Pasca Perang Dunia II, kutub politik bergeser. Amerika Serikat menjadi hegemon menggantikan Inggris dan Prancis, namun mereka tetap dalam satu kubu. Sementara itu, Uni Soviet sebagai negara dunia Kedua mengkonsolidasikan kekuatan Komunisme yang menjadi kubu oposisi bagi AS. Perang Dingin pun mulai.
Persaingan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet berperan penting dalam percaturan politik global. Tradisi Liberalisme di AS dan negara Barat lainnya percaya pada pemikiran Immanuel Kant mengenai Democratic Peace. Perdamaian hanya bisa diraih apabila sistem dunia demokratis dan seluruh negara dijalankan dengan sistem demokrasi. Apabila negara-negara di dunia berjalan dengan sistem demokrasi, mereka akan terhindar dari saling menyerang antar sesama negara demokratis. Para pemimpin negara demokrasi juga tidak akan nekat melancarkan serangan pada negara lain, karena mereka akan dengan mudah tidak dipilih kembali oleh rakyatnya.
Tradisi liberal-demokratik ini berbeda dengan yang terjadi pada Uni Soviet. Bagi ideologi Marxisme, perdamaian bisa terjadi apabila kelas buruh yang selama ini hanya menjadi bagian dari faktor produksi bersatu melawan kekuasaan kalangan pemilik modal. Hasil dari revolusi itu adalah terbentuknya masyarakat komunal, yang dikenal kemudian dengan ideologi Komunisme. Peran pemerintah ialah untuk mengatur agar tidak terjadi akumulasi kekayaan oleh satu pihak saja dengan membagi rata kepada semua penduduk.
Keduanya merupakan bagian dari dua Worldview yang berbeda, yang menjadi sentral dalam perang ideologi selama Perang Dingin.
Persaingan ideologis hanya bertahan di beberapa dekade awal pasca Perang Dunia II. Di AS, perubahan pola kebijakan ekonomi terjadi pada tahun 1970an, ketika preskripsi Keynesian digantikan oleh Neoliberal yang lebih mendorong pasar bebas dan 'minimalist state'. Di Uni Soviet, perubahan telah terjadi terlebih dahulu di masa Nikita Khruschev pada medio 1950an yang melakukan proses De-Stalinisasi.
Di Republik Rakyat China, legasi Mao Zedong direvisi oleh Deng Xiaoping dengan pendekatan yang lebih pragmatis. 'Kucing hitam atau kucing putih tidak masalah, asalkan dia pandai menangkap tikus'. Di Indonesia, kekacauan politik tahun 1965-1966 mendorong perubahan rezim dari Sukarno yang cenderung Nasionalis-Sosialis kepada Suharto yang ditopang tim ekonomi bermazhab Keynesian.
Baik, kita kembali ke Asia. Jepang mengatur industrialisasi melalui Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (MITI -- Ministry of International Trade and Industry). Melalui MITI, tangan pemerintah Jepang mengatur keberadaan industri strategis nasional berorientasi ekspor. Produksi besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang ini juga diuntungkan dengan sikap AS yang memberikan akses transfer teknologi dan membuka pasar terhadap produk Jepang, yang membuat Jepang mendapat keuntungan besar (Johnson, 1982).
Produktivitas tinggi juga ditopang oleh sikap masyarakat Jepang yang memberikan loyalitas seumur hidup kepada perusahaan dengan prinsip lifetime employment (Johnson, 1982). Anggaran negara bagi industrialisasi ini juga besar, sebagai konsekuensi larangan untuk mengembangkan angkatan bersenjata (Iyoda, 2010).
Besarnya perhatian pemerintah terhadap industrialisasi memberikan berbagai dampak positif. Data dari World Bank menunjukkan Jepang menikmati pertumbuhan PDB tinggi di atas 10% hingga 1969. Kesejahteraan juga dialami oleh masyarakat Jepang dengan keberadaan kelas menengah yang menopang mayoritas populasi di angka di atas 90% serta tingkat kepemilikan asuransi kesehatan yang sudah 99.4% di tahun 1975 (Iyoda, 2010).
Pembangunan di Jepang yang sedemikian menjanjikan membuat negara-negara Asia lainnya mengikuti pola perkembangan Developmental State Jepang. Pola inilah yang oleh sementara ahli disebut sebagai 'flying geese' (Akamatsu, 1935; Korhonen, 1994; Hayter & Edgington, 2003; Furuoka, 2005). Ikutnya negara-negara di Asia kepada Jepang terbagi ke dalam dua tier.
Pada tier pertama, merupakan negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang kemudian dikenal sebagai Newly Industrialized Economy (NIE). Negara first-tier umumnya memiliki sumber daya alam yang lebih sedikit sehingga lebih berfokus pada investasi modal asing dan industrialisasi berteknologi tinggi. Pada tier kedua, terjadi perluasan ke negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang kemudian dikenal sebagai Newly Industrializing Countries (NICs). Negara second-tier memiliki keberlimpahan sumber daya, sehingga industrinya banyak ditopang oleh industri ekstraktif (Jomo, 2001).