Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Utara, jalan Papaddo berdiri sebagai saksi bisu dari kehidupan ribuan jiwa yang berjuang setiap hari. Kontrakan dan kos-kosan berjejer, menjadi tempat berteduh bagi para urban yang datang dari kampung dengan harapan dan impian. Namun, di balik kebisingan dan keramaian, ada bayang-bayang tragedi yang tak pernah jauh dari ingatan.
Tragedi kebakaran ini bukanlah yang pertama di jalan Papaddo. Sudah terlalu sering, warga menghadapi kenyataan pahit ini. Mereka yang terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketidak pastian, sering kali harus merelakan tempat tinggal mereka tanpa peringatan. Bagi mereka, kebakaran bukan lagi hal yang mengejutkan, itu adalah bagian dari kehidupan yang harus diterima dengan pasrah.
Ketika lampu-lampu kota mulai redup, Fauzi, pemilik rumah di ujung jalan, tidak menyangka bahwa malam tenang itu akan berakhir dengan bencana. Api mulai menjalar dari rumahnya, membakar kayu-kayu tua yang sudah lapuk. Dalam sekejap, api itu merambat cepat ke rumah kontrakan sebelah rumahnya, menciptakan suasana panik di tengah udara panas kota. Nyala api yang mengerikan itu melahap seisi bangunan dengan cepat, mengubah harapan menjadi kepanikan. Suara teriakan dan jeritan menggema di udara, memecah keheningan malam. Warga berlari, berusaha menyelamatkan diri dan barang-barang berharga mereka. Namun, dalam sekejap, api menghanguskan semua yang ada. Mereka menyiram api dengan air dengan berbagai cara dan kekuatan, namun rumah-rumah kayu itu malah semakin membara.
Di lantai dua rumah kontrakan, Syahrul yang sedang tidur pulas bersama bayi dan istrinya, Mina. Mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam. Namun, suara teriakan dari warga di luar mulai membangunkan mereka. "Syahrul! Mina! Kebakaran! Cepat keluar!" suara panik itu menghantam telinga Syahrul, membuatnya terjaga dengan jantung berdebar.
"Syahrul! Mina! Ayo cepat!" teriak seorang tetangga lagi, membuat Syahrul melompat keluar dari tempat tidurnya. Dalam keadaan kebingungan, ia berlari menuju tangga turun, mendobrak pintu depan dan keluar rumah, tapi saat di halaman rumah ia baru sadar bahwa istri dan bayinya masih di dalam.
"Istri dan bayi saya!" teriak Syahrul, terkejut dan panik. Warga yang melihatnya berlari keluar mengingatkan, "Kembali! Jangan masuk! Api sudah semakin besar!" Namun, rasa panik dan sayang kepada keluarganya membuat Syahrul nekat.
Dengan keberanian yang menggebu, ia berlari kembali ke dalam rumah yang sudah dipenuhi asap dan kobaran api. Dalam hati, ia berdoa agar bisa menyelamatkan mereka. Di tengah kepulan asap dan nyala api, ia menemukan Mina dan bayi mereka yang terbaring di tempat tidur. Dalam sekejap, ia mengangkat bayi mereka, yang masih tertidur, dan memeluknya erat-erat. Tubuhnya bergetar saat api mulai menjilat kulit Syahrul.
"Sayang, kita harus pergi!" teriaknya kepada Mina, yang terkejut dan ketakutan. Dalam momen itu, kayu-kayu dari atap mulai runtuh. Syahrul, yang sudah terlanjur berani, melindungi bayinya dengan tubuhnya sendiri. Ia merasakan panasnya api membakar kulitnya, namun rasa sayang dan tanggung jawabnya jauh lebih besar daripada rasa sakit yang ia derita.
Akhirnya, dengan susah Syahrul, ia berhasil keluar dari rumah yang terbakar. Namun, saat ia melangkah ke luar, ia terjatuh. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit. Syahrul pingsan di halaman, sementara warga berusaha memadamkan api yang sudah melahap seluruh rumah. Tidak lama kemudian Damkar dengan raungan sirine yang menguik-nguik datang dan api dapat dipadamkan.
Di rumah sakit, Syahrul terbaring tak berdaya. Luka bakar yang serius menghiasi tubuhnya, wajahnya terbakar parah, membuatnya tampak seperti monster. Para tetangga yang melihatnya setelah kejadian seakan tak percaya. Mereka merasa duka yang mendalam, tak hanya untuk rumah yang hancur, tetapi juga untuk sosok Syahrul guru honorer yang dikenal ramah dan ceria. Â Â
Setiap kebakaran adalah luka baru. Keluarga Syahrul kehilangan semua yang dimilikinya dalam sekejap. Kontrakanya, tempat ia ia bernaung melindungi anak istri, kini hanya tinggal puing-puing, semua harta bendanya ludes, bahkan pakaian tinggal di badan, termasuk surat-surat berharga terutama Ijazah Sarjananya hangus tak berbekas. Dengan air mata yang mengalir, ia berdoa agar bisa bangkit kembali, meski harapan terasa semakin tipis. Untungnya bantuan untuk warga korban kebakaran datang silih berganti, termasuk Walikota ikut turun tangan.
Di tengah kesedihan itu, hidup harus berjalan terus. Mina berusaha untuk tetap tegar. Ia membuka jasa menyetrika baju untuk membantu keuangan keluarga. Syahrul, meski tidak lagi mengajar di SMA karena penampilannya yang menakutkan, membuat siswa takut dan protes orang tua. Ia mulai membuka jasa pengetikan karya tulis, print, desain grafis dan analisis data, pekerjaan yang sangat membantu mahasiswa terutama mahasiswa yang skripsinya tidak kelar-kelar dan terancam DO. Suami istri ini berjuang keras demi Novi Riany, putri semata wayang mereka, agar tetap mendapat asupan gizi, penampilan yang layak dan keinginan agar mendapat pendidikan sampai perguruan tinggi.
Namun, di sekolah SD, Novi sering diolok-olok teman-temannya. "Bapaknya seperti monster, monster botak!" seru mereka, membuat Novi merasa malu dan marah. Hari itu adalah hari terakhir antar jemput Novi, ketika Syahrul siap-siap mengantar, Novi tidak mau lagi diantar. "Aku malu punya bapak seperti kamu!" teriaknya, air mata mengalir di pipinya.
Mina yang mendengar itu hanya bisa menahan rasa sakit di hatinya. "Novi, sabar ya. Bapakmu berjuang demi kita semua," katanya lembut. Namun, Novi tidak mendengarkan. Ia merasa marah dan menyesal memiliki bapak yang tidak berguna.
Bahkan ketika pendaftaran SMA tiba, Mina yang biasa antar jemput, sedang sakit dan tidak bisa mengantar Novi. "Kenapa tidak ada yang mengantar aku?!" Novi marah. "Aku menyesal punya bapak seperti kamu! Bapak tidak berguna!" teriaknya, penuh emosi.
Saat ia memasuki halaman sekolah mendaftar sendiri, kenangan akan wajah bapaknya yang penuh luka bakar kembali menghantuinya. Wajah yang dianggapnya jelek, seperti monster. "Seharusnya bapakku bisa lebih baik. Kenapa harus memiliki bapak yang tidak berguna?" pikirnya sambil menahan air mata. Ia ingin mengabaikan bapaknya, merasa malu akan penampilan bapak yang membuatnya sering diolok-olok teman-temannya.
Saat sampai di rumah, ia masuk kamar tidak mau makan siang. Panas hatinya, benci sekali ia pada bapaknya. Beberapa saat kemudian, bapaknya mengetuk kamar Novi dan masuk. Dengan suara bergetar, bapaknya berkata, "Novi, aku tahu kamu marah. Tapi, aku ingin kamu mengerti sesuatu." Air mata mengalir di pipi bapaknya, membuat hati Novi bergetar.
"Novi tidak ingin melihat wajahmu, bapak! Kenapa kau tidak bisa seperti bapak-bapak lain? Kenapa kau harus jelek dan menyedihkan?" Novi berteriak, hatinya penuh kebencian dan penyesalan.
Bapaknya terdiam, menatap Novi dengan tatapan penuh kasih sayang meski hatinya hancur. "Novi, dengar bapak ya nak. Luka-luka ini adalah tanda bahwa bapak menyayangimu. Bapak terluka saat menyelamatkanmu dan ibumu dari kebakaran, kamu masih bayi ... tentu tidak ingat. Bapak menggendongmu dan melindungimu dari api dan puing-puing. Bapak tidak peduli pada diri sendiri, yang kuinginkan hanyalah keselamatan kalian," ucapnya dengan suara bergetar.
Kata-kata bapak itu membuat Novi tertegun. Ia merasa seolah dunia berputar. "Bapak... jadi... kau terluka karena menyelamatkanku?" tanyanya dengan suara bergetar.
Bapaknya mengangguk, air mata masih mengalir di pipinya. "Setiap luka ini adalah bukti sayangku padamu. Bapak tidak ingin kamu merasa malu. Bapak ingin kamu tahu bahwa apa pun yang terjadi, bapak akan selalu ada untukmu."
Mina ikut masuk ke kamar, dengan tertatih-tatih, mencoba menjelaskan. "Benar Novi, bapakmu terluka karena menyelamatkan kita. Luka-lukanya adalah pengorbanan yang besar. Dia berjuang untukmu dan ibu. Coba ingat, setiap kali kamu melihat bapakmu, ingatlah bahwa dia melakukannya untuk kita."
Novi merasa hatinya hancur. Ia merasa berdosa telah menyakiti hati bapaknya. "Bapak, maafkan aku. Aku tidak seharusnya berkata seperti itu. Aku sangat menyesal," ucapnya sambil bersimpuh di pangkuan bapaknya sambil menangis sesenggukan, hatinya teriris pedih betapa jahatnya dia selama ini dengan bapaknya, ia masih tidak memahami. "Tapi... tapi kenapa bapak harus seperti itu?" tanyanya, suara bergetar. Mina memeluknya erat. "Karena sayang. Sayang yang tidak akan pernah pudar, meskipun penampilan bisa berubah."
Ia sekarang mengerti dan memahami betapa besar pengorbanan bapak, Bapaknya adalah pahlawan yang telah menyelamatkan ibu dan dirinya. Ia berjanji untuk lebih menghargai pengorbanan bapak. "Aku akan berusaha untuk tidak malu lagi, Bu," katanya dengan suara lembut. Mina tersenyum, membelai rambut putrinya. "Itu yang terbaik, sayang. Kita akan selalu bersama, apapun yang terjadi."
Hari-hari berikutnya, Novi mulai melihat bapaknya dengan cara yang berbeda. Ia merasa bangga memiliki bapak yang berani dan penuh kasih. Ia ingat betapa bapaknya selalu membimbingnya dalam belajar, tempat bertanya semua pelajaran, bapaknya selalu bisa membantu menjawab, hingga sekarangpun saat Novi menjadi mahasiswa. Novi  bertekad untuk segera lulus dengan baik dan bekerja. Ia ingin membantu biaya operasi plastik bapaknya agar bisa terlihat lebih baik.
Dengan penuh rasa syukur, Novi kini memeluk bapaknya dengan erat. "Bapak, aku menyayangimu. Terima kasih telah menjadi bapak terbaik," ujarnya dengan tulus. Dan di saat itu, mereka berdua tahu bahwa sayang keluarga adalah kekuatan yang tak tergantikan.
***
Teriring salam dan doa kepada para ayah di hari ayah, 12 November 2024, semoga ayah sehat dan bahagia selalu.Â
"Selamat Hari Ayah, pahlawanku. Ayah adalah teladan hidupku. Ayah adalah pelindungku. Ayah adalah motivasiku"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H