Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi dan Generasi Sandwich

8 Januari 2017   12:30 Diperbarui: 8 Januari 2017   12:35 1657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Privatisasi sektor kesehatan dan pendidikan menjadi penyebab utama mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan. Di Amerika Serikat, terutama sebelum adanya sistem jaminan kesehatan Obamacare, biaya kesehatan merupakan salah satu biaya yang paling memberatkan finansial keluarga. Hal ini utamanya disebabkan oleh privatisasi, sehingga tak ada peran langsung dari pemerintah untuk mengatur harga layanan kesehatan.

Sebagai perbandingan, menurut data dari Vox, biaya yang harus dikeluarkan untuk rawat inap per hari di Amerika Serikat adalah 5.220 Dollar AS, sedangkan di Australia hanya sekitar 765 Dollar AS. Biaya melahirkan di Amerika Serikat pun mencapai 10.808 Dollar AS, dua kali lipat dibandingkan Australia yang sebesar 5.302 Dollar AS, yang sebenarnya pun sudah cukup tinggi. Tentu jumlah yang sangat tinggi dan akan menyulitkan bagi orang yang harus mengalami sakit yang membutuhkan penanganan serius seperti kanker ataupun diabetes.

Di bidang pendidikan, biaya pun kelewat mahal. Sebagai perbandingan, menurut data dari CNBC, biaya kuliah per semester di tahun 2015 adalah sekitar 45.278 Dollar AS di Harvard. Sedangkan, pada tahun 1971, hanya berkisar di angka 700 – 2.600 Dollar AS. Dapat dilihat bagaimana biaya pendidikan meningkat begitu pesat dan diprediksi akan terus meningkat seiring dengan tingginya tuntutan di bidang riset ilmiah.

Kedua biaya ini rupanya membuat generasi sandwich yang hidup terhimpit di antara dua generasi menjadi sulit. Bila tanpa adanya pengaturan keuangan yang tepat, kesehatan dan pendidikan akan terkorbankan. Padahal, kesehatan dan pendidikan merupakan dua kebutuhan yang sangat mendasar bagi masyarakat saat ini. Padahal, di sisi lain, orang-orang yang berada di generasi sandwich inipun harus memikirkan bagaimana persiapan menghadapi masa tuanya agar tidak lagi menyebabkan generasi berikutnya sebagai penanggung beban.

Bonus demografi dan generasi sandwich

Lantas, apa hubungan antara bonus demografi dan generasi sandwich?

Tak dapat dipungkiri, generasi sandwich merupakan generasi yang berusia 40-an tahun dan berada di usia produktif. Bonus demografi pun akan memunculkan banyak penduduk kita di usia tersebut. Rasanya, bila kita kini hanya berfokus pada penciptaan lapangan pekerjaan sebagai jawaban atas besarnya penduduk di usia produktif hanya akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Bukan tidak mungkin, generasi sandwich akan terbentuk karena masyarakat yang berada di usia produktif ini tak memikirkan biaya hari tua dan pendidikan anaknya.

Dua problem utama dari generasi sandwich adalah pendidikan dan kesehatan. Sedangkan, bila kita melihat kondisi Indonesia, faktor pendidikan dan kesehatan pun masih banyak bermasalah. Di bidang pendidikan, mulai dari dasar hingga tinggi masalahnya masih berkutat pada ketidakmerataan infrastruktur, kesenjangan antara Jawa dan non-Jawa, dan biaya yang tinggi. Di universitas milik pemerintah, misalnya masih ada mahasiswa yang harus mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah untuk kuliah di kedokteran. Di sisi lain, jurusan-jurusan pendidikan kurang diminati oleh sebagian besar siswa karena dianggap ‘tidak menjanjikan masa depan yang baik’.

Pada sektor kesehatan, BPJS Kesehatan yang digadang-gadang akan memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat pun tak berjalan mulus. Mekanisme yang masih belum tertata rapi, kurangnya komunikasi antara dokter dan pembuat kebijakan, hingga ketelantaran pasien di rumah sakit masih menghiasi layar berita. Sebagian dokter protes karena biaya yang pemerintah berikan untuk pelayanan kesehatan dan upah bagi dokter terlampau kecil dan tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Di sisi lain, dokter pun harus mencukupi biaya hidupnya dan menutupi biaya kuliah yang terlampau mahal itu.

Tentu, pemerintah belum bisa hadir untuk melayani semua lapisan masyarakat untuk dua kebutuhan ini. Sektor swasta pun menawarkan berbagai alternatif bagi kedua kebutuhan ini. Di bidang pendidikan, bila kita melihat di Jakarta, sekolah swasta menjadi pilihan bagi kalangan menengah-atas untuk memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Alasannya, sekolah swasta banyak yang menawarkan fasilitas bagi peserta didiknya, seperti kelas yang ber-AC, guru-guru yang digaji lebih tinggi, dan keamanan yang lebih terjamin. Hal ini tentu akan berimplikasi pada naiknya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tuanya.

Di sisi lain, pada bidang kesehatan, penyakit seperti kanker, jantung, dan diabetes masih menduduki penyebab kematian dengan angka yang tinggi. Tentu, hal ini memuktikan bahwa penyakit tak menular menjadi penyebab kematian tertinggi. Penyebab utama dari penyakit tak menular ini pun kembali pada gaya hidup. Rokok dan stress akibat pekerjaan berperan besar bagi penyakit ini. Pada usia lanjut, penyakit ini bila harus membutuhkan perawatan intensif, tentu akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun