Dalam kondisi dunia yang kian bebas seperti sekarang ini, ketika sebagian negara telah melegalkan hubungan sesama jenis, maka hubungan lawan jenis menjadi dianggap lumrah, bahkan terkadang luput dari norma-norma, freesex dianggap sebagai kelumrahan tradisional yang terjadi.
Memang telah ada upaya perlindungan terhadap kekerasan dan perundungan seksual, namun belum tertuju secara khusus untuk warga kampus.Â
Misal adanya perlindungan bagi anak-anak yang telah ada aturannya dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, sedangkan bagi mereka yang dewasa ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, meskipun ranahnya hanya pencabulan dan pemerkosaan.Â
Sehingga terbitnya PPKS diharapkan sebagai angin segar untuk menjerat penjahat seksual nakal dengan topeng terdidik yang berkeliaran di kampus, entah dalam wujud pendidik ataupun terdidik.
Kekerasan seksual di kampus pastinya bukan kali ini saja, telah lama terjadi, bahkan boleh jadi berpuluh-puluh tahun yang lalu telah ada.
Namun, tak pernah terungkap ke permukaan akibat adanya rasa "ewuh pakewuh". Terselip rasa segan untuk melaporkan, bisa juga malah berimbuh kekhawatiran apabila akan berbalik menjadi bumerang bila melaporkan.Â
Akibatnya kasus ini seperti fenomena gunung es, banyak, bahkan sangat banyak, tapi tak pernah terungkap, hingga terus menerus terjadi, dengan korban-korban berikutnya yang tak tahu harus berbuat apa.Â
Terkungkung semacam tradisi, harus menurut pada yang lebih senior dan berkuasa, menjadikan hal tersebut terus menerus terjadi tanpa ada rasa jera karena sistem kekuasaan yang mengangkangi.
Dengan adanya aturan PPKS diharapkan akan memberi efek jera pada pengangkang kekerasan seksual atas nama kekuasaan agar tidak sewenang-wenang, sebab dalam PPKS terdapat konsekuensi atau sanksi administratif bagi pelaku.Â
Fenomena gunung es kekerasan seksual
Berbagai bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 PPKS di antaranya berupa  tindakan kekerasan seksual yang tidak mendapatkan persetujuan (consent) korban, diskriminasi atau pelecehan berintensi seksual, baik melalui ujaran, tatapan, ataupun virtual, memaksa serta memperdayai korban untuk melakukan aktivitas seksual hingga aborsi.