Lady tersenyum pahit, merasa kalimat itu begitu akrab di telinganya. "Iya... Rasanya kayak tenggelam dalam air, tapi nggak bisa berenang. Mau teriak tapi nggak ada suara yang keluar."
Otto menghela napas, matanya tetap tertuju pada Lady. "Tapi di antara semua itu, kita masih bisa bertahan, Lady Octoria. Masih bisa nulis. Masih bisa cari cara buat ngerti diri kita sendiri." Dia berhenti, lalu tersenyum kecil. "Dan kadang, kita ketemu orang yang ngerasa sama. Kayak sekarang."
Mata Lady sedikit berbinar, merasa kehangatan yang selama ini jarang dia rasakan. "Kamu benar. Mungkin ini alasan kenapa aku nggak pernah berhenti nulis, meskipun kadang rasanya sia-sia. Aku selalu nulis untuk ngerti diri sendiri... dan mungkin juga untuk nemuin seseorang yang ngerti aku."
Otto menatapnya dengan penuh perhatian, lalu berkata lembut, "Lady Octoria, kamu bukan cuma tulisanmu. Kamu lebih dari itu. Kamu adalah seluruh dirimu, dengan semua kekuatan dan kelemahanmu." Ada keheningan sejenak, lalu dia menambahkan, "Dan aku suka semuanya."
Perkataan Otto membuat Lady terdiam, jantungnya berdebar. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi terasa begitu dalam. Dia menatap Otto, merasa simpati yang mereka miliki perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pemahaman. Mungkin ini bukan sekadar persahabatan. Mungkin ini adalah bentuk cinta yang tumbuh dari saling memahami luka.
Lady tersenyum, "Terima kasih, Otto. Kamu nggak tahu seberapa pentingnya kata-kata itu buat aku."
Otto tersenyum, tatapannya lembut, seolah ingin mengatakan banyak hal tapi memilih untuk menyimpannya dalam hati. "Aku juga, Lady Octoria. Aku nggak pernah nyangka akan ketemu seseorang yang bisa bikin aku merasa nggak sendirian. Rasanya kayak... aku udah lama nunggu ini."
Lady tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. Di tengah segala keterasingan dan perasaan terjebak dalam pikirannya sendiri, dia merasa menemukan tempat di hati seseorang yang mengerti dirinya dengan utuh. Untuk pertama kalinya, dia merasa mungkin, meskipun dunia mereka berantakan, mereka bisa saling merangkul dan berjalan bersama.
Tetapi, perjalanan mereka tidak mudah. Kedua jiwa yang rapuh ini sering kali harus bergulat dengan diri mereka sendiri. Ada saat-saat ketika Lady merasa begitu rendah hingga dia menghindari Otto berhari-hari. Begitu pula Otto, yang kadang-kadang terperangkap dalam pikirannya sendiri, tenggelam dalam kesunyian yang mendalam. Tetapi mereka terus berusaha, meskipun hubungan mereka diwarnai oleh naik turun yang tak terhindarkan. Mereka tahu bahwa cinta di antara mereka bukan tentang memperbaiki satu sama lain, melainkan tentang saling mendukung dalam kegelapan. Antara stigma masyarakat dan keraguan sendiri dia tuangkan dalam pusi:
Cinta diantara 2 Kutub
Karya: Â Lady Octoria
Aku adalah ombak yang tak pernah tenang
Kadang aku terhempas di atas langit
Di puncak angin yang memeluk tanpa batas
Kadang aku tenggelam jauh ke dasar laut
Ditarik arus kelam yang tak pernah henti menarik