Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ternyata PNS dan Honorer Memang Beda Kasta

23 Januari 2022   20:29 Diperbarui: 23 Januari 2022   20:47 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi guru honorer (pic: kabarbaru.co)

Pasal 8 PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil serta Pasal 96 PP No. 49/2018 tentang Manajemen PPPK termaktub jelas adanya larangan perekrutan tenaga honorer

Pemerintah tampaknya sedang pusing tujuh keliling memikirkan tenaga honorer, akibatnya mulai 2023 akan  meniadakan tenaga honorer. Berbagai permasalahan yang bertubi, hingga adanya unjuk rasa beberapa waktu lalu, saat para honorer menyampaikan tuntutannya agar diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal inilah nampaknya yang kian membulatkan tekat pemerintah untuk mengambil keputusan tegas meniadakan tenaga honorer.

Wacana penghapusan tenaga honorer yang disampaikan langsung Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahyo Kumolo, menegaskan bahwa status pegawai pemerintah nanti di 2023 hanya ada dua saja, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Yang keduanya disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Adapun beberapa pekerjaan di instansi pemerintahan, seperti petugas keamanan dan kebersihan, akan dipenuhi melalui tenaga alihdaya melalui pihak ketiga atau pekerja outsourcing.

Sanksi bagi instansi perekrut honorer

Jika kita melihat dari sisi pemerintah, memang permasalahan tenaga honorer bukankah urusan yang mudah, sebab keharusan  menyuapi banyak mulut selain PNS sendiri, adalah merupakan beban tersendiri bagi pemerintah, apalagi di saat negara kita dihimpit betbagai permasalahan ekonomi akibat pandemi.

Tetapi apabila kita melihat dari kacamata tenaga honorer, peniadaan tenaga honorer merupakan tamparan keras, seperti memutus air mengalir di tengah kehausan, sebab selain menggantungkan nasib melalui pengangkatan PPPK, ternyata masih banyak honorer-honorer lain yang menunggu keberuntungan agar diangkat menjadi PNS. 

Meskipun kabarnya sejak awal 2022 keberadaan tenaga honorer sudah sangat berkurang jauh, itulah yang menjadi alasan pemerintah menghapuskannya di 2023.

Keinginan kuat pemerintah untuk menuntaskan permasalahan tenaga honorer di 2023 patut diapresiasi, sebab tampaknya pemerintah tidak mau lagi berkelindan dalam tuntutan tenaga honorer yang ingin menjadi PNS, karena PNS sendiri disaat pemerintah mengalami krisis keuangan terkadang harus kurang tunjangan daerahnya , apalagi bila harus ditambah dengan memikirkan tambahan nasib honorer.

Masyarakat umum terkadang  sering kurang mafhum tentang penyebab tenaga honorer tak pernah habis dan tak ada hentinya. Seandainya mereka cermat mengamati, banyaknya perguruan tinggi yang menelorkan ribuan lulusannya, tentunya otomatis harus berjuang dengan banyak persaingan agar dapat memperoleh masa depan dalam pekerjaan. 

Sehingga dengan cara yang tak kenal lelah, menjadi tenaga honorer dengan gaji minim pun mereka jalani, sebab ternyata kadang terbukti apabila perjuangan dan nasib baik memihak, maka cita-cita menjadi PNS pun dapat tergapai.

Rekrutmen tenaga honorer yang tak berkesudahan oleh instansi pemerintah daerah mengakibatkan tenaga honorer tak pernah habis, selalu ada, selalu terisi, ibarat air mengalir, mereka tak pernah terhenti. Perguruan Tinggi ataupun Sekolah mencetak lulusannya, kemudian instansi-instansi pemerintah siap menerimanya karena kesediaan tenaga honorer digaji minim. 

Hal tersebut menjadi sebuah  ketergantungan karena kantor pemerintah juga perlu menghemat anggaran. Bahkan dengan sistem koneksi ataupun kekerabaan, timbullah kepercayaan untuk mempekerjakan para honorer.

Padahal kalau kita amati kembali Pasal 8 PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, serta Pasal 96 PP No. 49/2018 tentang Manajemen PPPK, termaktub jelas adanya larangan perekrutan tenaga honorer. 

Sehingga Kementerian PANRB bersama sejumlah instansi pusat seperti Kemendikbud dan Kementerian Kesehatan berkali-kali menghimbau pemerintah daerah (pemda), agar intens menghitung kebutuhan PPPK sebagai pengganti tenaga honorer, dan akan memberi sanksi bagi instansi yang masih merekrut tenaga honorer. 

Perbedaan kasta PNS dan Honorer

Sudah jamak terjadi pada instansi -instansi pemerintahan, terutama instansi pendidikan, perbedaan kasta antara PNS dengan honorer sering menimbulkan kecemburuan sosial. 

Honorer yang telah lama mengabdi, bahkan bisa berpuluh tahun, tiba-tiba berada dalam satu lingkup kerja dengan PNS baru, yang tentu saja dilimpahi segala macam tunjangan beserta gaji, bisa ditebak akan menimbulkan kecemburuan sosial. 

Meskipun terkadang kecemburuan itu hanya dipendam dalam hati, namun lama kelamaan dapat meledak ke permukaan jika kedua belah pihak tidak mampu mengendalikan diri.

Salah satu contoh kejadian yang sempat panas beberapa waktu lalu hingga menjadi perbincangan hangat, yaitu beredarnya pesan berantai dalam group medsos. 

Pesan pedas yang tak ketahuan pengirim awalnya itu, menyindir para guru PNS tua yang gagap tekhnologi, sehingga segala tetrk bengek keperluan administratif tunjangan profesi yang berkaitan dengan dunia maya dilakukan oleh tenaga administrasi honorer hingga tuntas. 

Namun saat tunjangan profesi keluar, tenaga administrasi yang membantu hanya diberi uang sekedarnya saja, yang menurut si penulis pesan berantai sangat tak sebanding dengan besarnya jumlah tunjangan yang diperoleh si guru PNS, sehingga menimbulkan kesan negatif bahwa guru PNS yang gatek tak tahu diri memeras tenaga orang dengan tidak manusiawi.

Memang bukan rahasia umum lagi dalam institusi pendidikan, saat guru-guru yang berstatus PNS menerima tunjangan profesi, pastinya mereka dilanda euforia sehingga saling memberitahu satu sama lain, yang tanpa mereka sadari membuat hiruk pikuk group medsos sekolah, padahal yang bergabung didalamnya. bukan PNS saja. 

Akibatnya timbul kecemburuan sosial terselubung tapi nyata ,para guru dan tenaga honorer lainnya merasa kasta berbeda , terluka namun diam. Hal inilah yang dapat menjadi pemicu bom waktu yang sewaktu- waktu dapat meledak, entah berupa pesan berantai seperti di atas, ogah-ogahan bekerja, atau bisa berupa unjuk rasa menuntut kesamaan status menjadi PNS. 

Pesan berantai di atas pernah menjadi trending topic di instansi pendidikan saat negara kita belum diterpa pandemi Covid-19, yang kemudian meredup seiring pembelajaran online. 

Namun pesan berantai itu setidaknya dapat diambil hikmah positifnya oleh guru PNS, agar dapat lebih menahan diri dari hiruk pikuk euforia saat memperoleh tunjangan profesi, sehingga guru ataupun tenaga administratif honorer bisa legowo serta bebas dari kecemburuan sosial. 

Dengan memutus mata rantai kecemburuan sosial, maka akan menghindarkan semua pihak dari ketidaknyaman saat bekerja sehingga pekerjaan bisa lebih berkualitas tanpa rasa iri. 

TWK KPK dan BRIN berkaitan dengan peniadaan honorer?

Kini pemerintah melalui Menpan RB memberi batas waktu bagi instansi pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tenaga honorer hingga tahun 2023. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan mendasar seperti tenaga kebersihan (cleaning service) dan tenaga keamanan (sekuriti), dapat dipenuhi melalui tenaga alih daya dengan beban biaya umum, bukan biaya gaji. 

Penghentian perekrutan tenaga honorer ini mengingatkan kita pada kasus tes wawasan kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika para pegawai dan penyidik akan dialihkan menjadi ASN. 

Kasus ini mebjadi kisruh karena TWK dinilai cacat prosedur dan cacat hukum, sebab peralihan justru dibarengi dengan adanya pemecatan terhadap lebih dari 50 karyawan dan penyidik yang tidak lolos, padahal judulnya peralihan bukan penyeleksian. 

Permasalahan TWK makin diperuncing dengan sikap pemerintah yang terkesan abai terhadap nasib para penyidik dan pegawai pecatan KPK. Jika kita kilas balik dengan wacana ditiadakannya honorer saat ini, maka boleh jadi pemerintah menganggap pegawai pecatan yang telah terbukti dedikasi dan kinerjanya itu sebagai tenaga honorer.

Kasus TWK KPK usai setelah Polri menerima para penyidik dan pegawai pecatan tersebut sebagai ASN ke dalam lembaganya. Namun tiba-tiba mencuat lagi kasus meleburnya puluhan lembaga penelitian ke dalam BRIN. Banyak yang mengklaim kasus ini sangat aneh, sebab pemerintah terkesan ingin mendikte ilmuwan. 

Meskipun pemerintah berkelit bahwa semua itu berdasar Omnibus Law, yang mengharuskan adanya lembaga tunggal yang menaungi seluruh lembaga penelitian di negara ini.

Pengintegrasian puluhan lembaga penelitian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tampaknya tidak beda jauh dengan wacana penghapusan tenaga honorer, sebab pemerintah beralasan BRIN sebagai institusi ingin menyelesaikan penataan organisasi/SDM pada tahun 2022. 

Terlepas dari klaim pemerintah tentang sebuah kasus, toh masyarakat tetap menyimpan tanda tanya besar atas segala tindakan yang diambil pemerintah, termasuk adanya dugaan muatan politis dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dibalik semua dugaan itu, setidaknya kita patut mengapresiasi keinginan pemerintah untuk memastikan kejelasan nasib para pegawai dan ilmuwan agar menjadi ASN di puluhan lembaga penelitian tersebut. 

Tetapi janganlah demi mengejar kejelasan nasib para honorer, justru akan menimbulkan masalah baru, seperti pemecatan penyidik senior dan pegawai KPK, atau juga seperti kejadian pemutusan hubungan sepihak tanpa 'ba-bi-bu' dari BRIN terhadap nakhkoda dan tehnisi tsunami BPPT Lemhanas.

Ternyata terbukti bahwa PNS dan Honorer memang berbeda kasta, sebab setiap honorer sudah pasti ingin menjadi PNS, namun PNS tidak akan mau menjadi honorer, believe it or not?

Sudah sepatutnya pemerintah mampu menyelesaikan masalah tanpa kemudian memunculkan masalah baru, wait and see, Bravo!.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun