Inilah yang disebut oleh Meadows dkk. sebagai "Limits To Growth" di dalam bukunya yang terbit tahun 1973 silam. Betapa pun canggihnya teknologi, selama eksploitasi alam tidak dipedulikan, maka pertumbuhan itu akan mencapai titik batas kritisnya.
Sudahlah begitu, institusi pemerintahan masih koruptif. Karena sudah keburu diberi modal Pilkada, izin tambang diberi cuma-cuma. Karena sudah kadung disponsori jadi caleg, jadilah pengawasan DPRD tertutup matanya.
Ini dia yang menjadi penyebab negara gagal, seperti yang disebut oleh Acemoglu dan Robinson. Institusi yang ekstraktif, yang memburu sumber daya alam secara eksploitatif, dan dilindungi pemerintahan yang koruptif.
Akhirnya pertumbuhan ekonomi itu hanya cantik di atas kertas. Sementara kebakaran hutan dan banjir bandang menjadi santapan bergilir, seiring musim berganti berselang.
Naiknya GDP hanya jadi suapan saat kampanye saja. Sementara ketidakadilan dan ketimpangan, tersebab konflik agraria antara rakyat jelata dengan penguasa kebun sawit. Lahan pertanian hilang digantikan tambang. Padahal yang dimakan tetaplah beras dan umbi-umbian, bukan batu bara.
Apakah ini berarti kita tidak perlu membangun sama sekali? Tidak sefatalistik itu!
Kita tetap membangun, tapi paradigmanya mesti diubah. Tujuan pembangunan bukan hanya mengejar tingginya pertumbuhan GDP atau meningkatkan investasi semata. Lebih dari itu, kita menjamin keadilan ekonomi, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Atau mungkin yang lebih filosofis, seperti yang disebut Amartya Sen sebagai "Development as Freedom". Pembangunan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan kemelaratan. Pembangunan juga membebaskan manusia untuk memiliki lebih banyak pilihan dalam mencapai kesejahteraan.
Tapi jangan dilupa bahwa pertumbuhan ekonomi hanya satu dari tiga pilar pembangunan. Ada keadilan sosial dan kelestarian lingkungan sebagai dua pilar lainnya. Begitu yang jadi visi besar Pembangunan Berkelanjutan, seperti yang dicanangkan PBB.
Lalu apa hubungannya dengan banjir Jakarta? Mari dilihat lebih dalam.
Apakah banjir terjadi gara-gara Presidennya Jokowi dan Gubernurnya Anies? Tentu tidak. Ada tanggungan "dosa" akibat pola pembangunan yang eksploitatif di Jakarta dan sekitarnya.