Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia naik dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022. Kemudian, tarif PPN naik lagi menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah menimbulkan berbagai reaksi di kalangan pelaku usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dikenal sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, keberadaan UMKM sangat penting untuk menciptakan lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, pasca pandemi Covid-19, di mana banyak UMKM sudah berjuang untuk bertahan, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan, apakah ini merupakan ancaman besar atau justru peluang untuk pertumbuhan?
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, termasuk meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan daya beli masyarakat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 6,26%, meningkat dari 4,99% pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi pelaku UMKM, yang menjadikan sektor ini semakin kompetitif. Di sisi lain, daya beli masyarakat menurun, yang berdampak langsung pada penjualan produk-produk UMKM.
Kenaikan PPN yang baru ini dapat memberikan dampak beragam bagi UMKM. Beberapa pihak mungkin melihatnya sebagai ancaman besar karena akan meningkatkan biaya produksi, sementara yang lain mungkin melihatnya sebagai peluang untuk berinovasi dan meningkatkan efisiensi. Apakah UMKM bisa beradaptasi dan tetap bertahan di tengah perubahan ini, atau justru akan semakin terjepit oleh berbagai tantangan?
Tantangan yang Dihadapi UMKM
1. Kenaikan Biaya Produksi
Kenaikan PPN tentu akan berdampak langsung pada biaya produksi UMKM. Sebagai contoh, jika sebuah UMKM yang memproduksi makanan memerlukan bahan baku senilai Rp 10 juta, maka dengan PPN 12%, biaya yang harus dikeluarkan menjadi Rp 11,2 juta. Hal ini tentu akan menggerus margin keuntungan, terutama bagi UMKM yang telah beroperasi dengan keuntungan tipis. Menurut data dari Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), sekitar 70% UMKM saat ini sudah beroperasi di bawah tekanan biaya, sehingga kenaikan ini dapat menjadi masalah serius bagi kelangsungan usaha mereka.
2. Penurunan Daya Beli Konsumen
Kenaikan harga akibat PPN 12% berpotensi mengurangi daya beli konsumen. Ketika harga barang naik, konsumen akan cenderung mengurangi pengeluaran mereka, terutama untuk barang-barang non prioritas. Hal ini berpotensi mengakibatkan penurunan penjualan UMKM. Data dari BPS menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2023, terjadi penurunan konsumsi rumah tangga sebesar 2,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan daya beli ini tentunya akan mengancam keberlangsungan UMKM yang bergantung pada penjualan langsung.
3. Persaingan yang Semakin Ketat
Dalam menghadapi kenaikan PPN, UMKM akan berhadapan dengan persaingan yang semakin ketat, baik dari pelaku usaha besar yang lebih siap secara finansial maupun UMKM lain yang sudah lebih beradaptasi. Para pelaku usaha besar biasanya memiliki sumber daya yang lebih memadai untuk menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan pajak. Sebuah studi oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat bahwa 60% UMKM berpotensi tutup dalam waktu 2 tahun jika tidak beradaptasi dengan baik terhadap perubahan ini, terutama dalam hal inovasi produk dan strategi pemasaran.