialisasi.

Kesuksesan Industri di Jerman mendorong adanya upanya ekspansionis seperti pada saat Perang Dunia I dan II. Di Jepang pun tidak jauh berbeda. Mereka berupaya melakukan exercise of power kepada Kekaisaran Rusia dengan mencoba menganeksasi Rusia Timur pada awal abad 20. Bagi Jepang, unjuk kekuatan itu berlanjut dengan konfrontasi pada negara Barat lainnya, melalui proses Imperialisme untuk membentuk Asia Timur Raya di bawah kekuasaan Jepang. Seperti pada proses penguasaan Semenanjung Manchuria, Pulau Formosa (kini Taiwan), hingga ke Asia Tenggara. Puncaknya, ketika Jepang menyerang Pearl Harbor di Pasifik untuk berkonfrontasi dengan AS pada Perang Dunia II chapter Asia.

Perang Dunia II menghentikan proses industrialisasi di Jepang. Ditambah lagi dengan kekalahannya di berbagai front perang yang diperparah dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki menggunakan bom atom. Pelucutan kekuatan Jepang pun dilakukan oleh para pemenang perang dengan melarang pembentukan angkatan perang sekaligus melarang proses industri untuk kebutuhan perang. Praktis, sektor industrialisasi Jepang bergeser, namun tetap dengan koordinasi negara.

Pasca Perang Dunia II, kutub politik bergeser. Amerika Serikat menjadi hegemon menggantikan Inggris dan Prancis, namun mereka tetap dalam satu kubu. Sementara itu, Uni Soviet sebagai negara dunia Kedua mengkonsolidasikan kekuatan Komunisme yang menjadi kubu oposisi bagi AS. Perang Dingin pun mulai.

Persaingan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet berperan penting dalam percaturan politik global. Tradisi Liberalisme di AS dan negara Barat lainnya percaya pada pemikiran Immanuel Kant mengenai Democratic Peace. Perdamaian hanya bisa diraih apabila sistem dunia demokratis dan seluruh negara dijalankan dengan sistem demokrasi. Apabila negara-negara di dunia berjalan dengan sistem demokrasi, mereka akan terhindar dari saling menyerang antar sesama negara demokratis. Para pemimpin negara demokrasi juga tidak akan nekat melancarkan serangan pada negara lain, karena mereka akan dengan mudah tidak dipilih kembali oleh rakyatnya.

Tradisi liberal-demokratik ini berbeda dengan yang terjadi pada Uni Soviet. Bagi ideologi Marxisme, perdamaian bisa terjadi apabila kelas buruh yang selama ini hanya menjadi bagian dari faktor produksi bersatu melawan kekuasaan kalangan pemilik modal. Hasil dari revolusi itu adalah terbentuknya masyarakat komunal, yang dikenal kemudian dengan ideologi Komunisme. Peran pemerintah ialah untuk mengatur agar tidak terjadi akumulasi kekayaan oleh satu pihak saja dengan membagi rata kepada semua penduduk.

Keduanya merupakan bagian dari dua Worldview yang berbeda, yang menjadi sentral dalam perang ideologi selama Perang Dingin.

Persaingan ideologis hanya bertahan di beberapa dekade awal pasca Perang Dunia II. Di AS, perubahan pola kebijakan ekonomi terjadi pada tahun 1970an, ketika preskripsi Keynesian digantikan oleh Neoliberal yang lebih mendorong pasar bebas dan 'minimalist state'. Di Uni Soviet, perubahan telah terjadi terlebih dahulu di masa Nikita Khruschev pada medio 1950an yang melakukan proses De-Stalinisasi.

Di Republik Rakyat China, legasi Mao Zedong direvisi oleh Deng Xiaoping dengan pendekatan yang lebih pragmatis. 'Kucing hitam atau kucing putih tidak masalah, asalkan dia pandai menangkap tikus'. Di Indonesia, kekacauan politik tahun 1965-1966 mendorong perubahan rezim dari Sukarno yang cenderung Nasionalis-Sosialis kepada Suharto yang ditopang tim ekonomi bermazhab Keynesian.

Baik, kita kembali ke Asia. Jepang mengatur industrialisasi melalui Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (MITI -- Ministry of International Trade and Industry). Melalui MITI, tangan pemerintah Jepang mengatur keberadaan industri strategis nasional berorientasi ekspor. Produksi besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang ini juga diuntungkan dengan sikap AS yang memberikan akses transfer teknologi dan membuka pasar terhadap produk Jepang, yang membuat Jepang mendapat keuntungan besar (Johnson, 1982).

Produktivitas tinggi juga ditopang oleh sikap masyarakat Jepang yang memberikan loyalitas seumur hidup kepada perusahaan dengan prinsip lifetime employment (Johnson, 1982). Anggaran negara bagi industrialisasi ini juga besar, sebagai konsekuensi larangan untuk mengembangkan angkatan bersenjata (Iyoda, 2010).

Besarnya perhatian pemerintah terhadap industrialisasi memberikan berbagai dampak positif. Data dari World Bank menunjukkan Jepang menikmati pertumbuhan PDB tinggi di atas 10% hingga 1969. Kesejahteraan juga dialami oleh masyarakat Jepang dengan keberadaan kelas menengah yang menopang mayoritas populasi di angka di atas 90% serta tingkat kepemilikan asuransi kesehatan yang sudah 99.4% di tahun 1975 (Iyoda, 2010).

Pembangunan di Jepang yang sedemikian menjanjikan membuat negara-negara Asia lainnya mengikuti pola perkembangan Developmental State Jepang. Pola inilah yang oleh sementara ahli disebut sebagai 'flying geese' (Akamatsu, 1935; Korhonen, 1994; Hayter & Edgington, 2003; Furuoka, 2005). Ikutnya negara-negara di Asia kepada Jepang terbagi ke dalam dua tier.

Pada tier pertama, merupakan negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang kemudian dikenal sebagai Newly Industrialized Economy (NIE). Negara first-tier umumnya memiliki sumber daya alam yang lebih sedikit sehingga lebih berfokus pada investasi modal asing dan industrialisasi berteknologi tinggi. Pada tier kedua, terjadi perluasan ke negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang kemudian dikenal sebagai Newly Industrializing Countries (NICs). Negara second-tier memiliki keberlimpahan sumber daya, sehingga industrinya banyak ditopang oleh industri ekstraktif (Jomo, 2001).

Proses pembangunan di Asia kemudian berbuah manis. Pertumbuhan ekonomi di Asia mengalami percepatan yang tidak pernah dirasakan di belahan dunia mana pun pada zaman kapan pun. INilah yang memotivasi Bank Dunia menjuluki fenomena di Asia ini sebagai Asian Miracle dalam laporannya tahun 1993.

Relasi Bisnis dan Negara

Proses kesejarahan yang berbeda antara Barat dengan Asia Timur memberikan pola relasi antara negara dengan bisnis (state-business relations) yang berbeda. Di kebanyakan negara Barat, kalangan pebisnis datang dari latar berbeda dengan para pejabat negara. Bagi negara-negara berkembang di Asia Timur, relasi bisnis dengan negara menjadi faktor determinan dalam menjamin pembangunan di negara tersebut. Di Asia, pola umum yang terbentuk adalah adanya jejaring oligarki antara kekuasaan dengan pebisnis yang saling berkelindan satu sama lain. Hal ini bisa dilihat dari adanya Keidanren di Jepang, Chaebol di Korea Selatan, maupun Lingkaran "Taipan" di Indonesia.

Relasi yang kuat antara bisnis dengan negara di Asia ini dapat dipahami dari kekuasaan ekonomi yang besar oleh segelintir keluarga elit dan bagaimana negara memberikan berbagai privilese kepada mereka untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kekuasaan segelintir elit pebisnis terhadap perekonomian negara menjadi pola umum di Asia, seperti kekuasaan lima keluarga elit yang menguasai bisnis nasional mencapai 41% di Indonesia, 43% di Filipina, dan 29% di Korea (Woo-Cumings, 2001). Di sinilah keduanya saling berkelindan untuk saling menjaga kekuasaan di bidang masing-masing. Relasi erat di antara keduanya juga bisa memicu perilaku rent seeking yang acapkali memberatkan keuangan negara.

Seiring dengan berjalannya waktu, relasi antara negara dengan bisnis juga berubah. Di Jepang, kejadian economic bubble akibat pendanaan jangka pendek untuk investasi jangka panjang yang berlebihan di tahun 1980an (Iyoda, 2010) membawa pada peninjauan kembali model developmental state yang selama ini dijalankan. Jepang melakukan deregulasi besar-besaran terhadap sektor industri yang selama ini diamong oleh MITI. Mereka juga mengubah orientasi kebijakan industri yang lebih berorientasi pada teknologi tinggi (Fields, 2012). Taiwan memilih untuk melakukan demokratisasi politik dan privatisasi industri untuk membuat jarak antara negara dengan bisnis (Fields, 2012).

Angin segar bagi pola kekuasaan politik dan ekonomi seperti ini terjadi ketika Asia dilanda krisis pada tahun 1997. Runtuhnya sebagian besar kekuasaan politik di Asia, termasuk jatuhnya Suharto secara dramatis di Indonesia pada tahun 1998, telah membuat masyarakat sipil meninjau kembali relasi kuasa yang tidak sehat ini. Demokratisasi terjadi di Indonesia dan Taiwan, dan dalam batasan tertentu di Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang.

Meski demikian, masalah justru muncul dari sisi ekonomi. Jatuhnya ekonomi Asia membuka pintu masuk bagi bantuan IMF. Sayangnya, preskripsi IMF yang berpola neoliberal tidak serta merta mampu mengembalikan keadaan ekonomi di negara-negara Asia seperti keadaan semula, bahkan sampai hari ini seperti di Indonesia. Resep liberalisasi perdagangan, deregulasi birokrasi, dan privatisasi perusahaan negara tidak semulus yang ada di atas kertas.

Resep dari IMF pun tidak serta merta memperbaiki relasi negara dengan bisnis. Inilah yang ditemukan Winters (2013) bahwa di masa demokrasi pun, Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elit pebisnis yang juga menjadi sponsor atas kekuasaan yang berjalan di politik nasional. Bahkan studi Robison dan Hadiz (2004) menunjukkan desentralisasi politik justru menyebabkan terjadinya desentralisasi oligarki ke penguasa-penguasa tingkat lokal di Indonesia.

Mungkinkah Demokrasi dan Kapitalisme Berpisah Jalan?

Tulisan ini akan saya tutup dengan menjawab pertanyaan "Apakah mungkin Demokrasi dengan Kapitalisme berpisah jalan?" Dalam artian, Kapitalisme hadir tanpa Demokrasi dan sebaliknya, Demokrasi hadir tanpa Kapitalisme.

Jawaban saya sederhana. Keduanya memungkinkan.

Demokrasi hadir tanpa Kapitalisme bisa terjadi, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh kalangan Sosial-Demokrat yang menginginkan adanya pembatasan terhadap akumulasi kapital oleh kalangan pribadi dan adanya pemberian bantuan pemerintah dalam jumlah besar untuk masyarakat. Kondisi ini pernah diusahakan ketika Partai Sosial Demokrat memenangkan pemilu di Swedia (Sargent, 2003). Meski demikian, perlu ditekankan bahwa yang dimaksud dengan Demokrasi tanpa Kapitalisme ini bukan berarti menegasikan Kapitalisme sama sekali. Tetapi, kebijakan pemerintah yang lebih condong pada preskripsi Sosialisme ketimbang Kapitalisme. Penguasaan pemerintah pun terbatas pada public goods, sementara pelaku bisnis tetap bisa menjalankan bisnisnya dengan akumulasi modal, meski dalam batas-batas yang ditentukan oleh pemerintah. Dalam praktik di negara Nordik, biasanya perekonomian lebih menganut paham campuran. Ini tentu berbeda dengan Kapitalisme dalam pandangan yang ideal, ketika mereka menginginkan adanya peran negara yang minimal. 

Sementara itu, Kapitalisme hadir tanpa Demokrasi pun bisa juga terjadi. Contoh paling ekstrem tentu saja China. Ekonomi Kapitalisme hadir di tengah negara bersistem politik Komunisme. Berkaca pada teori kucing dan tikus dari Deng Xiaoping yang sudah saya sebutkan di awal, terlihat bagaimana China melakukan 'reformasi institusi' untuk mengakomodasi Kapitalisme dalam sistem politik Komunisme (Tsai, 2007). Lagi-lagi, di sini terlihat bahwa Kapitalisme yang hadir pun jauh dari imaji ideal, karena justru intervensi pemerintah sedemikian besar hingga membentuk state-capitalism.

China tidak mau serta merta mengubah sistem politiknya menjadi Demokrasi hanya untuk menikmati keuntungan yang besar dari sistem Kapitalisme. Meski, China cukup terlambat untuk menuju liberalisme ekonomi jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya (Tsai dan Cook, 2005).

Tetapi, negara Asia lainnya pun tidak jauh berbeda. Misalnya Indonesia di masa otoritarian Orde Baru. Pada masa Orde Baru, Indonesia membuka keran liberalisme ekonomi pada tahun 1980an seiring dengan menurunnya performa industri minyak nasional. Tetapi, tetap saja, seperti yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, liberalisasi ekonomi ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit ekonomi kelompok 'Taipan', tidak masyarakat secara luas.

Memang, bagi sebagian kalangan, Kapitalisme tanpa Demokrasi akan dianggap rapuh. Seperti yang terjadi di Indonesia, Kapitalisme yang hanya dinikmati oleh segelintir elit saja menjadi bom waktu yang meledak ketika ada krisis ekonomi 1997, sehingga merembet ke krisis sosial dan politik juga. Akan tetapi, tesis akan kerapuhan ini tampaknya sulit untuk menembus China yang hingga hari ini masih bertahan dengan sistem politik Komunismenya. Bahkan, percobaan demokrasi justru berubah menjadi Tragedi Tiananmen di tahun 1989 dan Hong Kong tahun kemarin. Resistensi kalangan elit politik masih sedemikian besar, karena toh, dalam logika mereka, tanpa demokratisasi pun, kesejahteraan bisa secara nyata didapat di China.

Tetapi perlu diingat juga, bahwa kapitalisme dan demokrasi itu sendiri pun memiliki spektrum masing-masing. Maksud saya, ketika kita berbicara bahwa ada kemungkinan Kapitalisme hadir tanpa keberadaan Demokrasi, ialah pada asumsi Kapitalisme dan Demokrasi di dalam bentuknya yang paling ideal.

Di Asia Timur sendiri, menurut Walter dan Zhang (2012), terdapat setidaknya empat variasi Kapitalisme. Pertama, co-governed capitalism seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Taiwan, yang bercirikan adanya pengaruh kalangan pebisnis di samping kekuasaan negara dan terkonsentrasinya kepemilikan bisnis. Kedua, state-led capitalism seperti di Indonesia yang mana campur tangan negara sangat kuat dalam regulasi finansial dan kepemilikan badan usaha. Ketiga, networked capitalism yang memiliki jejaring kuat antar sesama pebisnis yang mendapat privilese dari negara, seperti yang terjadi di Jepang. Terakhir, personalized capitalism yang antar pebisnis tidak terjejaring dengan kuat namun memiliki pengaruh besar bagi pengaturan sistem finansial, seperti di Filipina dan Thailand (Walter & Zhang, 2012).

Demokrasi pun memiliki berbagai spektrum yang berbeda. Dari sisi kaitannya dengan sistem ekonomi, Demokrasi setidaknya memiliki dua kutub, yakni antara Democratic Capitalism dengan Democratic Socialism (Sargent, 2003). Democratic Capitalism pun punya spektrum antara Keynesian dengan Neoliberal. Keynesian cenderung pada sistem ekonomi yang lebih mengakomodasi campur tangan negara dalam ekonomi, sementara Neoliberal lebih memilih untuk state retreat, market prevail.

Mungkin di antara pembaca justru semakin merasa rumit dengan penjelasan yang sedemikian plural seperti ini. Hehehe, that's the beauty of social sciences. Kita tidak berpikir hanya dalam warna hitam dan putih. Pun di antara keduanya tidak hanya ada abu-abu, melainkan warna-warni pelangi yang beraneka ragam. Maka, dalam membaca masalah sosial, bukalah cakrawala dalam kacamata spektrum, agar kita dapat melihat berbagai sisi secara multidimensi.

Daftar Bacaan

Fields, Karl J. (2012) "Not of A Piece: Developmental States, Industrial Policy, and Evolving Patterns of Capitalism in Japan, Korea, and Taiwan" dalam East Asian Capitalism: Diversity, Continuity, and Change, Editor Andrew Walter dan Xiaoke Xhang. Oxford: Oxford University Press.

Furuoka, Fumitaka. (2005). "Japan and The 'Flying Geese' Pattern of East Asian Integration". Journal of Contemporary East Asia. 4 (1): 1-7.

Hayter, Roger dan David W. Edgington. (2003). "Flying Geese in Asia: The Impacts of Japanese MNCs as A Source of Industrial Learning". Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie. 95 (1): 3-26.

Iyoda, Mitsuhiko. (2010). Postwar Japanese Economy: Lessons of Economic Growth and the Bubble Economy. New York: Springer.

Johnson, Charlmers. (1982). MITI and The Japanese Miracle: The Growth and Industrial Policy, 1925-1975. Stanford: Stanford University Press.

Jomo, K. S. (2001). "Introduction: Growth and Structural Change in the Second-Tier Southeast Asian NICs" dalam Southeast Asia's Industrialization: Industrial Policy, Capabilites, and Sustainability, Editor K.S. Jomo. New York: Palgrave.

Korhonen, Perka. (1994, February) "The Theory of the Flying Geese Pattern of Development and Its Interpretations". Journal of Peace Research. 31 (1): 93-108

Pempel, T.J. (2006). "Revisiting the Japanese Economic Model" dalam Japan and China in the World Political Economy, Editor Kellee Tsai dan Saadia Pekkanen. London dan New York: Routledge.

Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz. (2004). Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in The Age of Market. New York: Routledge.

Sargent, Lyman Tower. (2003). Contemporary Political Ideologies: A Comparative Analysis, 12th Edition. Toronto: Thomson-Wadsworth.

Thompson, Mark R. (2010). "Japan's 'German Path' and Pacific Asia's Flying Geese". Asian Journal of Social Science. 38: 671-715

Tsai, Kellee S. dan Sarah Cook. (2006). "Developmental Dillemmas in China: Socialist Transition and Late Liberalization" dalam Japan and China in the World Political Economy, Editor Kellee Tsai dan Saadia Pekkanen. London dan New York: Routledge.

Tsai, Kellee S. (2007). Capitalism Without Democracy: The Private Sector in Contemporary China. Ithaca dan London: Cornell University Press.

Wade, Robert. (1990). Economic Theory and The Role of Government in East Asian Industrialization. Princeton: Princeton University Press.

Walter, Andrew dan Xiaoke Zhang. (2012). "Debating East Asian Capitalism: Issues and Themes" dalam East Asian Capitalism: Diversity, Continuity, and Change, Editor Andrew Walter dan Xiaoke Xhang. Oxford: Oxford University Press.

Winters, Jeffrey A. (2013). "Oligarchy and Democracy in Indonesia". Indonesia. 96: 11-33.

World Bank. (1993). The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Washington, DC: World Bank Publishing.

Yoshimatsu, Hidetaka. (2003). Japan and East Asia in Transition: Trade Policy, Crisis and Evolution, and Regionalism. New York: Palgrave MacMillan.

Yusuf, Shahid. (2001) "The East Asian Miracle at The Millennium" dalam Rethinking the East Asian Miracle, Editor Joseph E. Stiglitz dan Shahid Yusuf. Washington, DC dan New York: World Bank and Oxford University Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun