Setiap 1 Juni, kita lakukan peringatan terhadap hari lahir Pancasila. Pancasila sebagai sebuah ideologi, yang membangun sendi-sendi bangsa Indonesia. Ia lahir dari rahim para pendiri bangsa. Hasil sebuah penggalian dari kebudayaan Timur dan Barat, dari warisan leluhur maupun hasil pemikiran para filsuf.
Selayaknya sebuah ideologi, kita mestinya menjadikannya sebagai pengarah perjalanan bangsa. Bila kita lihat Amerika Serikat, misalnya, yang lahir dari ideologi Liberalisme, berslogan 'the land of the free, the home of the brave', maka mereka memang menjadikan liberalisme itu landasan dalam berpolitik, berekonomi, berkebangsaan, dan sebagainya.
Pancasila pun amat potensial untuk hal itu. Kita telah sampai pada kesepakatan, bahwa Pancasila diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Walaupun dalam penafsirannya, terdapat berbagai perbedaan pandangan. Tetapi, layaknya semboyan negeri kita, 'Bhinneka Tunggal Ika', keanekaragaman penafsiran Pancasila itu justru mengayakan falsafah kebangsaan.
Satu aspek penting dalam sebuah ideologi ialah pengejewantahan di sisi ekonomi. Ekonomi Pancasila, sebuah gagasan yang sudah pernah mengemuka, namun kini mulai terlupa, akan kita coba bahas dalam tulisan ini. Harapannya, arah ekonomi dan pembangunan negeri kita bisa kembali menengok pada falsafah Pancasila. Supaya Pancasila itu tidak sekadar hapalan di tiap upacara, tetapi dirasakan oleh tiap warga negara.
Apa itu Ekonomi Pancasila?
Ekonomi, sering kita istilahkan sebagai sebuah cabang ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Dalam menjalankan perannya sebagai homo economicus, manusia memiliki sebuah Worldview yang menggerakkannya dari alam bawah sadar. Worldview itulah yang menuntunnya dalam pola pikir hingga pola kebijakan. Ketika worldview itu sudah terartikulasikan dalam sebuah gagasan dan pergerakan, di situlah kita menyebutnya sebagai sebuah 'ideologi'.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia. Sebagai sebuah idelogi, ia memiliki turunan tersendiri dalam bidang perekonomian. Mubyarto (1987) mendefinisikan 'Ekonomi Pancasila' sebagai yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional.Â
Jika kita bandingkan dengan ekonomi arus utama berideologi liberalisme, maka letak perbedaannya sudah mendasar. Liberalisme menekankan pada aspek individual, sementara ekonomi Pancasila menekankan pada aspek kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong.
Jiwa Ekonomi Pancasila
Ekonomi Pancasila dijiwai oleh falsafah hidup masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah ideologi yang memang lahir di masa pergerakan nasional, yang pada masa itu terjadi adu gagasan, dari Islamisme, sekularisme, sosialisme, liberalisme, hingga aspek keagamaan lainnya, tampak bahwa Pancasila berusaha mengakomodasi itu semua. Khususnya, terhadap jiwa keagamaan bangsa Indonesia yang memang identitas yang cukup menonjol dibandingkan identitas lain.
Setidaknya, terdapat tiga sumber inspirasi utama dari Ekonomi Pancasila. Pertama, inspirasi dari agama Islam. Didasarkan pada Surat An Nisa ayat 1 dan Al Hujurat ayat 10, Mubyarto (1987) berpendapat inilah yang menjadi landasan bahwa ekonomi Pancasila seharusnya berlandaskan pada asas kekeluargaan.Â
Selanjutnya, dalam memandang potensi sumber daya, Mubyarto melandaskannya pada surat Fushshilat ayat 10, menurutnya pandangan terhadap sumber daya bukanlah keterbatasan sumber daya, akan tetapi keterbatasan kemampuan manusia dalam mengelola sumber daya tersebut.
Kedua, bersumber dari ajaran Buddha. Berlandaskan pada kisah penggembalaan Lembu yang bermula dari mencari Sang Lembu, menemukan jejak Sang Lembu, menemukan Sang Lembu, menangkap Sang Lembu, menjinakkan Sang Lembu, membawa Sang Lembu ke kandang, Sang Lembu dilampau-rasakan, Sang Lembu dan Sang Diri, mencapai sumber, hingga berakhir di dunia Nirmanakaya, dapat dipahami bahwa kehidupan manusia di dunia memiliki tingkat kesadaran dari paria (ego) hingga Brahmana, dan kesadaran tertinggi itulah yang dikehendaki (Nataatmadja, 1997). Ketiga, bersumber dari ajaran Kejawen yang menghendaki bahwa berpikir tidak serta merta dengan akal, namun dengan hati nurani (Nataatmadja,1988).
Dari ketiga sumber ini, bisa dilihat bahwa aspek ekonomi dalam Pancasila tidak membatasi diri pada aspek material saja. Lebih daripada itu, aspek rohani pun mendapat perhatian khusus dalam Ekonomi Pancasila.Â
Beragamnya sumber inspirasi bagi jiwa Ekonomi Pancasila ini memang menggambarkan keanekaragaman bangsa Indonesia. Ajaran agama dan budaya melekat pada masyarakat Indonesia secara umum. Tapi, hal ini bukan menggambarkan bahwa ajaran Pancasila itu mencampur adukkan ajaran agama. Justru, Pancasila mengakomodasi berbagai ajaran agama itu.
Sosialisme Indonesia
Selain dari falsafah keagamaan, ada juga pandangan dari Mohammad Hatta mengenai Sosialisme Indonesia. Menurut Hatta, Sosialisme Indonesia itu dibangun berlandaskan tiga faktor utama. Pertama, sosialisme Indonesia muncul dari ajaran agama yang memerintahkan manusia untuk berperilaku adil, memiliki rasa persaudaraan, sikap tolong menolong, dan kemanusiaan (Swasono, 1988).Â
Dari sini, dapat dipahami bahwa terjadi perbedaan mendalam antara sosialisme yang dianut Indonesia dengan sosialisme yang diajarkan dari filsafat Barat. Di Barat, sosialisme terbentuk semata-mata karena melihat kondisi ketimpangan di masyarakat, sementara bagi Indonesia, sosialisme lahir dari ajaran luhur agama.
Kedua, sosialisme Indonesia lahir sebagai sebuah bentuk pemberontakan atas penjajahan, sebagaimana yang dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945, yakni untuk membentuk bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.Â
Ketiga, sosialisme Indonesia tidak berlandaskan pada filsafat materialisme sebagaimana yang ada di Barat, namun lahir dari tuntutan jiwa dan kehendak rakyat untuk mendirikan masyarakat yang adil dan makmur (Swasono, 1988). Karena itu, sosialisme Indonesia tidak murni mengedepankan sikap kolektivitas yang mematikan individu, melainkan menjadikan keduanya seiring sejalan.
Lebih lanjut lagi, sosialisme Indonesia menitikberatkan pada masalah keadilan sosial. Menurut Swasono (1988), keadilan sosial adalah titik tolak, mekanisme pengontrol, sekaligus tujuan dari pembangunan nasional. Karena itu, perekonomian nasional tidak boleh hanya mengarahkan pada pertumbuhan semata, namun harus juga memperhatikan aspek pemerataan pembangunan.Â
Keadilan dalam sistem ekonomi Pancasila juga menitikberatkan pada aspek rasa yang diambil dari kebudayaan Jawa dengan pemaknaan sebagai 'keseluruhan sifat pada seseorang, yang terbuka ke luar dan dihayati dan disadari secara mendalam sampai mencapai inti persoalan'. Dari pemaknaan itu, keadilan kemudian dipahami sebagai sebuah kebajikan yang didasarkan pada pengakuan atas hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang (Gunadi, 1983).
Landasan Konstitusional
Sebagai sebuah sistem perekonomian yang berasal dari ideologi bangsa, sistem ekonomi Pancasila memiliki landasan konstitusional. Landasan pertama ialah pembukaan UUD 1945 yang menyatakan,
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. (alinea kedua)
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (...) (alinea keempat)
Landasan berikutnya ialah UUD 1945 pasal 33 sebelum diamandemen yang berbunyi,
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mengenai asas Demokrasi Ekonomi, penjelasannya terdapat dalam Ketetapan MPR nomor IV/MPR/1978. TAP MPR tersebut menjabarkan mengenai prinsip dalam demokrasi ekonomi seperti adanya pengakuan terhadap hak individu dan juga hak negara. Selain itu, diamanahkan juga agar Indonesia menghindari sistem free fight liberalism, etatisme, dan monopoli ekonomi (Gunadi, 1983).
Ciri Khas Ekonomi Pancasila
Sebagai tawaran akan sebuah sistem perekonomian, ekonomi Pancasila memiliki ciri khas. Dua di antaranya menurut Emil Salim dan Mubyarto. Gagasan mengenai Ekonomi Pancasila lahir dari Emil Salim (Ismail, Santosa, Yustika, 2014). Menurutnya, terdapat lima ciri dari sistem ekonomi Pancasila.
Pertama, peranan negara penting namun tidak mencapai seperti sistem etatisme. Kedua, hubungan kerja antarlembaga dalam perekonomian tidak berdasarkan modal seperti pada kapitalisme atau buruh seperti pada Marxisme, melainkan mendasarkan pada asas kekeluargaan.Â
Ketiga, masyarakat sebagai satu kesatuan memiliki peranan sentral dalam perekonomian, namun bukan berarti peranan individu dihilangkan sama sekali, melainkan individu bergerak sesuai dengan cita-cita yang dikehendaki oleh masyarakat.Â
Keempat, penguasaan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia berada di negara, namun bukan berarti menghilangkan peranan rakyat dalam pengelolaannya. Kelima, sistem ekonomi Pancasila bukan sebuah sistem yang bebas nilai, tetapi dijiwai oleh ideologi Pancasila itu sendiri (Ismail, Santosa, Yustika, 2014).
Pemikiran Emil Salim ini juga dikembangkan oleh Mubyarto. Ia menawarkan juga lima ciri khas dari sistem ekonomi Pancasila. Pertama, dalam sistem ekonomi Pancasila, koperasi merupakan soko guru perekonomian. Kedua, perekonomian tidak hanya didorong oleh rangsangan ekonomis semata, namun juga ada rangsangan sosial dan moral.Â
Ketiga, berdasarkan pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kehendak kuat dari masyarakat ialah terciptanya masyarakat yang berada dalam kemerataan sosial, atau egalitarianisme. Keempat, berdasarkan pada sila Persatuan Indonesia, maka prioritas dari perekonomian Indonesia adalah ketangguhan Nasional. Kelima, sistem ekonomi Pancasila menghendaki adanya keseimbangan antara pusat dan daerah sehingga diperlukan adanya sistem desentralisasi kekuasaan (Mubyarto, 1987).
Praktik Ekonomi Pancasila
Sebagai sebuah harapan akan sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia, dalam praktiknya, terdapat berbagai pertentangan antara kebijakan pemerintah dan prinsip ekonomi Pancasila. Pertama, ketika di masa Orde Lama terjadi pergeseran arah kebijakan ekonomi yang menjadi sosialis-komunis. Kedua, di masa Orde Baru, perekonomian di Indonesia juga kehilangan arah, tidak lagi berpegang pada nilai Pancasila, namun berubah menjadi 'agama pembangunan' yang membuat perekonomian amat didominasi oleh kalangan konglomerat dan elit tertentu (Mubyarto, 2004).
Di era reformasi pun tidak jauh berbeda. Sistem Ekonomi Pancasila semakin sulit dijalankan seiring dengan pergeseran ekonomi Indonesia yang menjadi lebih neoliberal.Â
Sejak masuknya bantuan IMF pada krisis ekonomi 1997, mau tidak mau peran negara diminimalkan, dan peran pasar semakin diperbesar. Ekonomi neoliberal yang kini dijalankan, meskipun malu-malu untuk memberikan pengakuan. Dari sini, dapat dipahami bahwa sekalipun Indonesia memiliki cita-cita besar yang seharusnya diwujudkan bersama, namun dalam praktiknya ada kondisi yang membuatnya menjadi utopis.
Simpulan
Dari berbagai penjabaran ini, dapat dipahami bahwa Indonesia memiliki sebuah konsepsi akan sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila ini dibangun berasaskan pada landasan filosofis, etika, moralitas, agama, dan ideologi bangsa.
Sayangnya, ide besar ini tenggelam oleh ketidakonsistenan arah pembangunan kita sendiri. Ekonomi kita pada masa Orde Lama dan Orde Baru lebih menyesuaikan dengan kepentingan penguasa. Setelah reformasi, ekonomi justru menjadi cenderung tunduk pada tren global dan tekanan internasional.Â
Hal itu menjadikan sistem ekonomi Pancasila ini dipandang oleh sementara tokoh sebagai ide utopis semata. Akan tetapi, bagi para pengusungnya, sistem ekonomi Pancasila adalah hal yang patut untuk diperjuangkan demi tanah air Indonesia.
Kita pun seolah tidak terlalu paham dengan Ekonomi Pancasila. Mendengarnya saja, kita jarang. Apalah lagi mengusungnya untuk kebijakan perekonomian nasional. Nah, momentum Hari Pancasila 1 Juni inilah, yang seharusnya menjadi tonggak, agar kita menggali kembali Ekonomi Pancasila.
Daftar Pustaka
Gunadi, Tom. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD '45. Bandung: Angkasa, 1983.
Ismail, Munawar, Dwi Budi Santosa, dan Ahmad Erani Yustika. Sistem Ekonomi Indonesia: Tafsiran Pancasila dan UUD 1945. Jakarta: Erlangga, 2014.
Mubyarto. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES, 1987.
Mubyarto. Revolusi Menuju Sistem Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2004.
Nataatmadja, Hidajat. "Karsa Membangun Ilmu Ekonomi Pancasila" dalam Ekonomi Pancasila, editor: Mubyarto dan Boediono. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, 1997.
Nataatmadja, Hidajat. "Penjelajahan di Dunia Filsafat Sebagai Bahan Perbandingan Untuk Melangkah Membangun Ekonomi Pancasila", dalam Wawasan Ekonomi Pancasila, editor: Abdul Madjid dan Sri Edi Swasono. Jakarta: UI Press, 1988.
Swasono, Sri Edi. Orientasi Ekonomi Pancasila, dalam Wawasan Ekonomi Pancasila, editor: Abdul Madjid dan Sri Edi Swasono. Jakarta: UI Press, 1988.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H