Menenangkan
Sudah seharusnya seorang guru memiliki ketenangan jiwa yang memadai, sehingga dapat berperan sebagai peneduh jiwa bagi siswanya. Sebab anak korban perceraian selalu menyalahkan dirinya sendiri, ia merasa sebagai penyebab perceraian keduaorangtuanya.Â
Dalam beragam kasus, anak kerap memposisikan dirinya sebagia penyebab timbulnya perceraian. Mungkin karena ia nakal, bandel, sehingga ia beranggapan kelahirannya adalah pembawa bencana. Apalagi bila kedua orangtuanya selalu menyalahkan dirinya, sebab kadang ortu yang bercerai kurang dapat bertindak rasionil, keinginan menyindir pasangan, berubah menjadi pertarungan emosi yang menimpa anak juga. Anak yang dalam posisi belum stabil jiwa dan emosinya berada pada posisi yang bingung harus berdiri di pihak mana.Â
Itulah mengapa dalam peristiwa perceraian, anak-anak sering harus cepat menentukan pilihanya dalam memihak, sebab ia berpikir harus melanjutkan kehidupan.
Bagi anak yang lebih mengutamakan materi untuk melanjutkan hidupnya, maka ia akan lebih memilih bersama ortu yang lebih mapan ekonominya. Namun bagi anak dengan pilihan ketenangan emosi dan kenyamanan jiwa, pastilah memilih orangtua yang lebih memahami, menyayangi, serta enak diajak curhat.
Oleh karena itu, guru harus memposisikan diri sebagai sebuah kepribadian yang tenang, sehingga siswa tidak ragu untuk mengungkapkan keadaannya terhadap sang guru.
Â
Meredam emosinya
Dalam menghadapi siswa korban perceraian, guru haruslah menjadi sosok yang tidak mudah tersulut emosinya. Saat mendengarkan cerita dan keluh kesah siswanya, guru harus netral dalam mendengarkan, tanpa harus memihak atau pun menyalahkan pihak lain.
Ketika emosi siswa teredam, maka guru akan semakin mudah menguak dan mengungkap permasalahn siswa, sehingga cepat menemukan titik penyelesaiannya. Dengan penyelesaian permasalahan tepat dan cepat, maka kasus tidak akan merembet kemana-mana, ibarat api yang bila kian besar dapat meluluhlantakkan bangunan kokoh sekali pun.
Berperan sebagai pengganti orangtuanya