Terbitnya PPKS boleh jadi sebagai penyelamat akibat terabaikannya batas-batas etika dan norma, sebab saat ini seluruh belahan dunia yang semula mati-matian menolak LGBTQ sebagai satu hal yang dianggap melawan batas kenormalan, namun sekarang telah luntur.Â
Perpaduan sikap hedonisme dan atheisme menimbulkan sebuah aliran pemikiran baru, jika yang dianggap ilegal sudah legal, maka yang dianggap normal yakni antar lawan jenis, meskipun kadang "nabrak" dan ugal-ugalan pastilah masih dianggap wajar-wajar saja.
Kekerasan dan perundungan seksual yang terjadi di kampus-kampus hanyalah fenomena gunung es yang tidak terdeteksi, seandainya terdeteksi pastilah sangat banyak.Â
Akibat tidak adanya aturan jelas yang mengatur, ditambah sikap "ewuh pakewuh" melaporkan, membuat kasus ini seakan tak ada, samar-samar terendus, ada namun tak terdengar, tak ada yang berani menyuarakan, hilang ditelan bumi, akibatnya terus menerus berlanjut.Â
Bahkan jika si korban mencoba berani membagi lukanya melalui media sosial, maka jeratan UU ITE menunggunya, namun jika melapor ke pihak institusi, justru diajak untuk berdamai secara kekeluargaan.
Padahal sudah jelas terbaca melanggar asas kekeluargaan yang terpenting yakni melindungi dari kekerasan dan perundungan seksual, sehingga terkesan kata kekeluargaan justru dipakai untuk menolerir tindak kekerasan.
Dengan disahkannya PPKS maka para korban kekerasan seksual di kampus.tidak perlu bingung mencari tempat mengadu, sebab bisa langsung mendatangi Satgas yang dimiliki perguruan tinggi. Tim dalam Satgaslah yang akan memproses pengaduan, melakukan investigasi dan berkoordinasi dengan rektorat.
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai payung hukum untuk melindungi korban di dalam lingkungan kampus, sebab selama sekian waktu terjadi kekosongan hukum untuk menindak pelaku kekerasan seksual di sana.
Kekerasan dan perundungan seksual yang terjadi di lingkungan sivitas akademika dan tenaga pendidikan bukan rahasia umum lagi, bila ditelusuri mendalam akan sangat banyak dijumpai, namun tertutup oleh kepatutan norma dan masih adanya rasa malu untuk melapor.Â
Bahkan jikapun melapor, terkadang tidak ada tindak lanjut, apalagi bila hanya mengambil langkah curhat dengan teman-temannya, terkadang justru disarankan untuk memaafkan karena besarnya resiko, Â padahal tindakan pelecehan dan perundungan seksual tidak bisa dibenarkan.
Berbeda dengan si korban yang masih memiliki rasa malu untuk melaporkan, justru rasa malu yang dimiliki telah terabaikan akibat pengaruh globalisasi dan berubahnya pola pikir manusia.Â