"Jika itu yang terjadi, mungkin kita harus belajar untuk berdamai dengan kesedihan itu. Seperti mengingat hari-hari indah yang pernah ada, meski menyakitkan," balasku tegas.
Kau menghela napas panjang, seolah ada beban yang terangkat meski sedikit. "Barangkali doa-doa adalah sebentuk guratan rasa," ungkapmu, membuka pikiran kita pada kemungkinan baru. "Saat kepedihan tak membuat kita menjadi apa-apa."
Aku mengangguk, terinspirasi oleh kata-katamu. "Doa bisa memberi kita kekuatan. Melalui penyaluran rasa, kita bisa menemukan cara untuk maju."
Kau tertawa pahit. "Dan apa yang kamu lakukan dengan rasa itu?" tanyamu. "Apakah kamu akan mengubahnya menjadi puisi? Atau hanya sekadar mengumpulkannya menjadi kata-kata yang kosong?"
Rasa sakit yang kucerna terasa akrab. "Mungkin puisi ini adalah pelukan yang tidak pernah bisa kita sampaikan," jawabku lembut. "Setiap baitnya dapat menggambarkan luka ini, dan dengan begitu, kita bisa mendapat sedikit pengertian."
Keduanya terdiam, merenungi paparan yang baru saja terluar. Di tengah kesunyian itu, hujan mulai turun perlahan. Setiap tetesnya seolah-olah menyapa hati yang tersakiti. "Lihat, bahkan hujan pun mengerti," kataku sambil tersenyum penuh harapan.
Kau menatap langit, seolah mendapatkan isyarat. "Mungkin benar, bahwa air mata pun memiliki makna," bisikmu lirih. "Dari setiap kesedihan yang kita alami, bisa muncul sesuatu yang baru."
"Kita bisa membangun kembali sesuatu yang lebih kuat, di samping mereka yang pernah pergi, tidak peduli seberapa menyedihkannya, Nona."
"Jadi, bocah penyair ini berjanji akan meminjamkan puisi-puisinya untuk rasa ini?" tanyamu, senyummu mulai mekar di tengah mendung.
"Mungkin lebih dari itu. Kuasa dari kata-kata dapat membawakan kita ke tempat yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sebuah perjalanan untuk berbagi kesedihan yang menjadi indah dengan persahabatan."
Kau mulai mengangguk, membiarkan sinar harapan menyelinap ke dalam jiwamu. "Aku percaya pada kekuatan itu. Sekarang, aku ingin mendengarkan puisi yang kamu buat."