Setiap kebakaran adalah luka baru. Keluarga Syahrul kehilangan semua yang dimilikinya dalam sekejap. Kontrakanya, tempat ia ia bernaung melindungi anak istri, kini hanya tinggal puing-puing, semua harta bendanya ludes, bahkan pakaian tinggal di badan, termasuk surat-surat berharga terutama Ijazah Sarjananya hangus tak berbekas. Dengan air mata yang mengalir, ia berdoa agar bisa bangkit kembali, meski harapan terasa semakin tipis. Untungnya bantuan untuk warga korban kebakaran datang silih berganti, termasuk Walikota ikut turun tangan.
Di tengah kesedihan itu, hidup harus berjalan terus. Mina berusaha untuk tetap tegar. Ia membuka jasa menyetrika baju untuk membantu keuangan keluarga. Syahrul, meski tidak lagi mengajar di SMA karena penampilannya yang menakutkan, membuat siswa takut dan protes orang tua. Ia mulai membuka jasa pengetikan karya tulis, print, desain grafis dan analisis data, pekerjaan yang sangat membantu mahasiswa terutama mahasiswa yang skripsinya tidak kelar-kelar dan terancam DO. Suami istri ini berjuang keras demi Novi Riany, putri semata wayang mereka, agar tetap mendapat asupan gizi, penampilan yang layak dan keinginan agar mendapat pendidikan sampai perguruan tinggi.
Namun, di sekolah SD, Novi sering diolok-olok teman-temannya. "Bapaknya seperti monster, monster botak!" seru mereka, membuat Novi merasa malu dan marah. Hari itu adalah hari terakhir antar jemput Novi, ketika Syahrul siap-siap mengantar, Novi tidak mau lagi diantar. "Aku malu punya bapak seperti kamu!" teriaknya, air mata mengalir di pipinya.
Mina yang mendengar itu hanya bisa menahan rasa sakit di hatinya. "Novi, sabar ya. Bapakmu berjuang demi kita semua," katanya lembut. Namun, Novi tidak mendengarkan. Ia merasa marah dan menyesal memiliki bapak yang tidak berguna.
Bahkan ketika pendaftaran SMA tiba, Mina yang biasa antar jemput, sedang sakit dan tidak bisa mengantar Novi. "Kenapa tidak ada yang mengantar aku?!" Novi marah. "Aku menyesal punya bapak seperti kamu! Bapak tidak berguna!" teriaknya, penuh emosi.
Saat ia memasuki halaman sekolah mendaftar sendiri, kenangan akan wajah bapaknya yang penuh luka bakar kembali menghantuinya. Wajah yang dianggapnya jelek, seperti monster. "Seharusnya bapakku bisa lebih baik. Kenapa harus memiliki bapak yang tidak berguna?" pikirnya sambil menahan air mata. Ia ingin mengabaikan bapaknya, merasa malu akan penampilan bapak yang membuatnya sering diolok-olok teman-temannya.
Saat sampai di rumah, ia masuk kamar tidak mau makan siang. Panas hatinya, benci sekali ia pada bapaknya. Beberapa saat kemudian, bapaknya mengetuk kamar Novi dan masuk. Dengan suara bergetar, bapaknya berkata, "Novi, aku tahu kamu marah. Tapi, aku ingin kamu mengerti sesuatu." Air mata mengalir di pipi bapaknya, membuat hati Novi bergetar.
"Novi tidak ingin melihat wajahmu, bapak! Kenapa kau tidak bisa seperti bapak-bapak lain? Kenapa kau harus jelek dan menyedihkan?" Novi berteriak, hatinya penuh kebencian dan penyesalan.
Bapaknya terdiam, menatap Novi dengan tatapan penuh kasih sayang meski hatinya hancur. "Novi, dengar bapak ya nak. Luka-luka ini adalah tanda bahwa bapak menyayangimu. Bapak terluka saat menyelamatkanmu dan ibumu dari kebakaran, kamu masih bayi ... tentu tidak ingat. Bapak menggendongmu dan melindungimu dari api dan puing-puing. Bapak tidak peduli pada diri sendiri, yang kuinginkan hanyalah keselamatan kalian," ucapnya dengan suara bergetar.
Kata-kata bapak itu membuat Novi tertegun. Ia merasa seolah dunia berputar. "Bapak... jadi... kau terluka karena menyelamatkanku?" tanyanya dengan suara bergetar.
Bapaknya mengangguk, air mata masih mengalir di pipinya. "Setiap luka ini adalah bukti sayangku padamu. Bapak tidak ingin kamu merasa malu. Bapak ingin kamu tahu bahwa apa pun yang terjadi, bapak akan selalu ada untukmu."