[caption caption="Sumber: maxresdefault.com"][/caption]
Terkadang, kita sering terburu-buru menyimpulkan suatu masalah. Seolah tak mengapa, padahal ada apa-apa. Bahkan mungkin lebih rumit dari yang muncul di pemberitaan.
Tak semua hal yang muncul di permukaan tampil dalam wajah pemberitaan. Apalagi yang masih berada di dalam.
Kini, kita lihat bagaimana opini media massa bisa menggiring sekian banyak orang untuk mendukung atau bahkan menghina seseorang atau sekelompok massa. Padahal, sekali lagi, yang ditangkap media hanyalah permukaan. Itu pun yang mereka pilih memiliki "nilai berita".
Jangan sampai kita menjadi orang yang berpolos saja membaca berita. Tanpa bertanya lebih lanjut mengenai apa dan mengapa serta bagaimana. Padahal, itu perlu agar yang kita dapat tak hanya kulit. Namun juga isi.
Lihat saja dua berita besar yang menghebohkan tanah air dalam dua hari ini.
Kemarin, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dibubarkan pemerintah. Masyarakat umum yang hanya melihat melalui berita, hanya akan melihat, itu baik-baik saja. Padahal, bila mau menelisik lebih jauh justru itu menimbulkan masalah baru.
Apa dasar tuduhan terhadap HTI mengenai ancaman terhadap negara? Berita media massa? Jelaslah itu yang mereka beritakan. Sebab, HTI itu pun berbeda jauh paham dengan media. Ibarat spektrum, media mainstream ada di pangkal kiri dan HTI ada di pangkal kanan.
Saling memandang dari kejauhan hanya akan menimbulkan persepsi dan dugaan. Bukan menyentuh persoalan. Selama ini, sepengetahuan saya, belum pernah HTI mendapat muka tampil di media untuk menyatakan maksudnya. Yanng masyarakat tahu, HTI mengusung khilafah, dan khilafah itu anti pancasila. Itu hasil framing media massa.
Telisiklah lebih jauh. Mengasosiasikan HTI dengan radikalisme apalagi ISIS itu menurut saya kacau. Hanya karena sama-sama mengusung jargon khilafah, keduanya tak berada dalam sisi yang sama. Penafsiran keduanya mengenai khilafah berbeda.
Atau jangan-jangan kebencian hanya karena mereka membawa label agama? Sementara kita sendiri pun belum paham lebih lanjut agama yang kita anut? Apalagi bila berlainan kepercayaan?