Masalah pelaksanaannya hanya guru yang tahu, sebab guru yang banyak berada di lapangan, berhadapan dengan penikmat-penikmat ilmu yakni siswa, sehingga gurulah yang paling banyak tahu tentang metode ramuan pendidikan yang diperlukan.
Kurikulum Merdeka terfokus pada siswa, memanusiakan siswa, yang tentu saja mengingatkan kita pada ajaran Ki Hajar Dewantara, Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Guru jangan hanya banyak bicara, tapi berilah contoh, semangat, dan hasil yang mumpuni.Â
Guru yang mengayomi dan melindungi siswa sepenuh hati akan melahirkan siswa-siswa yang berhati tulus, serta menghargai kehidupan di sekitarnya, menghormati rasa-rasa kemanusiaan, menjauhkan adanya kekerasan, sehingga terjalin keharmonisan dalam pendidikan kemarin, hari ini, dan nanti.
Siswa tidak lagi menjadi kerbau yang dicocok hidungnya, dipaksa menjejalkan berbagai macam ilmu tapi tidak memahami manfaat dan tujuannya.Â
Ibarat menyuapi anak, sedikit demi sedikit namun berhasil guna, bukan menjejalkan makanan sampai muntah, tapi anak tak mengerti manfaat dan tujuan makan
Selain diterapkan pada jenjang sekolah TK, SD, SMP, hingga SMA, demikian juga pada perguruan tinggi, Kurikulum Merdeka terwujud dalam konsep Kampus Merdeka.
Kampus Merdeka memberikan kesempatan bagi mahasiswa memiliki pengalaman belajar lain di luar program studinya.Â
Hak belajar tiga semester di luar program studi akan membuat mahasiswa dapat memilih bentuk kegiatan pembelajaran seperti: pertukaran pelajar, magang/praktik kerja, asistensi mengajar di satuan pendidikan, penelitian/riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi/proyek independen, serta membangun desa/kuliah kerjanyata tematik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H