Betapa indahnya kota kecil yang terletak di antara pegunungan dan laut itu dengan suasana dingin selalu diliputi kabut, pagi ini hujan gerimis mulai turun dengan lembut. Rintik-rintik air itu menari di atas atap rumah, menciptakan melodi yang seakan mengajak setiap jiwa untuk merenung. Di dalam sebuah ruangan yang sederhana, Nove duduk di depan jendela, menatap keluar dengan tatapan kosong. Hatinya dipenuhi oleh kenangan yang tak kunjung pudar, kenangan tentang seorang pria yang pernah mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
"Kemarin, di sela rintik gerimis," bisiknya pelan, seolah-olah mengharapkan kata-kata itu bisa mengubah kenyataan. "Apa kabarmu, tuan? Lama sudah tidak memorak-porandakan." Nove mengingat kembali saat-saat indah dan pahit bersamanya, saat di mana ego dan cinta saling beradu, menciptakan badai yang tak pernah reda.
Dia mengingat bagaimana mereka sering berdebat, saling mempertahankan pendapat masing-masing, hingga suara mereka menggelegar di antara dinding-dinding rumah. Namun, di balik semua itu, ada cinta yang tulus, ada kerinduan yang tak terungkapkan. "Masihkah egomu menawan?" tanyanya pada bayangan yang tak pernah kembali.
Mungkin, Nove berpikir, dia telah melupakan semua luka yang pernah mereka bagi. Mungkin dia masih mencari sesuatu yang takkan pernah kembali. Hatinya bergetar saat mengingat bagaimana mereka pernah berjanji untuk saling menjaga, untuk tidak membiarkan jarak memisahkan mereka. Namun, kenyataan berbicara lain. Tuan itu pergi, membawa serta sebagian dari jiwanya.
"Sungguh! Ini hanyalah sebuah gaduh," Nove melanjutkan, suaranya semakin lembut. "Kangen berseteru memulai lagi perang itu." Duniaku sepi tanpa kamu, pikirnya. Dia merindukan suara tawanya, merindukan perdebatan yang penuh semangat, merindukan semua yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Kini, hanya ada kesunyian yang mengisi ruang itu, seolah-olah semua warna telah sirna.
Nove menutup matanya, membiarkan air mata mengalir membasahi pipinya. Dia teringat saat-saat ketika mereka menari bersama di tengah hujan, saat di mana dunia terasa sempurna. Namun, semua itu kini hanyalah kenangan yang terpendam dalam hati, terkurung dalam kotak waktu yang tak bisa dibuka.
"Memakamkan mimpi," Nove bergumam. "Setelah hati kalah oleh sepi." Dia merasa seolah-olah telah kehilangan arah, terjebak dalam labirin emosinya sendiri. Perasaannya semakin dalam, dan dia tahu, tuan itu pergi seperti biasa, entah ke mana. Dia meninggalkan luka yang masih sama, yang tak pernah sembuh.
Dia membuka matanya, menatap keluar jendela. Gerimis semakin deras, seolah-olah alam pun merasakan kesedihannya. "Tahukah? Kemarin ... Gerimis membatin," katanya dengan nada penuh harap. "Rintiknya turun tragis, menangis, dilumat waktu nan sadis." Dia ingin tahu apakah tuan itu peduli, apakah dia merindukannya seperti dia merindukannya.
Hari-hari berlalu, dan Nove terus terjebak dalam kenangan. Dia mulai menulis di buku hariannya, mencurahkan semua perasaannya. Setiap halaman dipenuhi dengan kata-kata yang menggambarkan kerinduannya, rasa sakitnya, dan harapannya akan suatu hari bisa bertemu lagi. Dia menulis tentang bagaimana dunia terasa hampa tanpa kehadiran tuan itu, bagaimana setiap detik terasa seperti selamanya.
Malam itu, saat hujan turun dengan lebat, Nove memutuskan untuk keluar. Dia ingin merasakan hujan di kulitnya, ingin membiarkan air membasahi semua kesedihannya. Dia melangkah keluar, menari di bawah rintik-rintik air, membiarkan diri terhanyut dalam melodi hujan. Dalam setiap langkah, dia merasa seolah-olah tuan itu ada di sampingnya, menari bersamanya, mengisi kekosongan yang ada.
Di tengah tarian itu, Nove merasakan sesuatu yang aneh. Seolah-olah ada kehadiran yang familiar, seolah-olah tuan itu benar-benar ada di sana, menemaninya. Dia menutup mata dan membiarkan ingatan itu mengalir, membiarkan semua rasa sakit dan kerinduan menyatu dalam gerakan tubuhnya. Dia merasa hidup kembali, meskipun hanya untuk sejenak.
Namun, saat dia membuka mata, kenyataan kembali menyapanya. Hujan masih turun, dan kesunyian kembali menyelimuti hatinya. "Engkau peduli? Ah! Kurasa tidak sama sekali," lirihnya. Dia tahu, meskipun dia merindukan tuan itu, realitas tak bisa diubah. Dia harus belajar untuk melanjutkan hidup, meskipun dengan luka yang masih membekas.
Hari-hari berikutnya, Nove berusaha untuk bangkit. Dia mulai mengeksplorasi minatnya yang lain, mengambil kelas seni, dan menulis puisi. Dia menemukan kebahagiaan dalam menciptakan, dalam mengekspresikan semua perasaannya melalui seni. Meskipun tuan itu tidak ada, Nove belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menghargai setiap momen yang ada.
Namun, di dalam hatinya, kenangan tentang tuan itu tetap hidup. Dia tahu, cinta yang mereka miliki tidak akan pernah pudar. Setiap kali hujan turun, setiap kali rintik-rintik air menyentuh kulitnya, dia akan selalu mengingatnya. Dia akan selalu merindukannya, meskipun dia telah belajar untuk melanjutkan hidup.
Hari-hari berikutnya, saat Nove sedang duduk di taman, menggambar pemandangan di sekitarnya, dia melihat sosok yang sangat familiar. Jantungnya berdegup kencang saat dia menyadari bahwa itu adalah tuan itu. Dia berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. Waktu seolah berhenti, dan seluruh dunia menghilang.
"Tuan," Nove berbisik, suara hatinya bergetar. "Kemarin, di sela rintik gerimis, aku merindukanmu."
Tuan itu tersenyum, dan dalam senyumannya, Nove merasakan semua rasa sakit dan kerinduan yang pernah menyelimuti hatinya. "Aku juga," jawabnya, suaranya lembut. "Aku kembali untukmu."
Di tengah hujan yang turun, mereka berdua saling menatap, dan dalam tatapan itu, mereka tahu bahwa cinta mereka masih ada. Mungkin, ini adalah awal baru, sebuah kesempatan untuk memperbaiki segala kesalahan yang pernah terjadi. Dan di sela rintik gerimis itu, Nove merasakan harapan baru, harapan untuk cinta yang takkan pernah pudar.
Pagi hari setelah semalaman bersenda gurau, dengan segala kelelahan namun penuh kebahagiaan. Nove bangun untuk menyiapkan sarapan pagi dan secangkir kopi tubruk hitam gula aren kesukaan tuan. Ia tersentak tatkala di meja menemukan sebuah kertas berisi tulisan, oh ini tulisan tuan, ini sebuah puisi. Dibacanya, dipejamkan mata sejenak untuk menghayati makna baris per baris, bait per bait dengan segenap jiwa raga. Beruraian air mata, mulutnya bergetar ketika membaca :
Secangkir Kopi di Balik Hujan
oleh : Tuan
Ah, nyonya yang pernah tersenyum manis
Di mana hati kini berdiam, merayap dalam hening yang dinamis?
Barangkali kau lupa, pahit kopi terakhir yang kau teguk
Meninggalkan jejak di dasar cangkir, cerita yang belum juga usai tertutup debu
Nyonya, mungkin kau ingat, hujan kemarin memeluk malam
Tetes rintik menari di kaca, seperti langkah-langkah resah yang kau sembunyikan dalam diam
Kita yang pernah saling menyerap rindu di tengah hiruk-pikuk dunia
Sekarang masing-masing mengadu pada pagi, mengusut sisa-sisa luka
Namun, nyonya, hidup ini seperti secangkir kopi
Pahit atau manis tergantung bagaimana kita menyeduh, menyaring tiap peristiwa menjadi makna
Ego tuan hanya butiran gula yang larut, hilang tak berbekas
Dan kau, nyonya, adalah aroma hangat yang selalu kurindukan di tiap tegukan, di tiap napas
                                                            ***
Roman ini terinspirasi, diadaptasi dan dilisensi dari puisi berjudul "Kemarin, di Sela Rintik Gerimis" oleh penyair dari Sumedang "Itha Abimanyu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H