Mohon tunggu...
Falah Yu
Falah Yu Mohon Tunggu... Guru - ngajar

suka sama cerita horor.cerpen.puisi.cerbung.humor

Selanjutnya

Tutup

Roman

Pagi Sendu di Bangku Taman

22 November 2024   09:40 Diperbarui: 23 November 2024   08:16 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duduk di Bangku Taman (Sumber: gambar Haiper AI diolah oleh Falah Yu)

Pagi itu, awan gelap menutupi langit, seakan turut merasakan beban hati yang menghimpit. Aku duduk di sebuah bangku di taman, tempat yang biasanya dipenuhi keceriaan anak-anak yang berlari-lari, kini seakan terperangkap dalam kesunyian. Di sekelilingku, bunyi gemerisik daun dan suara angin membisikkan cerita tentang harapan yang telah pudar. Namun, pandanganku tertuju kepada sosokmu, Nona, di kejauhan. Mata yang indah itu mencerminkan lara yang terlalu memaksa, seolah-olah dunia ini bersalah padamu.

"Kenapa kamu memandangiku begitu?" tanyamu, membolak-balik rasa penasaranku. Suaramu lembut, meskipun ada nada kesedihan yang tak dapat ditutupi. Aku terpaku sejenak, berbicara dengan hatiku yang berdegup kencang. Lama-kelamaan, aku merasa seperti hujan. Air mataku bisa saja menetes, tapi aku menahan

"Aku...," ucapku samar. "Memandang lara di matamu, aku merasa seolah-olah hujan akan terbentuk dari sana."

Kau menggeleng lembut. "Tidak butuh kasihan, bahkan dari Tuhan," balasmu, suaramu kini terdengar lebih tegas. Namun ada ketegangan dalam suara itu, seolah kamu berjuang melawan gelombang emosi yang ingin menerkam.

Lama-kelamaan, seakan terasa energimu yang berkurang. Duka-duka mencabut banyak hal, dan kepedihanmu memenuhi isi kepalamu. Seakan semuanya sudah tidak dapat kamu tanggung, seperti beban yang terlalu berat untuk dibawa sendirian.

"Bolehkah aku pinjam kesedihanmu, Nona?" tanyaku, harap-harap cemas. "Di mana kehilangan telah cukup merobek hati? Izinkan puisi-puisiku menyatukannya kembali."

Kehidupan di waktu sepi, tampak seperti lukisan yang penuh goresan tidak karuan. Setiap goresan adalah harapan yang hilang, sesak yang tidak terucap. Mataku melakukannya, meneliti puisi-puisiku, mencarikan jalan untuk menyatukan kembali bagian-bagian yang terpisah. Namun, sepertinya aku bodoh, atau mungkin juga gila. Penyair hanya membaca tanda-tanda atas nama luka, berusaha menerjemahkan rasa yang tak terukur. Terkadang, kepada nyeri itu sendiri aku benci, sebab ia yang kerap mengajak kita tersesat, seolah mengingatkan bahwa kehidupan adalah serangkaian derai tangis yang tak kunjung reda.

Raut wajahmu berubah. Di sana ada rasa cemas, namun juga keinginan untuk dijadikan pengertian. "Kamu ingin menyatukan kesedihan?" kau membalas dengan canda, meskipun aku tahu dalam hatimu, itu bukan lelucon.

"Ya, sepertinya begitu," kataku. "Kadang, dalam hidup ini, kita harus berani membagi kesedihan agar tidak terjebak dalam kesepian."

Kau terdiam, seperti mencerna kata-kataku. "Dan jika kesedihan itu begitu dalam dan tidak bisa ditanggulangi?" tanyamu, matamu menatapku tajam, menantang.

"Jika itu yang terjadi, mungkin kita harus belajar untuk berdamai dengan kesedihan itu. Seperti mengingat hari-hari indah yang pernah ada, meski menyakitkan," balasku tegas.

Kau menghela napas panjang, seolah ada beban yang terangkat meski sedikit. "Barangkali doa-doa adalah sebentuk guratan rasa," ungkapmu, membuka pikiran kita pada kemungkinan baru. "Saat kepedihan tak membuat kita menjadi apa-apa."

Aku mengangguk, terinspirasi oleh kata-katamu. "Doa bisa memberi kita kekuatan. Melalui penyaluran rasa, kita bisa menemukan cara untuk maju."

Kau tertawa pahit. "Dan apa yang kamu lakukan dengan rasa itu?" tanyamu. "Apakah kamu akan mengubahnya menjadi puisi? Atau hanya sekadar mengumpulkannya menjadi kata-kata yang kosong?"

Rasa sakit yang kucerna terasa akrab. "Mungkin puisi ini adalah pelukan yang tidak pernah bisa kita sampaikan," jawabku lembut. "Setiap baitnya dapat menggambarkan luka ini, dan dengan begitu, kita bisa mendapat sedikit pengertian."

Keduanya terdiam, merenungi paparan yang baru saja terluar. Di tengah kesunyian itu, hujan mulai turun perlahan. Setiap tetesnya seolah-olah menyapa hati yang tersakiti. "Lihat, bahkan hujan pun mengerti," kataku sambil tersenyum penuh harapan.

Kau menatap langit, seolah mendapatkan isyarat. "Mungkin benar, bahwa air mata pun memiliki makna," bisikmu lirih. "Dari setiap kesedihan yang kita alami, bisa muncul sesuatu yang baru."

"Kita bisa membangun kembali sesuatu yang lebih kuat, di samping mereka yang pernah pergi, tidak peduli seberapa menyedihkannya, Nona."

"Jadi, bocah penyair ini berjanji akan meminjamkan puisi-puisinya untuk rasa ini?" tanyamu, senyummu mulai mekar di tengah mendung.

"Mungkin lebih dari itu. Kuasa dari kata-kata dapat membawakan kita ke tempat yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sebuah perjalanan untuk berbagi kesedihan yang menjadi indah dengan persahabatan."

Kau mulai mengangguk, membiarkan sinar harapan menyelinap ke dalam jiwamu. "Aku percaya pada kekuatan itu. Sekarang, aku ingin mendengarkan puisi yang kamu buat."

Aku tersenyum, hati ini seakan penuh kembali. Ketika makna kesedihan mulai mendapatkan warna baru, energi yang hangat mengalir di antara kita. Sepertinya, kata-kata bukan hanya sekadar huruf yang disusun, melainkan sebuah jembatan penghubung antara jiwa yang terluka.

Aku mulai membaca puisi yang telah kutulis dalam diam:

Di Batas Waktu

Di tepi hari yang sunyi, kesedihan berbisik
Tentang cinta yang hilang, rasa yang terpatik
Setetes air mata di wajahmu terukir
Mengalir seperti sungai menghapuskan getir
Tepukan angin membawa syair kita berkelana
Di batas waktu yang menyisakan tanda

Satu harapan di antara dua jiwa yang hilang
Menemukan bising di antara rindu yang terbenam
Biar hujan membasuh segala rasa
Setiap tetesnya mengingatkan cinta
Bahwa setiap kehilangan adalah pelajaran
Dan puisi ini sarana untuk ungkapan perasaan

Setelah selesai, suasana hening, namun kali ini tidak terasa menyesakkan. Sebaliknya, ada kehangatan dalam kebersamaan kita. "Itu indah," katamu, menyalakan cahaya baru di hati ini.

"Aku tidak sendiri, bukan? Dalam kesedihan ini?" tanyaku dengan lembut.

Kau mengangguk, pandanganmu menyiratkan pengertian yang mendalam. "Setiap dari kita adalah bagian dari puisi semesta. Tak peduli seberapa dalam rasa sakit itu menyelam, kita terhubung dalam setiap bait yang kita bagi," ujarmu.

Tiba-tiba, sinar matahari merembes di antara awan, mengisyaratkan sebuah harapan baru. "Apa kamu merasa... lebih ringan sekarang?" tanyaku menatapmu.

"Ya," jawabmu, senyum cerah mulai menggantikan kesedihan. "Mungkin kita tidak harus sepenuhnya pulih untuk melanjutkan perjalanan ini. Kesedihan bisa menjadi bagian dari cerita yang lebih besar."

Kami berdua tersenyum, mengetahui jika perbincangan ini akan mengubah cara kita memandang kesedihan dan kedamaian. "Mari kita hadirkan lebih banyak puisi," ajakku. "Setiap detik bisa menjadi bait, dan setiap bingkai kenangan adalah stanzas yang menampilkan perjalanan kita."

"Dan apabila suatu saat nanti, kita merasa terjebak kembali dalam kesedihan, kita punya satu sama lain untuk kembali," katamu lembut.

Pagi yang sendu itu mulai mengubah warna. Dari awan kelabu ke biru cerah, seolah-olah dunia ini akan memberi kesempatan untuk kami bernafas kembali. Di antara reruntuhan rasa yang mengikat, kami berdua memutuskan untuk mencipta kembali puisi-puisi yang akan menghiasi hidup kami.

Kami membagikan rindu dan kecewa, tertawa atas kepedihan yang berlalu, dan menyadari bahwa setiap air mata yang tertumpah adalah bagian dari perjalanan yang indah menyusun sebuah fragmen kehidupan yang tak terlupakan.

Hari itu, bangku taman menjadi saksi bisu sebuah proses penyembuhan yang tidak terduga, di mana kesedihan saling bersatu bukan untuk merobek, tetapi sebagai penguat satu sama lain. Karena pada akhirnya, hidup ini adalah puisi yang ditulis dengan pengalaman, dan setiap luka yang ada, akan menjadi bait-bait yang memuat kedamaian dan harapan baru.

Kami berdiri untuk pulang dari bangku yang sama, kami meninggalkan sebagian dari kesedihan dan membawa harapan baru. Sebab, kami percaya, di balik setiap duka, ada keindahan yang akan membuat kami bangkit lebih kuat. Kami boleh patah, tetapi kami tidak akan terjatuh selamanya.

***

Roman ini diinspirasi dan dilisensi dari puisi yang berjudul "Duka-Duka Dalam Kepala" oleh Itha Abimanyu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun