Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kapitalisme dan Demokrasi: Tidak Selamanya Seiring Sejalan

11 April 2020   19:33 Diperbarui: 11 April 2020   22:59 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dokumen Penulis)

Proses pembangunan di Asia kemudian berbuah manis. Pertumbuhan ekonomi di Asia mengalami percepatan yang tidak pernah dirasakan di belahan dunia mana pun pada zaman kapan pun. INilah yang memotivasi Bank Dunia menjuluki fenomena di Asia ini sebagai Asian Miracle dalam laporannya tahun 1993.

Relasi Bisnis dan Negara

Proses kesejarahan yang berbeda antara Barat dengan Asia Timur memberikan pola relasi antara negara dengan bisnis (state-business relations) yang berbeda. Di kebanyakan negara Barat, kalangan pebisnis datang dari latar berbeda dengan para pejabat negara. Bagi negara-negara berkembang di Asia Timur, relasi bisnis dengan negara menjadi faktor determinan dalam menjamin pembangunan di negara tersebut. Di Asia, pola umum yang terbentuk adalah adanya jejaring oligarki antara kekuasaan dengan pebisnis yang saling berkelindan satu sama lain. Hal ini bisa dilihat dari adanya Keidanren di Jepang, Chaebol di Korea Selatan, maupun Lingkaran "Taipan" di Indonesia.

Relasi yang kuat antara bisnis dengan negara di Asia ini dapat dipahami dari kekuasaan ekonomi yang besar oleh segelintir keluarga elit dan bagaimana negara memberikan berbagai privilese kepada mereka untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kekuasaan segelintir elit pebisnis terhadap perekonomian negara menjadi pola umum di Asia, seperti kekuasaan lima keluarga elit yang menguasai bisnis nasional mencapai 41% di Indonesia, 43% di Filipina, dan 29% di Korea (Woo-Cumings, 2001). Di sinilah keduanya saling berkelindan untuk saling menjaga kekuasaan di bidang masing-masing. Relasi erat di antara keduanya juga bisa memicu perilaku rent seeking yang acapkali memberatkan keuangan negara.

Seiring dengan berjalannya waktu, relasi antara negara dengan bisnis juga berubah. Di Jepang, kejadian economic bubble akibat pendanaan jangka pendek untuk investasi jangka panjang yang berlebihan di tahun 1980an (Iyoda, 2010) membawa pada peninjauan kembali model developmental state yang selama ini dijalankan. Jepang melakukan deregulasi besar-besaran terhadap sektor industri yang selama ini diamong oleh MITI. Mereka juga mengubah orientasi kebijakan industri yang lebih berorientasi pada teknologi tinggi (Fields, 2012). Taiwan memilih untuk melakukan demokratisasi politik dan privatisasi industri untuk membuat jarak antara negara dengan bisnis (Fields, 2012).

Angin segar bagi pola kekuasaan politik dan ekonomi seperti ini terjadi ketika Asia dilanda krisis pada tahun 1997. Runtuhnya sebagian besar kekuasaan politik di Asia, termasuk jatuhnya Suharto secara dramatis di Indonesia pada tahun 1998, telah membuat masyarakat sipil meninjau kembali relasi kuasa yang tidak sehat ini. Demokratisasi terjadi di Indonesia dan Taiwan, dan dalam batasan tertentu di Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang.

Meski demikian, masalah justru muncul dari sisi ekonomi. Jatuhnya ekonomi Asia membuka pintu masuk bagi bantuan IMF. Sayangnya, preskripsi IMF yang berpola neoliberal tidak serta merta mampu mengembalikan keadaan ekonomi di negara-negara Asia seperti keadaan semula, bahkan sampai hari ini seperti di Indonesia. Resep liberalisasi perdagangan, deregulasi birokrasi, dan privatisasi perusahaan negara tidak semulus yang ada di atas kertas.

Resep dari IMF pun tidak serta merta memperbaiki relasi negara dengan bisnis. Inilah yang ditemukan Winters (2013) bahwa di masa demokrasi pun, Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elit pebisnis yang juga menjadi sponsor atas kekuasaan yang berjalan di politik nasional. Bahkan studi Robison dan Hadiz (2004) menunjukkan desentralisasi politik justru menyebabkan terjadinya desentralisasi oligarki ke penguasa-penguasa tingkat lokal di Indonesia.

Mungkinkah Demokrasi dan Kapitalisme Berpisah Jalan?

Tulisan ini akan saya tutup dengan menjawab pertanyaan "Apakah mungkin Demokrasi dengan Kapitalisme berpisah jalan?" Dalam artian, Kapitalisme hadir tanpa Demokrasi dan sebaliknya, Demokrasi hadir tanpa Kapitalisme.

Jawaban saya sederhana. Keduanya memungkinkan.

Demokrasi hadir tanpa Kapitalisme bisa terjadi, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh kalangan Sosial-Demokrat yang menginginkan adanya pembatasan terhadap akumulasi kapital oleh kalangan pribadi dan adanya pemberian bantuan pemerintah dalam jumlah besar untuk masyarakat. Kondisi ini pernah diusahakan ketika Partai Sosial Demokrat memenangkan pemilu di Swedia (Sargent, 2003). Meski demikian, perlu ditekankan bahwa yang dimaksud dengan Demokrasi tanpa Kapitalisme ini bukan berarti menegasikan Kapitalisme sama sekali. Tetapi, kebijakan pemerintah yang lebih condong pada preskripsi Sosialisme ketimbang Kapitalisme. Penguasaan pemerintah pun terbatas pada public goods, sementara pelaku bisnis tetap bisa menjalankan bisnisnya dengan akumulasi modal, meski dalam batas-batas yang ditentukan oleh pemerintah. Dalam praktik di negara Nordik, biasanya perekonomian lebih menganut paham campuran. Ini tentu berbeda dengan Kapitalisme dalam pandangan yang ideal, ketika mereka menginginkan adanya peran negara yang minimal. 

Sementara itu, Kapitalisme hadir tanpa Demokrasi pun bisa juga terjadi. Contoh paling ekstrem tentu saja China. Ekonomi Kapitalisme hadir di tengah negara bersistem politik Komunisme. Berkaca pada teori kucing dan tikus dari Deng Xiaoping yang sudah saya sebutkan di awal, terlihat bagaimana China melakukan 'reformasi institusi' untuk mengakomodasi Kapitalisme dalam sistem politik Komunisme (Tsai, 2007). Lagi-lagi, di sini terlihat bahwa Kapitalisme yang hadir pun jauh dari imaji ideal, karena justru intervensi pemerintah sedemikian besar hingga membentuk state-capitalism.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun