Tapi saat penghujan tiba. Apalagi lagi Januari-Februari ketika musim hujan mencapai puncaknya. Air datang melimpah. Di hulu, hutan yang tadinya lebat, sudah berganti dengan vila dan resor wisata.
Di hilir, kanan kiri sungai sudah dibeton. Air tidak bisa masuk ke tanah. Mau ke laut, rupanya permukaan tanah Jakarta sudah 3-5 meter di bawah permukaan laut.
Akhirnya? Yasudah, air meluber ke mana-mana. Lalu kita sebut itu bencana? Iya sih, sebab memang merugikan manusia. Tapi bukannya memang penyebabnya itu manusia sendiri? Meski bukan dia yang terkena langsung. Tapi sama-sama manusia, toh?
Maka, dengan kondisi yang sudah serba "kadung" begini, tidak banyak yang bisa diperbuat. Tidak mungkin juga kan, gedung dan rumah yang sudah ada dibabat habis dijadikan hutan. Toh mereka dulu juga dapat IMB dan tiap tahun bayar pajak. Secara hukum mereka legal dan sah punya rumah di sana.
Akhirnya, yang bisa dilakukan tinggallah adaptasi. Oke, kita hidup di daerah yang secara alami pasti akan terjadi banjir. Tapi bagaimana kita mengantisipasi, agar ketika banjir itu tiba, dia tidak menjadi bencana.Â
Banjir tidak jadi bencana, memangnya bisa?
Mungkin susah kalau kita bayangkan sekarang. Karena genangan sedikit pun langsung dipolitisasi buat salah-salahan.
Tapi begini, yang namanya mitigasi kebencanaan itu sejatinya bukan menghilangkan sama sekali potensi bencana, apalagi yang terkait alam. Mustahil kan, kita mencegah gunung meletus dengan mencabut Merapi dari akarnya? Hehehe.
Manajemen kebencanaan sejatinya ialah bagaimana kita mengurangi risiko dan ancaman, dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita, apabila kejadian itu datang. Agar nantinya, kerugian yang kita alami bisa ditekan seminimal mungkin.
Ketika Jakarta sudah kita pahami sebagai tempat yang normal untuk dibanjiri air, kemudian kita tahu bulan-bulan yang rawan terjadi banjir, maka kita masih punya peluang untuk menyiapkan diri ketika banjir itu tiba.
Sebab, betapa pun lebar sungai kita keruk, saat musim hujan tiba, banjir juga bakal ikutan datang.