Mohon tunggu...
Falah Yu
Falah Yu Mohon Tunggu... Guru - ngajar

suka sama cerita horor.cerpen.puisi.cerbung.humor

Selanjutnya

Tutup

Horor

Pesugihan Tanpa Tumbal

25 Oktober 2024   22:38 Diperbarui: 30 Oktober 2024   21:07 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan deras turun seperti menguntai kisah kelam dalam hidup Marsidi. Waktu itu tengah malam, seakan menjadi saksi bisu atas kecelakaan naas yang menghancurkan segalanya. Suara gesekan logam mencakar aspal menggema di telinganya, mobil yang yang ia sopiri sendiri terbalik, melayang diangkasa terbanting ke aspal, meledak diperempatan jalan yang sepi ia merasa tiba-tiba didepannya ada tembok hitam yang tebal, ia tidak bisa menghindar. Api membara dalam sekejap menyerang tubuhnya, dan rasa sakit yang luar biasa menyebar, melahap setiap serat kulit. Ketika semua gelap, ia merasa, ini adalah awal dari kegelapan yang lebih dalam.

Terbangun di rumah sakit, setelah koma hampir 1 bulan, tubuhnya diselimuti perban. Sekitar 85,13% permukaan kulit hangus, daging terkelupas dan sisa aroma pembakaran menyengat hidung. Marsidi  ingin berteriak, namun suara tidak mau keluar. Ketika dokter menjelaskan kondisi  Marsidi  dan tagihan yang yang mulai menggerogoti kekayaan, seakan langit runtuh di atas pundaknya. Secara logika dia seharusnya mati, tapi hidup kadang tidak pakai logika. Dalam ketidak berdayaan, ia mendengar bisik dari rekan pasar yang membezuknya, bahwa saingan toko didekatnya telah mencelakai dengan ilmu hitam, demi mengalahkan toko Marsidi yang laris. Marsidi pengusaha toko sembako yang dimulai dari nol hingga besar, kini terperosok ke dalam kehampaan.

Menyusul perawatan yang panjang dan menyiksa, kesembuhan berlarut-larut, dengan tebusan mahal, berulangkali keluar masuk rumah sakit di kota untuk operasi plastik memperbaiki bagian-bagian tubuh dan wajahnya yang rusak agar tidak seperti monster. Semua tabungan mulai menipis untuk biaya rumah sakit, dan hutang-hutang membanjir. Asetnya ia lego, ruko yang cicilan nunggak dan terpaksa disita bank. Jatuh keluarga itu ke titik nadir.

Dengan semangat yang tersisa, keluarga Marsidi pindah ke kontrakan kecil di ujung desa jauh dari tetangga, berusaha memulai hidup baru. Dengan tanggungan tiga anak yang masih memerlukan biaya sekolah, yang ragil kelas 3 SD, yang tengah kelas 7 SMP, dan yang tertua kelas X SMA. Walau kondisi tubuhnya tidak normal seperti dulu. Istrinya mulai merintis usaha kuliner dengan sewa kios di pasar. Namun, usaha itu tidak berjalan baik. Usaha kuliner sangat sepi, seperti suasana kuburan yang menghantui malam. Kegalauan melanda pikiran suami istri. Rezeki seperti tidak mau berkompromi lagi dengan keluarganya. Dalam keputus asaan, sebuah pemikiran absurd melintas di benaknya, kembali ke Guru yang pernah membantunya.

***

Malam itu, terlihat rumah besar yang terang benderang, Marsidi dengan istri, berjalan menyusuri jalan dengan tanaman bunga yang indah di kanan kiri menuju rumah yang bisa dipanggil Guru, beliau tidak mau disebut dan tidak merasa sebagai dukun, paranormal, cenayang atau orang pintar, panggil saja Guru. Kediaman Guru bukan keremangan seperti rumah dukun kebanyakan, tidak ada dupa, kemenyan maupun bunga 7 rupa.

Tiba di depan rumah guru, ada resepsionis dan mencatat keperluan. Begitu masuk ke ruang tunggu sudah mengantri orang-orang dengan keperluan masing-masing. Tidak ada yang saling sapa dan tegur, cuma mengangguk dan senyum tipis, mereka punya agenda dan rahasia masing-masing.  

4,5 jam kemudian. "Nomor 13, silahkan masuk", panggilan dari resepsionis. Marsidi tahu itu nomor urut dia, masuklah dia ke ruang kerja Guru. Seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam menyambut. "Marsidi. Aku memang sedang menunggumu," katanya dengan suara serak, seolah dia sudah tahu segala yang terjadi.

"Jadi, Guru tahu akan maksud kedatangan saya," tanya Marsidi, berusaha mengendalikan debaran jantungnya.

"Ha ha ha ya tentu tahulah, semua yang datang ke sini pasti ada keperluan. Ada yang pingin jadi gubernur, bupati, jadi anggota legislatif, pingin suaminya tidak selingkuh, pingin laris bisnisnya, pingin kaya, pasang susuk aura, pingin kebal, apa saja di sini, pingin jodoh, pingin mencari suaminya yang 1 bulan tidak pulang, lengkap dan komplit. Sudah basa-basinya, ceritakan keperluanmu apa?".

Di ruang kerja yang dingin dan modern interiornya, ada TV Android, di depan Guru dengan pakaian ala direktur  sedang kucak-kucik laptop, mungkin membuat catatan bagi tamu-tamu yang berkunjung. Marsidi mulai bercerita tentang kecelakaan dan kehancuran keluarga serta usaha kuliner yang sepi pembeli. Guru mendengarkan sambil manggut-manggut dan mencatatnya di laptop, dia memberikan solusi yang terdengar konyol, namun Marsidi sangat ingin mencobanya.

"Sediakan ruangan khusus," katanya. "Sebuah kendil tertutup. Setiap malam Jum'at Legi, masuk ke dalam ruangan, baca bacaan ini dengan yakin dan buka kendil. Kau akan mendapat uang. Syaratnya, menutup kendil jangan sampai terbalik" Kata Guru sambil ngeprint bacaan tapi bukan mantra apalagi do'a dan nota mahar yang harus ditebus.

"Maaf Guru, tapi betul ini tanpa tumbal kan?", tanya Marsidi meyakinkan, karena tidak ingin terjadi apa-apa.

***
Malam Jum'at legi jam 03.13 dengan gigi gemeretak, merasakan ketegangan saat menjalani ritual. Di ruangan khusus tanpa lampu, Marsidi bersama istri membaca bacaan, dibaca sampai 13 kali,  kemudian membuka kendil yang tertutup erat. Dibukanya perlahan dengan hati berdebar-debar, ternyata kosong. Dibolak balik kendil, tangan meraba-raba dalam kendil, ternyata kosong. Keringat dingin mengucur. "Ah Guru menipu kita ya ?," kata istri pada suami. "Ah enggak mungkin bu, Guru orang sakti dan termashur, sudah banyak yang sukses. Bahkan banyak caleg, pejabat yang sukses berkatnya", elak  Marsidi. "Kita coba baca bacaan lagi bu, mungkin kita kurang yakin" kata Marsidi kepada istrinya. "Ya, kita harus yakin dan lebih serius baca bacaan, jangan sampai salah". Akhirnya mereka membaca bacaan secara sungguh-sungguh.

Menakjubkan, dibuka tutup muncul uang dari kendil melimpah keluar sampai tumpah-tumpah, bau khas uang baru, berwarna merah. Mereka sangat terkejut. " kendilnya penuh uang, kita kaya pak" kata istrinya setengah teriak. "Hus bu, jangan kencang-kencang, nanti anak-anak bangun". Marsidi dan istri merasakan kegembiraan dan kebangkitan hidup. Setiap malam Jum'at Legi, mereka gajian. Marsidi berduit kembali, menghidupi keluarga, membayar utang piutang, kekecewaan perlahan sirna. Ia menjadi jutawan mendadak seperti habis menang lotre.

Namun, saat euforia berlanjut, ada kesalahan melintas. Setelah 2 tahun 6 bulan hidup bergelimang harta, usaha kuliner lancar, mampu membeli kendaraan, tanah dan membangun rumah besar dan mewah. Saat keceriaan melanda, saat tak peduli apa gunjingan orang-orang. Setelah membaca bacaan Marsidi lupa. Lupa menutup kendil dengan benar, terbalik. Awalnya ia merasa biasa saja. "Ah masa tutup terbalik saja jadi masalah, nih aku kembalikan ke semula" gumamnya. Tapi ketika Jum'at Legi berikutnya setelah baca bacaan, kendil dibuka, tak ada uang seperserpun, kendil kosong. Hati Marsidi dan istri runtuh mencengkeram kesedihan, ditutup lagi dengan benar dan paginya dibuka, kosong. Dicobanya ritual Jum'at legi pekan berikutnya, kosong. Dicoba berikutnya kosong.

Kembali jatuh miskin mereka, ada-ada saja cara kekayaan Marsidi yang menguap, lenyap. Seperti istri sakit dan dirujuk ke rumah sakit di kota. Bekas luka terbakar Marsidi yang infeksi. Anak sakit bergantian. Semua harapan seakan terbang entah ke mana, dan mimpi kembali menjadi gelap. Marsidi dan istri mulai hampa lagi, usaha kuliner sepi. Ia menunggu dengan harapan, tetapi keputus asaan melanda.

Sementara itu datang teror untuk keluarganya, barang-barang sering pecah tanpa sebab, beterbangan, pintu dibanting, bisik-bisik memanggil  nama-nama keluarganya dan bayangan hitam melintas, mengganggu tidur anak-anaknya. Lampu-lampu malam menempel di langit-langit nyala mati, mengubah ruangan dengan nuansa kegelapan. Tak ada satu malampun dimana Marsidi  dan anak istri tidur tenang. Merasa tertekan, Marsidi kembali ke Guru untuk meminta bantuan mengatasi teror.

Dua hari setelah pulang dari  Guru, anak sulung Marsidi mengalami kecelakaan, terjatuh dari sepeda dan mengalami gegar otak. Meskipun selamat, biaya rumah sakit yang harus dibayar semakin membebani mereka. Sungguh ujian hidup yang bertubi-tubi.

***
Setelah beberapa minggu tanpa gangguan, Marsidi dengan tiada jera kembali menemui  Guru.  Kali ini Guru memberi uang ajaib sejumlah Rp 5.050.000,- dengan syarat yang ketat, uang itu harus dibelanjakan habis. Setiap kali habis, uang itu akan kembali ke dalam kendil. Marsidi merasa diberi harapan baru dan berusaha keras merencanakan pengeluaran agar sesuai.

Namun, kehidupan tampaknya terlalu keras untuk ditaklukkan. Dalam suatu momen kelalaian, setelah membayar biaya-biaya kuliah anaknya, uang tersisa Rp 50.000. "Ah, cuma Rp 50.000 ini lagi, nanti sore bisa kubelanjakan," gumamnya. Tapi tiba-tiba, dari balik semak-semak, seekor monyet datang entah dari mana, mengendap-endap dan langsung merampas uang tersebut. Marsidi terkejut dan langsung mengejar sambil berteriak, "Hei, monyet! Kembalikan uang itu! Jangan kau ambil!"

Namun, si monyet seolah mengabaikan teriakannya. Uang di tangan mungilnya dikibas-kibaskan, membuat Marsidi semakin geram. "Monyet, itu uangku! Kau nggak butuh uang, kan? Kembalikan sekarang!" Marsidi membujuk, napasnya terengah.
Si monyet hanya memandang sekilas dengan mata jahil, kemudian melompat ke dahan pohon terdekat dan memamerkan uang yang baru saja direbutnya. Seperti main-main, si monyet mulai menggigit uang itu dengan gigi tajamnya, mengoyak sebagian dan menjatuhkannya ke tanah.

"Monyet, kumohon... itu untuk keluargaku! Aku bisa kehilangan segalanya!" teriak  Marsidi putus asa, air matanya mulai menggenang. Namun, si monyet tidak tergerak. Makin parah, uang itu terus dikoyak-koyak, sebagian bahkan ditelan.  Marsidi hanya bisa berdiri lemas, menyaksikan lembaran uang yang tinggal sebagian hancur berkeping-keping, tak lagi bisa digunakan.

Tanpa uang itu, uang dalam kendil tidak akan pernah kembali. Marsidi hanya bisa teriak, menyadari kesalahan kecilnya telah membawanya kembali ke dalam jurang kemiskinan. Semua harapan yang pernah ia punya kini hancur lebur, seolah hilang ditelan nasib malang dalam bentuk seekor monyet yang membawa pergi sisa-sisa kehidupannya.

***
Kembali dia ke  Guru. "Guru... Saya tidak mengerti. Bukankah Guru berkata kendil itu akan memberikan uang tanpa syarat?" tanya Marsidi seperti nada protes.

Guru menghela napas panjang, seolah lelah mendengar keluh-kesah yang sudah sering didengar. "Kendil itu tidak meminta tumbal, benar. Tapi keserakahan dan kerakusanmu, Marsidi... itu yang menjadi masalah. Kau tak pernah merasa cukup, tak pernah berhenti mencari-cari, memaksakan agar kekayaan datang dalam sekejap. Dan kau lihat apa hasilnya? Keluargamu tidak diberkati dengan kedamaian. Malapetaka datang silih berganti."

Marsidi merasa tenggorokannya tercekat. Bayangan kecelakaan yang menimpa diri dan anaknya terlintas dalam pikiran, juga keluarganya yang keluar masuk rumah sakit, teror yang menimpa. Kekayaan cepat ludes.  Semua itu... baru sekarang terasa seperti peringatan. "Guru... saya kira tidak ada tumbal. Tapi kenapa ini semua terjadi? Mengapa nasib buruk seperti ini menimpa saya?" tanya Marsidi menunjukkan kekecewaan.

Guru memandangi Marsidi. "Sudah kubilang tidak ada tumbal. Tetapi ketika seseorang mencari kekayaan dengan cara yang salah, alam akan berbalik melawan. Semesta memiliki caranya sendiri untuk menghukum keserakahan. Kau mengambil lebih dari yang seharusnya, dan akibatnya adalah kemalangan bertubi-tubi."

Marsidi  merasa tercekik oleh kebenaran yang menyakitkan. "Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan?" Tanya Marsidi sambil menunduk.

Guru menjawab. "Belajarlah bersyukur, Jangan sekali lagi kau meremehkan hidup. Berbaliklah dari kegelapan sebelum terlambat, atau kau akan mengorbankan lebih banyak lagi."

Dengan perasaan campur aduk, Marsidi  meninggalkan rumah Guru, setiap langkah terasa semakin berat. Malam itu, dalam keheningan yang mencekam,  Marsidi berdo'a dan meminta ampunan. Ia bertekad untuk menempuh jalan baru, meninggalkan semua praktik kelam yang menghantuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun