Pagi itu, awan gelap menutupi langit, seakan turut merasakan beban hati yang menghimpit. Aku duduk di sebuah bangku di taman, tempat yang biasanya dipenuhi keceriaan anak-anak yang berlari-lari, kini seakan terperangkap dalam kesunyian. Di sekelilingku, bunyi gemerisik daun dan suara angin membisikkan cerita tentang harapan yang telah pudar. Namun, pandanganku tertuju kepada sosokmu, Nona, di kejauhan. Mata yang indah itu mencerminkan lara yang terlalu memaksa, seolah-olah dunia ini bersalah padamu.
"Kenapa kamu memandangiku begitu?" tanyamu, membolak-balik rasa penasaranku. Suaramu lembut, meskipun ada nada kesedihan yang tak dapat ditutupi. Aku terpaku sejenak, berbicara dengan hatiku yang berdegup kencang. Lama-kelamaan, aku merasa seperti hujan. Air mataku bisa saja menetes, tapi aku menahan
"Aku...," ucapku samar. "Memandang lara di matamu, aku merasa seolah-olah hujan akan terbentuk dari sana."
Kau menggeleng lembut. "Tidak butuh kasihan, bahkan dari Tuhan," balasmu, suaramu kini terdengar lebih tegas. Namun ada ketegangan dalam suara itu, seolah kamu berjuang melawan gelombang emosi yang ingin menerkam.
Lama-kelamaan, seakan terasa energimu yang berkurang. Duka-duka mencabut banyak hal, dan kepedihanmu memenuhi isi kepalamu. Seakan semuanya sudah tidak dapat kamu tanggung, seperti beban yang terlalu berat untuk dibawa sendirian.
"Bolehkah aku pinjam kesedihanmu, Nona?" tanyaku, harap-harap cemas. "Di mana kehilangan telah cukup merobek hati? Izinkan puisi-puisiku menyatukannya kembali."
Kehidupan di waktu sepi, tampak seperti lukisan yang penuh goresan tidak karuan. Setiap goresan adalah harapan yang hilang, sesak yang tidak terucap. Mataku melakukannya, meneliti puisi-puisiku, mencarikan jalan untuk menyatukan kembali bagian-bagian yang terpisah. Namun, sepertinya aku bodoh, atau mungkin juga gila. Penyair hanya membaca tanda-tanda atas nama luka, berusaha menerjemahkan rasa yang tak terukur. Terkadang, kepada nyeri itu sendiri aku benci, sebab ia yang kerap mengajak kita tersesat, seolah mengingatkan bahwa kehidupan adalah serangkaian derai tangis yang tak kunjung reda.
Raut wajahmu berubah. Di sana ada rasa cemas, namun juga keinginan untuk dijadikan pengertian. "Kamu ingin menyatukan kesedihan?" kau membalas dengan canda, meskipun aku tahu dalam hatimu, itu bukan lelucon.
"Ya, sepertinya begitu," kataku. "Kadang, dalam hidup ini, kita harus berani membagi kesedihan agar tidak terjebak dalam kesepian."
Kau terdiam, seperti mencerna kata-kataku. "Dan jika kesedihan itu begitu dalam dan tidak bisa ditanggulangi?" tanyamu, matamu menatapku tajam, menantang.