Setidaknya, terdapat tiga sumber inspirasi utama dari Ekonomi Pancasila. Pertama, inspirasi dari agama Islam. Didasarkan pada Surat An Nisa ayat 1 dan Al Hujurat ayat 10, Mubyarto (1987) berpendapat inilah yang menjadi landasan bahwa ekonomi Pancasila seharusnya berlandaskan pada asas kekeluargaan.Â
Selanjutnya, dalam memandang potensi sumber daya, Mubyarto melandaskannya pada surat Fushshilat ayat 10, menurutnya pandangan terhadap sumber daya bukanlah keterbatasan sumber daya, akan tetapi keterbatasan kemampuan manusia dalam mengelola sumber daya tersebut.
Kedua, bersumber dari ajaran Buddha. Berlandaskan pada kisah penggembalaan Lembu yang bermula dari mencari Sang Lembu, menemukan jejak Sang Lembu, menemukan Sang Lembu, menangkap Sang Lembu, menjinakkan Sang Lembu, membawa Sang Lembu ke kandang, Sang Lembu dilampau-rasakan, Sang Lembu dan Sang Diri, mencapai sumber, hingga berakhir di dunia Nirmanakaya, dapat dipahami bahwa kehidupan manusia di dunia memiliki tingkat kesadaran dari paria (ego) hingga Brahmana, dan kesadaran tertinggi itulah yang dikehendaki (Nataatmadja, 1997). Ketiga, bersumber dari ajaran Kejawen yang menghendaki bahwa berpikir tidak serta merta dengan akal, namun dengan hati nurani (Nataatmadja,1988).
Dari ketiga sumber ini, bisa dilihat bahwa aspek ekonomi dalam Pancasila tidak membatasi diri pada aspek material saja. Lebih daripada itu, aspek rohani pun mendapat perhatian khusus dalam Ekonomi Pancasila.Â
Beragamnya sumber inspirasi bagi jiwa Ekonomi Pancasila ini memang menggambarkan keanekaragaman bangsa Indonesia. Ajaran agama dan budaya melekat pada masyarakat Indonesia secara umum. Tapi, hal ini bukan menggambarkan bahwa ajaran Pancasila itu mencampur adukkan ajaran agama. Justru, Pancasila mengakomodasi berbagai ajaran agama itu.
Sosialisme Indonesia
Selain dari falsafah keagamaan, ada juga pandangan dari Mohammad Hatta mengenai Sosialisme Indonesia. Menurut Hatta, Sosialisme Indonesia itu dibangun berlandaskan tiga faktor utama. Pertama, sosialisme Indonesia muncul dari ajaran agama yang memerintahkan manusia untuk berperilaku adil, memiliki rasa persaudaraan, sikap tolong menolong, dan kemanusiaan (Swasono, 1988).Â
Dari sini, dapat dipahami bahwa terjadi perbedaan mendalam antara sosialisme yang dianut Indonesia dengan sosialisme yang diajarkan dari filsafat Barat. Di Barat, sosialisme terbentuk semata-mata karena melihat kondisi ketimpangan di masyarakat, sementara bagi Indonesia, sosialisme lahir dari ajaran luhur agama.
Kedua, sosialisme Indonesia lahir sebagai sebuah bentuk pemberontakan atas penjajahan, sebagaimana yang dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945, yakni untuk membentuk bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.Â
Ketiga, sosialisme Indonesia tidak berlandaskan pada filsafat materialisme sebagaimana yang ada di Barat, namun lahir dari tuntutan jiwa dan kehendak rakyat untuk mendirikan masyarakat yang adil dan makmur (Swasono, 1988). Karena itu, sosialisme Indonesia tidak murni mengedepankan sikap kolektivitas yang mematikan individu, melainkan menjadikan keduanya seiring sejalan.
Lebih lanjut lagi, sosialisme Indonesia menitikberatkan pada masalah keadilan sosial. Menurut Swasono (1988), keadilan sosial adalah titik tolak, mekanisme pengontrol, sekaligus tujuan dari pembangunan nasional. Karena itu, perekonomian nasional tidak boleh hanya mengarahkan pada pertumbuhan semata, namun harus juga memperhatikan aspek pemerataan pembangunan.Â