Aku tersenyum, hati ini seakan penuh kembali. Ketika makna kesedihan mulai mendapatkan warna baru, energi yang hangat mengalir di antara kita. Sepertinya, kata-kata bukan hanya sekadar huruf yang disusun, melainkan sebuah jembatan penghubung antara jiwa yang terluka.
Aku mulai membaca puisi yang telah kutulis dalam diam:
Di Batas Waktu
Di tepi hari yang sunyi, kesedihan berbisik
Tentang cinta yang hilang, rasa yang terpatik
Setetes air mata di wajahmu terukir
Mengalir seperti sungai menghapuskan getir
Tepukan angin membawa syair kita berkelana
Di batas waktu yang menyisakan tanda
Satu harapan di antara dua jiwa yang hilang
Menemukan bising di antara rindu yang terbenam
Biar hujan membasuh segala rasa
Setiap tetesnya mengingatkan cinta
Bahwa setiap kehilangan adalah pelajaran
Dan puisi ini sarana untuk ungkapan perasaan
Setelah selesai, suasana hening, namun kali ini tidak terasa menyesakkan. Sebaliknya, ada kehangatan dalam kebersamaan kita. "Itu indah," katamu, menyalakan cahaya baru di hati ini.
"Aku tidak sendiri, bukan? Dalam kesedihan ini?" tanyaku dengan lembut.
Kau mengangguk, pandanganmu menyiratkan pengertian yang mendalam. "Setiap dari kita adalah bagian dari puisi semesta. Tak peduli seberapa dalam rasa sakit itu menyelam, kita terhubung dalam setiap bait yang kita bagi," ujarmu.
Tiba-tiba, sinar matahari merembes di antara awan, mengisyaratkan sebuah harapan baru. "Apa kamu merasa... lebih ringan sekarang?" tanyaku menatapmu.
"Ya," jawabmu, senyum cerah mulai menggantikan kesedihan. "Mungkin kita tidak harus sepenuhnya pulih untuk melanjutkan perjalanan ini. Kesedihan bisa menjadi bagian dari cerita yang lebih besar."
Kami berdua tersenyum, mengetahui jika perbincangan ini akan mengubah cara kita memandang kesedihan dan kedamaian. "Mari kita hadirkan lebih banyak puisi," ajakku. "Setiap detik bisa menjadi bait, dan setiap bingkai kenangan adalah stanzas yang menampilkan perjalanan kita."
"Dan apabila suatu saat nanti, kita merasa terjebak kembali dalam kesedihan, kita punya satu sama lain untuk kembali," katamu lembut.
Pagi yang sendu itu mulai mengubah warna. Dari awan kelabu ke biru cerah, seolah-olah dunia ini akan memberi kesempatan untuk kami bernafas kembali. Di antara reruntuhan rasa yang mengikat, kami berdua memutuskan untuk mencipta kembali puisi-puisi yang akan menghiasi hidup kami.
Kami membagikan rindu dan kecewa, tertawa atas kepedihan yang berlalu, dan menyadari bahwa setiap air mata yang tertumpah adalah bagian dari perjalanan yang indah menyusun sebuah fragmen kehidupan yang tak terlupakan.