Mardin, seorang pria berkulit gelap dengan rambut sedikit beruban, sering kali bingung dengan situasi keuangannya. Ini biasa terjadi pada keluarga kategori miskin. Hanya untuk kebutuhan makan saja sudah ngos-ngosan.Â
Walapun begitu ia memiliki istri yang tegas, Rukiya, yang selalu menolak setiap tawaran uang sogok untuk memilih calon-calon anggota legislative, calon gubernur dan bupati bahkan calon presiden dan wakil, Rukiyah akan tersinggung dan marah jika diberi serangan uang sogok. Â Termasuk dalam pilihan gubernur dalam Pilkada serentak 27 November 2024.Â
Model keluarga Mardin memang rentan menjadi sasaran pilihan para tim sukses calon.
Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), penghasilan di bawah Rp 582.993 per kapita per bulan akan masuk ke dalam kategori miskin. Rumah tangga dengan pengeluaran kurang dari Rp 2.592.657 per bulan juga akan masuk kategori miskin.Â
Mardin yang bekerja serabutan sebagai buruh lepas dengan istri yang sedang mengurus bayi dengan penghasilan bulanan sekitar Rp 1 juta, itu masuk dalam kategori keluarga miskin.
 Ini berarti bahwa rumah tangga dengan penghasilan sebesar itu mungkin mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Pantas saja pasangan muda generasi Z ini sering menjadi sasaran empuk bagi tim sukses jika di tiap musim pilpres, pilgub, pilwakot maupun pileg.
Malam itu, saat matahari terbenam, terdengar ketukan yang menghentak di pintu rumah Mardin. Awalnya, Mardin tidak menghiraukannya, tetapi ketika suara ketukan itu semakin keras, Rukiya mulai curiga. "Kamu jawab, Mardin! Siapa yang datang malam-malam begini?" tanyanya dengan nada khawatir.
Mardin pun membuka pintu, dan terlihat seorang wanita berperawakan ramping dengan tas besar. "Selamat malam! Saya Ibu Rena dari tim sukses calon gubernur nomor 3! Saya di sini untuk menawarkan program luar biasa bagi warga."
"Program apa? Ngomong-ngomong, saya sudah kenyang dengan janji-janji manis," jawab Rukiya skeptis.
Ibu Rena tersenyum lebar. "Tenang saja, Bu! Kami juga bawa uang timbang! Rp 200 ribu untuk suara Ibu dan Bapak!" Uang itu berkilau dalam senter, menggoda jiwa Mardin yang lemah.
"Uang sogok? Tidak! Kami tidak butuh uang haram!" Rukiya menghardik.
Namun, Mardin yang bingung, memperhatikan tumpukan uang itu. "Tapi Bu, susu anak kita... dia butuh gizi!" ungkapnya dengan wajah cemas.
Ibu Rena mencoba merayu lagi. "Bapak, kami pastikan calon kami membawa perubahan! Program pendidikan gratis, kesehatan gratis, makan gratis, subsidi untuk keluarga tidak mampu. Semua akan lebih baik!"
"Hmm, pendidikan... tapi, anak saya masih bayi ..." Mardin menggeleng, masih mengikuti arah kata Rukiya.
"Bu Rukiya, saya ngerti. Tapi lihat juga keperluan keluarga ini! Kami siap memberi Rp 200 ribu buat keperluan beli susu dede bayi!" Ibu Rena semakin menpinggiran kotak.
"Jangan percaya, Pak! Itu hanya trik!" Rukiya menegaskan.
Perdebatan yang seru pun terjadi. Mardin terus berusaha melawan isi hatinya, sementara Rukiya berpegang teguh pada prinsipnya.Â
"Ibu Rena, kami benar-benar tidak mau menerima sogokan. Kami ada prinsip!" Rukiya berkeras.
Mendengar itu, Ibu Rena menghela napas sambil berpikir, "Kalau begini, sepertinya saya harus mundur." Akhirnya, Ibu Rena meninggalkan rumah itu dengan membawa sedikit frustrasi, tetapi Mardin mempunyai rencana baru
Setelah memastikan bahwa Rukiya tidak melihat, Mardin dengan langkah pelan mengikuti Ibu Rena. "Ibu Rena, tunggu!" setengah teriak.
Ibu Rena berbalik, tampak terkejut. "Bapak Mardin? Ada apa?"
"Aku mau nyambung tentang sogok itu... eh, maksudku program yang Ibu tawarkan," ujar Mardin, sedikit gugup.
"Jadi, Bapak mau menerima uang sogok itu?" tanya Ibu Rena, masih ragu.
"Iya, saya ini punya tanggung jawab keluarga. Kami membutuhkan uang itu, Ibu. Bayi kami perlu susu dan asupan bayi yang bergizi tapi mahal harganya," jawab Mardin dengan nada putus asa.
Ibu Rena mengamatinya dari atas hingga bawah. "Baiklah, saya hanya bisa memberi Rp 100 ribu saja. Soalnya saya tidak yakin Ibu Rukiya mau pilih calon kami."
"Ya, kok gitu bu. Kan anggaran Rp 200 ribu, tapi tidak apalah itu lebih baik daripada tidak dapat sama sekali. Lagipula, harga susu tidak bisa ditawar," Mardin berkata sambil tersenyum penuh harap.
Setelah menerima Rp 100 ribu Mardin sempat menggumam dalam hati. "Pantasan tim sukses selalu sukses".
***
Pemilu sering disebut sebagai "pesta demokrasi" karena ini adalah momen di mana rakyat berpartisipasi dalam proses demokrasi dengan memilih pemimpin mereka.
 Namun, istilah "pesta" di sini lebih bersifat simbolis, menggambarkan semangat dan partisipasi masyarakat dalam pemilu, bukan dalam arti harfiah seperti pesta dengan makanan dan minuman. Meskipun tidak ada makanan, pemilu tetap menjadi momen penting untuk merayakan hak dan kebebasan memilih.
27 November 2024, hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, terutama para calon kepala daerah yang berambisi untuk menduduki kursi kekuasaan. Namun, suasana di tempat pemungutan suara (TPS) di tempat Mardin sangat berbeda dari yang diharapkan.Â
Padahal TPS itu pemilihnya gabungan dari 3 RT. Alih-alih ramai dan bersemangat, TPS tersebut lebih mirip dengan kuburan yang sepi, dengan hanya sesekali suara angin yang berbisik. Warga pinggiran kota tampaknya sudah bosan dengan empati politik dan tekanan dari berbagai pihak. Banyak yang sudah memilih untuk tetap tinggal di rumah sambil menonton sinetron kesayangan.
Mardin datang ke TPS dengan wajah bingung. Ia melihat jari-jari petugas pemilu yang diwarnai tinta, jari-jari yang juga mengingatkannya pada sogokan yang mengalir dari ketiga kandidat. "Hmm, mana ya yang lebih baik? Nomor 1, 2 atau 3?" gumamnya dalam hati.
Rukiya sudah menunggu dengan wajah melas di sampingnya. "Kamu lama sekali, Mardin! Sudah mau kiamat di sini!" serunya.
Di bilik suara, Mardin bingung. Semua kandidat sudah memberi uang sogok, tapi mana yang sebenarnya layak? "Mana nih yang mau aku pilih?" Mardin dalam dilema. Ia harus memilih dengan baik tanpa melanggar prinsip Rukiya, tetapi uang yang sudah masuk ke kantongnya terus mengganggu pikirannya.
Karena bingung, Mardin pun mengambil keputusan yang kurang bijak, ia mencoblos semua paslon yang ada!
"Eh, Mardin! Apa yang kamu lakukan?" teriak Rukiya ketika melihat suaminya keluar dari bilik suara.
"Ya, terpaksa, Sayang! Sudah terlanjur! Aku tidak mau menyakiti hati mereka yang sudah memberi uang," jawab Mardin polos.
"Mardin, apa yang kamu pikirkan? Semua calon gubernur kamu coblos? Kamu tahu itu tidak benar! Mereka semua menyogok kamu, dan kamu malah menerima sogokan mereka. Kamu tidak hanya mengkhianati prinsip-prinsip kita, tapi juga merusak kepercayaan masyarakat. Bagaimana kita bisa berharap perubahan jika kita sendiri tidak jujur? Kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu dan belajar untuk tidak mudah tergoda oleh uang. Integritas itu mahal, tapi jauh lebih berharga daripada sogokan yang kamu terima!" Rukiya terus mengomel.
Begitulah Mardin yang kebingungan berujung pada sebuah suara yang penuh teka-teki. Semua pasangan gubernur dicoblos tanpa pertimbangan.
Ketika hasil pemungutan suara diumumkan, Mardin hanya bisa tertawa sarkastis. "Akhirnya, suara saya didengar juga. Mau jadi siapa mereka, terserah aja!" katanya sambil tertawa, sementara Rukiya hanya menggelengkan kepala dan mengingatkan, "Lain kali jangan ulang lagi! Pilihlah yang benar-benar, jangan terpengaruh uang!"
Keluarga mereka mungkin miskin, tetapi semangat mereka untuk menjalani hidup tetap tak tergoyahkan. Itulah yang menjadikan mereka keluarga Mardin yang rentan namun humoris di tengah setiap cobaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H