Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kapitalisme dan Demokrasi: Tidak Selamanya Seiring Sejalan

11 April 2020   19:33 Diperbarui: 11 April 2020   22:59 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dokumen Penulis)

China tidak mau serta merta mengubah sistem politiknya menjadi Demokrasi hanya untuk menikmati keuntungan yang besar dari sistem Kapitalisme. Meski, China cukup terlambat untuk menuju liberalisme ekonomi jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya (Tsai dan Cook, 2005).

Tetapi, negara Asia lainnya pun tidak jauh berbeda. Misalnya Indonesia di masa otoritarian Orde Baru. Pada masa Orde Baru, Indonesia membuka keran liberalisme ekonomi pada tahun 1980an seiring dengan menurunnya performa industri minyak nasional. Tetapi, tetap saja, seperti yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, liberalisasi ekonomi ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit ekonomi kelompok 'Taipan', tidak masyarakat secara luas.

Memang, bagi sebagian kalangan, Kapitalisme tanpa Demokrasi akan dianggap rapuh. Seperti yang terjadi di Indonesia, Kapitalisme yang hanya dinikmati oleh segelintir elit saja menjadi bom waktu yang meledak ketika ada krisis ekonomi 1997, sehingga merembet ke krisis sosial dan politik juga. Akan tetapi, tesis akan kerapuhan ini tampaknya sulit untuk menembus China yang hingga hari ini masih bertahan dengan sistem politik Komunismenya. Bahkan, percobaan demokrasi justru berubah menjadi Tragedi Tiananmen di tahun 1989 dan Hong Kong tahun kemarin. Resistensi kalangan elit politik masih sedemikian besar, karena toh, dalam logika mereka, tanpa demokratisasi pun, kesejahteraan bisa secara nyata didapat di China.

Tetapi perlu diingat juga, bahwa kapitalisme dan demokrasi itu sendiri pun memiliki spektrum masing-masing. Maksud saya, ketika kita berbicara bahwa ada kemungkinan Kapitalisme hadir tanpa keberadaan Demokrasi, ialah pada asumsi Kapitalisme dan Demokrasi di dalam bentuknya yang paling ideal.

Di Asia Timur sendiri, menurut Walter dan Zhang (2012), terdapat setidaknya empat variasi Kapitalisme. Pertama, co-governed capitalism seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Taiwan, yang bercirikan adanya pengaruh kalangan pebisnis di samping kekuasaan negara dan terkonsentrasinya kepemilikan bisnis. Kedua, state-led capitalism seperti di Indonesia yang mana campur tangan negara sangat kuat dalam regulasi finansial dan kepemilikan badan usaha. Ketiga, networked capitalism yang memiliki jejaring kuat antar sesama pebisnis yang mendapat privilese dari negara, seperti yang terjadi di Jepang. Terakhir, personalized capitalism yang antar pebisnis tidak terjejaring dengan kuat namun memiliki pengaruh besar bagi pengaturan sistem finansial, seperti di Filipina dan Thailand (Walter & Zhang, 2012).

Demokrasi pun memiliki berbagai spektrum yang berbeda. Dari sisi kaitannya dengan sistem ekonomi, Demokrasi setidaknya memiliki dua kutub, yakni antara Democratic Capitalism dengan Democratic Socialism (Sargent, 2003). Democratic Capitalism pun punya spektrum antara Keynesian dengan Neoliberal. Keynesian cenderung pada sistem ekonomi yang lebih mengakomodasi campur tangan negara dalam ekonomi, sementara Neoliberal lebih memilih untuk state retreat, market prevail.

Mungkin di antara pembaca justru semakin merasa rumit dengan penjelasan yang sedemikian plural seperti ini. Hehehe, that's the beauty of social sciences. Kita tidak berpikir hanya dalam warna hitam dan putih. Pun di antara keduanya tidak hanya ada abu-abu, melainkan warna-warni pelangi yang beraneka ragam. Maka, dalam membaca masalah sosial, bukalah cakrawala dalam kacamata spektrum, agar kita dapat melihat berbagai sisi secara multidimensi.

Daftar Bacaan

Fields, Karl J. (2012) "Not of A Piece: Developmental States, Industrial Policy, and Evolving Patterns of Capitalism in Japan, Korea, and Taiwan" dalam East Asian Capitalism: Diversity, Continuity, and Change, Editor Andrew Walter dan Xiaoke Xhang. Oxford: Oxford University Press.

Furuoka, Fumitaka. (2005). "Japan and The 'Flying Geese' Pattern of East Asian Integration". Journal of Contemporary East Asia. 4 (1): 1-7.

Hayter, Roger dan David W. Edgington. (2003). "Flying Geese in Asia: The Impacts of Japanese MNCs as A Source of Industrial Learning". Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie. 95 (1): 3-26.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun