Pencaplokan yang pada awalnya berskala kecil, yakni dengan merampas rumah rumah penduduk Palestina, hingga kemudian meluas menjadi wilayah-wilayah pendudukan yang dikuasai secara sepihak oleh Israel. Bukankah sebelum 7 Oktober terjadi, Israel dengan percaya diri membangun proyek pemukiman besar besaran untuk ditempati warganya di atas tanah milik Palestina?
Sehingga kita akhirnya memahami, luka di atas luka yang dialami Palestina itulah yang membangkitkan peristiwa Banjir Al Aqsa di 7 Oktober. Bukankah Juru Bicara Sayap Militer Hamas, Al Qassam, Abu Ubaeda, di masa silam adalah bocah cilik yang ayahnya dibunuh saat rumahnya dirampas paksa oleh tentara Israel?
Benarkah Hamas teroris?
Pernahkah anda membayangkan. Ketika anda dalam kehidupan yang tentram, tenang, namun kemudian tiba-tiba datang orang asing yang menumpang hidup di rumah anda.Â
Pada awalnya hanya menumpang di kamar belakang. Tapi kemudian ia tiba-tiba merangsek masuk menguasai semua ruangan, menempati kamar anak anda, memenjarakan anak anda karena berani menolak permintaannya. Kemudian menembak mati anggota keluarga anda yang lain, demi dapat menempati setiap kamar di rumah anda.Â
Dengan beraninya menyeret dan menampar istri anda ketika berusaha membela hak keluarga dan anak-anaknya. Bagaimana perasaan anda melihat keluarga anda diperlakukan sedemikian rupa, hingga akhirnya anda sendiri yang diusir dari rumah anda?
Hanya mereka yang "mati rasa" membiarkan semua terjadi. Namun jika anda masih memiliki akal waras, menyadari hak, dan memiliki hati nurani. Sudah pasti anda bangkit untuk melawan dan membela rumah dan keluarga anda..Â
Namun karena orang yang menumpang di rumah anda telah mneguasai seluruh rumah, bahkan tindakannya didukung oleh tetangga-tetangga anda yang mudah dipengaruhi. Maka anda berjuang sendiri, anda tak mempunyai pembela satupun. Hingga akhirnya anda dicap sebagai pengganggu (teroris) dan harus diusir dari rumah anda sendiri, sebab dianggap tidak cakap mengelola rumah serta  selalu mengganggu kehidupan  si orang numpang. Adilkah itu?
Demikain juga logika warga Palestina. Siapa pun mereka, entah Islam, entah Kristen, asalkan warga Palestina, itulah yang menjadi sasaran kebencian Israel. Sebab warga Plalestina dianggap sebagai penghalang perluasan wilayah zionis yang diidam-idamkan sejak lama menjadi sebuah peradaban baru.
Mungkin ada benarnya ketika Presiden Ukraina, Vledemir Zolinzky, menyebut apa yang dialami warga Ukraina berbeda dengan warga Palestina. Jelas berbeda, sebab warga Palestina tak bisa merayakan Natal, sedangkan warga Ukraina masih bisa merayakan natal, karena Rusia masih memiliki hati nurani tidak memborbardir habis negara Ukraina.
Jumlah korban tewas mengingatkan korban HolocaustÂ