Menarik dengan apa yang dikatakan Bapak Irwan, Guru saya sewaktu di SMA pada beberapa waktu yang lalu. Beliau memperkenalkan sebuah istilah yang cukup asing di telinga kita. Generasi Sandwich. Saya pun sekarang semakin penasaran dengan istilah itu seiring dengan menghangatnya diskusi mengenai bonus demografi yang sedang Indonesia alami saat ini.
Bonus demografi
Dalam lima tahun terakhir, perbincangan di dunia sosial kita ramai dengan istilah bonus demografi. Indonesia disebut-sebut akan mengalami masa bonus demografi ini tak lama lagi. Bonus demografi dikatakan sebagai sebuah masa emas suatu negara yang tak selamanya didapatkan oleh setiap negara. Maka, guna mengoptimalkan apa yang disebut sebagai ‘bonus demografi’ ini, rakyat Indonesia harus memperbaiki kualitas sumber daya manusia yang dimiliki.
Bonus demografi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan kependudukan suatu negara yang mana banyaknya penduduk usia produktif (15-65 tahun) melebihi penduduk yang berada di usia non produktif (di bawah 15 dan di atas 65 tahun). Kondisi ini didapat ketika angka kelahiran penduduk dan angka kematian penduduk di suatu negara dapat dikendalikan. Biasanya bonus demografi ini terjadi setelah negara tersebut mengalami era yang disebut sebagai ‘baby boom’ alias ledakan angka kelahiran. Setelah mencapai kestabilan, muncullah era bonus demografi.
Menurut data dari BPS, Indonesia telah mulai mengalami masa bonus demografi ini sejak tahun 2012 dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2028-2030. Masa-masa ini perlu diperhatikan oleh pemerintah sehingga besarnya penduduk di usia produktif ini tidak menjadi bom waktu bagi Indonesia. Banyaknya penduduk di usia produktif tetapi bila tidak diiringi dengan meningkatnya produktivitas masyarakat kita akan membuat masalah baru di kemudian hari.
Pengalaman akan bonus demografi rupanya sudah dialami oleh negara lain. Salah satu contoh sukses dari pengalaman ini ialah Jepang yang sukses memanfaatkan masa bonus demografinya sehingga dapat mencapai kemajuan seperti saat ini. Pada masa setelah perang dunia kedua, Jepang mengalami era baby boom, meski tak seberapa lama. Setelah era baby boom tersebut lewat, mulailah Jepang mengalami peningkatan produktivitas pekerja secara signifikan. Industrialisasi menumbuhkan inovasi. Di samping itu, kualitas hidup pun meningkat seiring dengan baiknya layanan kesehatan. Pada akhirnya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai tingkat kemapanan yang cukup signifikan.
Generasi Sandwich
Istilah ‘bonus demografi’ mungkin sudah cukup familier di kalangan kita. Namun, bagaimanakah dengan istilah ‘generasi sandwich’? Pernahkah pembaca mendengar istilah itu?
Saya pun baru mengetahui istilah tersebut setelah diberitahu oleh guru saya. Saya kemudian mencari berbagai data dan berita apa sebenarnya yang dimaksud beliau sebagai ‘generasi sandwich’.
Rupanya, generasi sandwich adalah istilah yang menggambarkan keadaan sebuah generasi yang berada pada usia produktif dan harus menghidupi anaknya dan orang tuanya. Dengan istilah lain, satu generasi yang harus menanggung beban generasi di atasnya yang telah melewati masa produktif dan satu generasi di bawahnya yang belum memasuki masa produktif. Fenomena ini banyak terjadi di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Australia.
Tanggungan beban yang dihadapi oleh generasi sandwich ini dapat dikatakan besar. Menanggung biaya orang tua berarti harus menyiapkan anggaran untuk biaya kesehatan. Sedangkan menanggung biaya anak berarti harus menyiapkan anggaran pendidikan. Kedua biaya ini, di negara seperti Amerika Serikat, sangatlah mahal.
Privatisasi sektor kesehatan dan pendidikan menjadi penyebab utama mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan. Di Amerika Serikat, terutama sebelum adanya sistem jaminan kesehatan Obamacare, biaya kesehatan merupakan salah satu biaya yang paling memberatkan finansial keluarga. Hal ini utamanya disebabkan oleh privatisasi, sehingga tak ada peran langsung dari pemerintah untuk mengatur harga layanan kesehatan.
Sebagai perbandingan, menurut data dari Vox, biaya yang harus dikeluarkan untuk rawat inap per hari di Amerika Serikat adalah 5.220 Dollar AS, sedangkan di Australia hanya sekitar 765 Dollar AS. Biaya melahirkan di Amerika Serikat pun mencapai 10.808 Dollar AS, dua kali lipat dibandingkan Australia yang sebesar 5.302 Dollar AS, yang sebenarnya pun sudah cukup tinggi. Tentu jumlah yang sangat tinggi dan akan menyulitkan bagi orang yang harus mengalami sakit yang membutuhkan penanganan serius seperti kanker ataupun diabetes.
Di bidang pendidikan, biaya pun kelewat mahal. Sebagai perbandingan, menurut data dari CNBC, biaya kuliah per semester di tahun 2015 adalah sekitar 45.278 Dollar AS di Harvard. Sedangkan, pada tahun 1971, hanya berkisar di angka 700 – 2.600 Dollar AS. Dapat dilihat bagaimana biaya pendidikan meningkat begitu pesat dan diprediksi akan terus meningkat seiring dengan tingginya tuntutan di bidang riset ilmiah.
Kedua biaya ini rupanya membuat generasi sandwich yang hidup terhimpit di antara dua generasi menjadi sulit. Bila tanpa adanya pengaturan keuangan yang tepat, kesehatan dan pendidikan akan terkorbankan. Padahal, kesehatan dan pendidikan merupakan dua kebutuhan yang sangat mendasar bagi masyarakat saat ini. Padahal, di sisi lain, orang-orang yang berada di generasi sandwich inipun harus memikirkan bagaimana persiapan menghadapi masa tuanya agar tidak lagi menyebabkan generasi berikutnya sebagai penanggung beban.
Bonus demografi dan generasi sandwich
Lantas, apa hubungan antara bonus demografi dan generasi sandwich?
Tak dapat dipungkiri, generasi sandwich merupakan generasi yang berusia 40-an tahun dan berada di usia produktif. Bonus demografi pun akan memunculkan banyak penduduk kita di usia tersebut. Rasanya, bila kita kini hanya berfokus pada penciptaan lapangan pekerjaan sebagai jawaban atas besarnya penduduk di usia produktif hanya akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Bukan tidak mungkin, generasi sandwich akan terbentuk karena masyarakat yang berada di usia produktif ini tak memikirkan biaya hari tua dan pendidikan anaknya.
Dua problem utama dari generasi sandwich adalah pendidikan dan kesehatan. Sedangkan, bila kita melihat kondisi Indonesia, faktor pendidikan dan kesehatan pun masih banyak bermasalah. Di bidang pendidikan, mulai dari dasar hingga tinggi masalahnya masih berkutat pada ketidakmerataan infrastruktur, kesenjangan antara Jawa dan non-Jawa, dan biaya yang tinggi. Di universitas milik pemerintah, misalnya masih ada mahasiswa yang harus mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah untuk kuliah di kedokteran. Di sisi lain, jurusan-jurusan pendidikan kurang diminati oleh sebagian besar siswa karena dianggap ‘tidak menjanjikan masa depan yang baik’.
Pada sektor kesehatan, BPJS Kesehatan yang digadang-gadang akan memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat pun tak berjalan mulus. Mekanisme yang masih belum tertata rapi, kurangnya komunikasi antara dokter dan pembuat kebijakan, hingga ketelantaran pasien di rumah sakit masih menghiasi layar berita. Sebagian dokter protes karena biaya yang pemerintah berikan untuk pelayanan kesehatan dan upah bagi dokter terlampau kecil dan tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Di sisi lain, dokter pun harus mencukupi biaya hidupnya dan menutupi biaya kuliah yang terlampau mahal itu.
Tentu, pemerintah belum bisa hadir untuk melayani semua lapisan masyarakat untuk dua kebutuhan ini. Sektor swasta pun menawarkan berbagai alternatif bagi kedua kebutuhan ini. Di bidang pendidikan, bila kita melihat di Jakarta, sekolah swasta menjadi pilihan bagi kalangan menengah-atas untuk memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Alasannya, sekolah swasta banyak yang menawarkan fasilitas bagi peserta didiknya, seperti kelas yang ber-AC, guru-guru yang digaji lebih tinggi, dan keamanan yang lebih terjamin. Hal ini tentu akan berimplikasi pada naiknya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tuanya.
Di sisi lain, pada bidang kesehatan, penyakit seperti kanker, jantung, dan diabetes masih menduduki penyebab kematian dengan angka yang tinggi. Tentu, hal ini memuktikan bahwa penyakit tak menular menjadi penyebab kematian tertinggi. Penyebab utama dari penyakit tak menular ini pun kembali pada gaya hidup. Rokok dan stress akibat pekerjaan berperan besar bagi penyakit ini. Pada usia lanjut, penyakit ini bila harus membutuhkan perawatan intensif, tentu akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Bagi generasi sandwich yang hidup di antara kedua kebutuhan ini, tentu menjadi sangat berat. Produktivitas mereka pun selama ini kurang bisa maksimal akibat kemacetan yang membuat mereka harus menghabiskan waktu lama di jalan. Di sisi lain, kebutuhan seperti BBM, sembako, dan perumahan terus meningkat setiap tahun. Padahal, gaji yang diterima, bila bukan karyawan yang memiliki gaji tetap dan jabatan yang tinggi, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
 Kini, Indonesia sedang mengalami masa bonus demografi yang tentunya juga akan meningkatkan jumlah orang-orang yang berada di generasi sandwich. Bila generasi sandwich ini tidak mampu mengelola keuangannya dengan baik, tentu akan berakibat fatal bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Tentu, kita berharap pemerintah dapat memperbaiki kondisi pendidikan dan kesehatan agar lebih terjangkau tanpa mengorbankan kualitasnya.
Pada akhirnya, bonus demografi ini tetap menjadi tantangan bagi kita, terutama yang mejadi bagian dari generasi sandwich. Agar tidak lagi berada pada dua tekanan dari generasi atas dan bawah, tentu perlu ada perbaikan dalam pengelolaan keuangan, seperti mengikuti asuransi dan jaminan hari tua agar tak menjadi beban bagi generasi berikutnya. Meski saya cukup yakin, karena istilah ini pun tak begitu populer di sini, orang-orang yang berada pada generasi sandwich dapat melaluinya dengan baik. Dan saya berharap, istilah 'generasi sandwich' dapat tempat lebih banyak di dalam berbagai diskuis keseharian kita.
Bacaan lebih lanjut: 1, 2, 3, 4 dan 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H