Mohon tunggu...
Faldy Rizky Susanto
Faldy Rizky Susanto Mohon Tunggu... Freelancer - Penambang Harapan

Mantan Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Periode 2014-2016)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Regulasi Setengah Hati dan Ancaman Pidana di Tengah Wabah Oleh: Faldy R*)

11 April 2020   06:19 Diperbarui: 11 April 2020   07:17 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terakhir, apakah ancaman pidana di tengah wabah merupakah langkah preventif?

Secara teoritis, aparat penegak hukum sebenarnya diberikan pilihan dalam menghadapi berbagai situasi, yaitu dengan pendekatan “law enforcement atau social defense”. Law enforcement ditunjukan melalui langkah aparat penegak hukum untuk menangkap dan proses pelaku dalam proses peradilan pidana, sedangkan social defense adalah tindakan yang berorientasi pada perlindungan masyarakat, aturan yang serba tanggung membawa Pemerintah melalui aparat penegak hukum sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan adanya ancaman pidana bagi masyarakat yang tetap berkerumun di masa wabah seperti ini, dan perlu diingat, Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Pasal 18 telah menjamin aparat penegak hukum/polisi dapat bertindak lain sesuai penilaiannya dalam hal melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya (kewenangan diskresi).

Di sisi lain, yang perlu menjadi catatan adalah, ketika aparat penegak hukum cenderung menerapkan hukum pidana dalam cirinya yang penal (represif), atau menggunakan hukum pidana sebagai premium remidium (pilihan utama). Maka, sebenarnya menunjujukan frustasi negara dan ketidakmampuannya dalam mengelola dan mendistribusikan keadlian, sehingga harus dengan ancam-mengancam.

Secara teoritis dalam kebijakan hukum pidana dikenal pula istilah “penal“ dan “nonpenal“. Pendekatan “penal” yang berarti kegiatan yang bersifat represif berupa tindakan upaya paksa antara lain melakukan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses penyidikan dan seterusnya.

Pendekatan “nonpenal” yang berarti kegiatan yang bersifat preventif yaitu kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat dan seluruh elemen. Keduanya harus berjalan beriringan. Sehingga, dalam mengahadapi ancaman wabah di Indonesia, jika mengedepankan fungsi aparat penegak hukum, maka perlu menggandeng aspek “nonpenal” yang menuntut aparat penegak hukum mempertimbangkan faktor-faktor potensial penyebab terjadinya kejahatan, termasuk dengan cara integrasi dengan semua elemen.

Ancaman Pidana di Tengah Wabah

Satu poin penting dari hukum pidana, pengaturan, pelaksanaan, dan proyeksi alternatif pemidanaan non pemenjaraan serta pemulihan keadilan atau yang dikenal dengan konsep “Restorative Justice” dalam pelaksanaan pidana di Indonesia menjadi hal yang semestinya difikirkan oleh pembuat Undang-Undang.

Dilihat secara kontekstual dengan kondisi saat ini Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 serta Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona menjadi tak elok untuk di implementasikan lantaran Peraturan Pemerintah tidak bisa mengatur sanksi pidana dan mengingat keberadaan maklumat tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum kepada masyarakat karena hanya bersifat himbauan.

Terjawab sudah bahwa ancaman pidana dalam rangka menertibkan masyarakat di tengah wabah saat ini memiliki legalitas dan dapat diterapkan, selama unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi. Dalam menilai keefektifan ancaman pidana, penulis mendasarkan pada teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks ini, melihat legalitas pemidanaannya sudah jelas dapat diterapkan (legal substance). Maka tumpuan untuk menegakkan hukum ada pada struktur hukum yang basisnya ada pada aparat penegak hukum dan budaya hukum yang basisnya merupakan masyarakat itu sendiri.

Di masa yang sulit seperti ini, aparat seharusnya tidak menggunakan pidana sebagai instrumen pidana dalam menindak masyarakat yang tidak tertib. Mengingat negara kita menggunakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Upaya represif berupa pemidanaan, akan berlaku efektif jika Indonesia menerapkan kebijakan karantina wilayah secara massif dan pengawasannya ada pada Pemerintah Pusat. Tidak memberlakukan upaya pemidanaan tidak serta merta akan mereduksi kekuatan hukum itu sendiri. Justru dengan menghindari upaya represif akan mewujudkan kemanfaatan dan keadilan di tengah wabah yang luar biasa seperti ini, sekaligus mewujudkan tujuan hukum itu sendiri.

Penerapan hukuman penjara yang eksesif (Re: keadaan yang melampaui kebiasaan) dan tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang sudah dijalankan yaitu program “Asimilasi” (Pembinaan narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan hidup berbaur di lingkungan masyarakat) dan “Integrasi” (Narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas) dengan proyeksi 30.000 lebih warga binaan yang dibebaskan  sebagai bentuk pencegahan Virus Corona Disease (Covid-19) di wilayah Lembaga Permasyarakatan dan Rumah Tahanan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun