Namun, saat dia membuka mata, kenyataan kembali menyapanya. Hujan masih turun, dan kesunyian kembali menyelimuti hatinya. "Engkau peduli? Ah! Kurasa tidak sama sekali," lirihnya. Dia tahu, meskipun dia merindukan tuan itu, realitas tak bisa diubah. Dia harus belajar untuk melanjutkan hidup, meskipun dengan luka yang masih membekas.
Hari-hari berikutnya, Nove berusaha untuk bangkit. Dia mulai mengeksplorasi minatnya yang lain, mengambil kelas seni, dan menulis puisi. Dia menemukan kebahagiaan dalam menciptakan, dalam mengekspresikan semua perasaannya melalui seni. Meskipun tuan itu tidak ada, Nove belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menghargai setiap momen yang ada.
Namun, di dalam hatinya, kenangan tentang tuan itu tetap hidup. Dia tahu, cinta yang mereka miliki tidak akan pernah pudar. Setiap kali hujan turun, setiap kali rintik-rintik air menyentuh kulitnya, dia akan selalu mengingatnya. Dia akan selalu merindukannya, meskipun dia telah belajar untuk melanjutkan hidup.
Hari-hari berikutnya, saat Nove sedang duduk di taman, menggambar pemandangan di sekitarnya, dia melihat sosok yang sangat familiar. Jantungnya berdegup kencang saat dia menyadari bahwa itu adalah tuan itu. Dia berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. Waktu seolah berhenti, dan seluruh dunia menghilang.
"Tuan," Nove berbisik, suara hatinya bergetar. "Kemarin, di sela rintik gerimis, aku merindukanmu."
Tuan itu tersenyum, dan dalam senyumannya, Nove merasakan semua rasa sakit dan kerinduan yang pernah menyelimuti hatinya. "Aku juga," jawabnya, suaranya lembut. "Aku kembali untukmu."
Di tengah hujan yang turun, mereka berdua saling menatap, dan dalam tatapan itu, mereka tahu bahwa cinta mereka masih ada. Mungkin, ini adalah awal baru, sebuah kesempatan untuk memperbaiki segala kesalahan yang pernah terjadi. Dan di sela rintik gerimis itu, Nove merasakan harapan baru, harapan untuk cinta yang takkan pernah pudar.
Pagi hari setelah semalaman bersenda gurau, dengan segala kelelahan namun penuh kebahagiaan. Nove bangun untuk menyiapkan sarapan pagi dan secangkir kopi tubruk hitam gula aren kesukaan tuan. Ia tersentak tatkala di meja menemukan sebuah kertas berisi tulisan, oh ini tulisan tuan, ini sebuah puisi. Dibacanya, dipejamkan mata sejenak untuk menghayati makna baris per baris, bait per bait dengan segenap jiwa raga. Beruraian air mata, mulutnya bergetar ketika membaca :
Secangkir Kopi di Balik Hujan
oleh : Tuan
Ah, nyonya yang pernah tersenyum manis
Di mana hati kini berdiam, merayap dalam hening yang dinamis?
Barangkali kau lupa, pahit kopi terakhir yang kau teguk
Meninggalkan jejak di dasar cangkir, cerita yang belum juga usai tertutup debu
Nyonya, mungkin kau ingat, hujan kemarin memeluk malam
Tetes rintik menari di kaca, seperti langkah-langkah resah yang kau sembunyikan dalam diam
Kita yang pernah saling menyerap rindu di tengah hiruk-pikuk dunia
Sekarang masing-masing mengadu pada pagi, mengusut sisa-sisa luka