Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membaca Narasi Media

10 Mei 2017   10:14 Diperbarui: 10 Mei 2017   10:29 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: maxresdefault.com"][/caption]

Terkadang, kita sering terburu-buru menyimpulkan suatu masalah. Seolah tak mengapa, padahal ada apa-apa. Bahkan mungkin lebih rumit dari yang muncul di pemberitaan.

Tak semua hal yang muncul di permukaan tampil dalam wajah pemberitaan. Apalagi yang masih berada di dalam.

Kini, kita lihat bagaimana opini media massa bisa menggiring sekian banyak orang untuk mendukung atau bahkan menghina seseorang atau sekelompok massa. Padahal, sekali lagi, yang ditangkap media hanyalah permukaan. Itu pun yang mereka pilih memiliki "nilai berita".

Jangan sampai kita menjadi orang yang berpolos saja membaca berita. Tanpa bertanya lebih lanjut mengenai apa dan mengapa serta bagaimana. Padahal, itu perlu agar yang kita dapat tak hanya kulit. Namun juga isi.

Lihat saja dua berita besar yang menghebohkan tanah air dalam dua hari ini.

Kemarin, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dibubarkan pemerintah. Masyarakat umum yang hanya melihat melalui berita, hanya akan melihat, itu baik-baik saja. Padahal, bila mau menelisik lebih jauh justru itu menimbulkan masalah baru.

Apa dasar tuduhan terhadap HTI mengenai ancaman terhadap negara? Berita media massa? Jelaslah itu yang mereka beritakan. Sebab, HTI itu pun berbeda jauh paham dengan media. Ibarat spektrum, media mainstream ada di pangkal kiri dan HTI ada di pangkal kanan.

Saling memandang dari kejauhan hanya akan menimbulkan persepsi dan dugaan. Bukan menyentuh persoalan. Selama ini, sepengetahuan saya, belum pernah HTI mendapat muka tampil di media untuk menyatakan maksudnya. Yanng masyarakat tahu, HTI mengusung khilafah, dan khilafah itu anti pancasila. Itu hasil framing media massa.

Telisiklah lebih jauh. Mengasosiasikan HTI dengan radikalisme apalagi ISIS itu menurut saya kacau. Hanya karena sama-sama mengusung jargon khilafah, keduanya tak berada dalam sisi yang sama. Penafsiran keduanya mengenai khilafah berbeda.

Atau jangan-jangan kebencian hanya karena mereka membawa label agama? Sementara kita sendiri pun belum paham lebih lanjut agama yang kita anut? Apalagi bila berlainan kepercayaan?

Sekali lagi, jangan mudah digiring opini oleh media massa.

Saya, sampai saat ini, memang tidak setuju dengan khilafah yang disuarakan HTI. Apalagi yang disuarakan oleh ISIS. Kenyataannya, ketika HTI mencap haram terhadap demokrasi pun, masih mereka manfaatkan jalur demokrasi untuk mencapai tujuan mereka. Mereka yang tidak senang dengan konsep 'nation-state' pun masih mencantumkan 'indonesia' dalam namanya. Apa mungkin mereka mau melepas diri dari sistem westphalia yang berlaku saat ini?

Makanya, solusi untuk 'menjinakkan' HTI bukan dengan pembubaran. Tapi, dengan dialog, dan pendidikan. Kalau mereka terus menerus dipojokkan, apalagi dibubarkan, kebencian terhadap ornag yang berada dalam sistem yang sudah mereka tak sukai akan semakin menjadi. Menjauhkan mereka dari dialog dengan pemerintah, dan langsung memvonis mereka anti pancasila, hanya akan mengkristalkan ide mereka. Pun menambah simpati sebagian golongan yang tidak puas terhadap pemerintah kepada mereka.

Menurut saya, sikap pemerintah terhadap HTI kurang tepat.

Kedua, siang tadi, media kita ramai sekali mengabarkan, "Ahok divonis penjara dua tahun, dan langsung ditahan di rutan cipinang".

Lantas, simpatisan beliau, langsunglah berkoar-koar di media massa juga media sosial.

Mengatakan "kematian toleransi", "tekanan pada minoritas", dan hal-hal lain yang lebay dan tak perlu. Menggeneralisir kasus ahok adalah cobaan untuk toleransi pun sebuah hal yang aneh. Sebab, dia sendiri yang memulai, dan dia sendiri yang harus menanggung akibat ucapannya sendiri.

Mereka merasa sedih. Bahkan mencap orang-orang yang mendukung vonis itu sebagai anti keberagaman sampai intoleran. Sayangnya, narasi itu didukung oleh pemberitaan media semata. Yang lagi-lagi, hanya berkutat pada isu yang di permukaan.

Media massa, tentu banyak memotret perjalanan politik ahok. Dia menjadi media darling terdahsyat setelah presiden Jokowi pada pemilu 2014 lalu. Berita pun banyak memunculkannya. Mulai dari hal yang penting seperti rapat anggaran, hingga yang tak perlu seperti berita dia jalan ke kantor.

Pemberitaan ini, sayangnya, menarasikan hal positif beliau tanpa perimbangan. Bahkan, ketika beliau berkata kasar dan mencaci maki pun, dinarasikan tak mengapa. Sebab, ada narasi besar yang dibawakan. Yakni, dia anti korupsi.

Sayangnya lagi, narasi 'anti korupsi' itu terus ditebarkan. Dengan menutupi hal-hal yang memungkinkan kritik atas narasi itu. Seperti, kasus sumber waras, reklamasi, dan yang terbaru, penggunaan dana swasta untuk pembangunan jalan layang semanggi.

Mungkin, secara logika sederhana, apa yang dilakukan itu, yakni menggunakan dana swasta untuk membangun proyek infrastruktur pemerintah, adalah hal hebat. Sayangnya, hal itu tidak didukung oleh hukum yang kuat. Proyek pemerintah, seharusnya menggunakan dana APBD, sehingga bisa diaudit oleh BPK. Sekalipun harus menggunakan dana swasta, harus ada mekanisme tersendiri, seperti lelang, untuk menggunakannya. Tidak bisa asal tunjuk oleh kepala daerah.

Memang, yang dilakukan beliau sudah baik. Sayangnya, lubang kritik pada beliau seolah ditutup oleh narasi pencitraan beliau.

Pun, dalam kasus penistaan agama. Kasus penistaan agama menjadi dibenturkan dengan hal yang tak perlu. Penistaan agama dibandingkan dengan kinerja gubernur itu tak cocok. Penistaan agama dibandingkan dengan anti korupsi pun tak nyambung. Penistaan agama dibela dengan keluarga angkatnya yang muslim pun tidak pas.

Jika hal itu yang masih dilakukan sebagai pembelaan, maka jelas, narasi pemberitaan telah membiaskan fokus pembahasan. Penistaan agama, bukan kinerja gubernur.

Kasus ini sebenarnya bisa jelas, bila narasi media tak mengaburkan. Pelakunya adalah beliau, sudah dianggap menista agama oleh otoritas keagamaan yang menjadi korban, dan tidak ada urusan dengan pemerintahan.

Begitu pula dengan massa yang kontra, masih ada yang tertutup narasi media, atau mungkin, kabar hoax.

Mungkin ini akibat dari sistem pemilu yang saya pernah pertanyakan akhir tahun lalu. Apa benar ini baik-baik saja?

Sistem pemilu yang memilih satu pihak dan menegasikan pihak lain, menimbulkan sebuah kondisi yang saling mengontraskan. Memilih X berarti menolak Y, dan memilih X berarti setuju sepenuhnya dengan X dan tidak setuju seluruhnya dengan Y.

Tentu, ini kacau.

Misal, ada orang yang tidak memilih Ahok karena agama, bukan berarti dia tidak puas dengan kinerjanya. Sebab, kinerjanya, berdasarkan apa yang dinarasikan media, memuaskan. Padahal, ada hal lain yang dimaksud dan diutamakan oleh pemilih. Ia mendahulukan agamanya daripada kepuasan lahir. Dan ini sah-sah saja, sebab setiap orang, seharusnya, bebas memilih dan bebas memiliki pertimbangan dalam memilih.

Sekali lagi, jangan sampai kita dikacaukan oleh media massa.

Apa yang terungkap di media, mungkin merupakan fakta. Namun bukan keseluruhan fakta. Ada fakta lain yang belum diungkap media. Sebab, bisa jadi itu tidak menguntungkan bagi narasi besar yang dia visikan, atau bisa jadi juga, itu tidak menguntungkan dari segi finansial. Kita pun mafhum, media amat bergantung pada keuntungan komersial.

Jadi, mari ambil hikmah dari kedua kejadian ini. Jangan mudah percaya dengan media massa. Begitu pula dengan tulisan-tulisan orang lain, termasuk mungkin tulisan ini. Kritisi, dan gunakan nurani. Mencari kebenaran di era banjirnya informasi itu seperti mencari cahaya lampu yang 100 watt di antara lampu 90 watt. Sulit, tapi bukan tak mungkin.

Seimbangkan proporsi akal, hati, dan emosi. Jangan sampai salah satunya mendominasi. Apalagi dalam membaca berita di masa kini. Janganlah sampai akal terhasut, emosi tersulut. Jernihkan dahulu hati dan pikiran, baru keluarkan tindakan baik oleh tangan, lisan, maupun tulisan.

So, bukan tak mungkin kita mendapat kebenaran. Carilah dengan akal dan nurani. Di sanalah akan kita temukan kebenaran yang hakiki. Bukan sekadar kebenaran yang diajukan media massa. Tetapi, menggali kebenaran yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun