Lady Octoria, lahir 10 Oktober 27 tahun lalu di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tipis setiap pagi. Setiap hari duduk di mejanya yang berantakan, diapit tumpukan buku-buku usang dan secangkir dark chocolate yang dingin, berusaha menciptakan dunia dari kata-kata. Dia adalah seorang penulis yang brilian, dikenal karena tulisan-tulisannya yang puitis dan menyentuh jiwa. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di balik karya-karya indahnya, tersembunyi perjuangan yang tak kasat mata, pertempuran batinnya melawan gangguan bipolar.
Hari-hari Lady tidak pernah seragam. Ada masa-masa ketika ide-ide mengalir deras seperti air terjun di benaknya. Pada saat itulah fase manic datang, membuatnya merasa seperti burung yang bebas terbang ke angkasa. Dalam satu malam, dia bisa menulis berlembar-lembar cerita, menciptakan karakter dan dunia yang menakjubkan. Kata-katanya meloncat-loncat di atas halaman, penuh gairah, hidup, dan menggugah perasaan.
Namun, setelah euforia itu hilang, datanglah kegelapan yang mencekam. Fase depresi menyeretnya ke dasar jurang tanpa dasar. Ketika itu terjadi, bahkan menulis satu kalimat pun terasa seperti beban yang tak tertahankan. Dunia yang tadinya penuh warna berubah kelabu, tak ada lagi cahaya di dalamnya. Lady tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak berujung, dan setiap kali dia merasa tenggelam, dia hanya bisa duduk dalam keheningan, merasakan kekosongan yang menelan seluruh dirinya.
Seperti malam ini, di tengah malam yang hening, Lady duduk di depan laptopnya. Ruangan kecilnya dipenuhi kertas-kertas yang berisi catatan, ide-ide yang tercoret di mana-mana. Lampu di mejanya menyala terang, menyinari wajahnya yang berseri-seri, penuh gairah. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard, begitu cepat hingga suara ketikannya menjadi seperti irama yang berderak. Dia tak merasa lelah, seolah-olah energinya tidak ada habisnya. Kata-kata mengalir deras dari pikirannya, seperti air sungai yang meluap. Dalam semalam, dia bisa menulis berpuluh-puluh halaman cerita, menghidupkan karakter yang sebelumnya hanya bayangan samar dalam benaknya.
Saat itu, ide-ide terasa begitu jelas, hampir tak terkejar. Dia menulis tentang dunia fantasi, tentang petualangan, tentang cinta yang membara. Segala sesuatu tampak mungkin, segala mimpi terlihat dekat. Kegembiraan meluap di dadanya, melintasi setiap kata yang dia tuangkan. Artikel-artikelnya pun lahir dengan cepat, tentang topik-topik yang sebelumnya terasa berat, kini terasa ringan dan bisa dia selesaikan dengan mudah. Lady merasa tak terkalahkan, otaknya penuh dengan inspirasi, seolah-olah dia tengah melayang di atas awan, menggapai segala impian.
Namun, di balik itu, ada sesuatu yang tidak terlihat. Dia mulai mengabaikan makan, lupa beristirahat. Matanya kian merah, lingkar hitam muncul di bawah kelopaknya. Tetapi dia terus menulis, terperangkap dalam gelombang euforia yang seakan-akan tak berujung.
Lima hari kemudian, Jum'at pagi, suasana berubah drastis. Matahari yang biasa menerangi kamarnya terasa terlalu terang, menusuk matanya. Lady berbaring di atas tempat tidur, meringkuk di bawah selimut. Tidak ada energi yang tersisa, seolah seluruh kekuatan yang membara dalam dirinya beberapa hari yang lalu tersedot habis. Laptopnya yang biasanya setia di mejanya kini terabaikan. Kertas-kertas yang dulu penuh dengan ide brilian kini tampak berserakan tanpa makna. Dia tak sanggup menatapnya, karena setiap kata terasa berat, seperti beban yang tak mampu dia pikul.
Di dalam pikirannya, hanya ada kekosongan. Setiap usaha untuk menulis terasa sia-sia. Tangan yang dulu menari di atas keyboard kini terasa lumpuh. Setiap kalimat yang ingin dia ketik selalu terhenti di tengah jalan, tersangkut dalam kabut gelap yang menyelimuti pikirannya. Dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi abu-abu, tanpa semangat, tanpa kehidupan.
Lady merasa terperangkap dalam tubuhnya sendiri, tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak bertepi. Pikiran-pikiran negatif merayap ke dalam benaknya, membuatnya meragukan segala hal, karyanya, dirinya sendiri, bahkan tujuan hidupnya. Suara dalam kepalanya terus berkata, "Apa gunanya menulis? Tidak ada yang akan peduli." Dan dia percaya pada suara itu, menyerah pada rasa putus asa yang menghimpit dada.
Bahkan bangun dari tempat tidur terasa seperti tugas yang mustahil. Dia ingin tidur terus, melarikan diri dari dunia yang kini tampak begitu asing dan penuh beban. Handphone berdering, WA masuk, tapi dia mengabaikannya. Dia tidak ingin bicara dengan siapa pun. Tidak ada yang bisa mengerti betapa hancurnya dia di dalam, meski dari luar semuanya tampak baik-baik saja.
Dalam fase depresi ini, Lady kehilangan semua kepercayaan diri yang dia miliki saat manic. Keheningan terasa pekat, dan dia hanya berharap bisa menghilang sejenak, menunggu sampai badai gelap ini berlalu, meskipun dia tidak yakin kapan itu akan terjadi.
Stigma dari orang-orang di sekitarnya kerap membuat luka itu semakin dalam. Tidak semua orang memahami bipolar, apalagi menerima seseorang dengan kondisi seperti itu. Banyak yang menganggap Lady hanya berlebihan, terlalu dramatis, atau bahkan sekadar mencari perhatian. Beberapa teman menjauh, menghindari dirinya saat suasana hatinya berubah-ubah dengan cepat. Bahkan keluarganya sendiri terkadang tidak tahu harus berbuat apa. Ibunya yang penyayang pernah mengatakan, "Lady, kamu hanya butuh bersyukur lebih. Hidup ini tidak seburuk itu." Kata-kata itu, meski niatnya baik, membuat Lady merasa semakin terasing. Mereka tidak memahami betapa sulitnya hidup di dalam pikirannya sendiri.
Malam, ketika perasaan putus asa begitu kuat, Lady menemukan sebuah komunitas yang mendiskusikan kesehatan mental secara terbuka, "Bipolar Care Indonesia". Awalnya dia ragu untuk bergabung, takut akan penilaian orang-orang. Namun, dalam percakapan yang panjang di forum itu, dia menemukan seseorang yang mengerti kondisinya dengan begitu dalam. Nama pria itu adalah Otto Iskandar, seorang penulis yang juga berjuang melawan gangguan bipolar.
Percakapan mereka yang semula hanya tentang tulisan perlahan berubah menjadi obrolan panjang tentang kehidupan, mimpi, dan ketakutan. Lady menemukan kenyamanan dalam cara Otto berbicara tentang kesedihan yang dia alami, dan bagaimana dia mencoba menyeimbangkan kreativitasnya dengan stabilitas emosional yang begitu rapuh. Otto tidak hanya mendengar, dia mengerti, karena dia juga merasakan hal yang sama. Kini Lady tidak lagi merasa sendirian.
Setelah dua bulan berkomunikasi melalui email dan handphone, mereka memutuskan untuk bertemu. Di sebuah kafe kecil yang tenang, sambil meresapi alunan Bernadya dengan lagu "Untungnya Hidup Harus Tetap Berjalan", Lady dan Otto duduk di meja pojok, saling memandang. Mereka baru pertama kali bertemu setelah dua bulan bertukar cerita melalui pesan dan email. Ada kesunyian yang nyaman di antara mereka, bukan karena kekakuan, melainkan karena masing-masing merasakan ikatan yang mendalam.
Lady menyesap dark chocolate-nya perlahan, mencoba mencari kata-kata. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena gugup, tetapi karena perasaan campur aduk yang menyeruak di dalam hatinya. Dia menatap Otto, yang duduk di depannya, terlihat tenang tapi jelas ada banyak hal yang berputar di pikirannya.
Lady mulai membuka percakapan, "Kadang rasanya aneh, ya... Kita bisa merasa begitu dekat hanya dengan berbicara lewat tulisan." Dia tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya. "Aku nggak pernah nyangka bisa ketemu orang yang benar-benar ngerti apa yang aku rasain."
Otto menatapnya dengan tatapan yang lembut, senyumnya muncul perlahan. Ada sesuatu di matanya yang membuat Lady merasa dimengerti, sesuatu yang jarang dia temukan di orang lain.
Otto menjawab "Aku juga nggak nyangka, Lady Octoria. Kita sama-sama berusaha untuk bertahan... di dunia yang kadang terasa nggak adil buat kita." Dia menatap jari-jarinya yang saling meremas, lalu menatap Lady lagi. "Tapi, kita ngerti. Aku ngerti apa yang kamu rasain."
Lady menunduk sejenak, menghela napas panjang, merasa lega mendengar kata-kata Otto. "Iya... Kadang aku capek banget, Otto. Kadang aku pengen lepas dari semua ini, dari bipolar, dari semua perasaan yang naik turun nggak karuan."
Otto mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku juga sering ngerasa kayak gitu. Pas manic, aku bisa ngerasa seolah dunia ada di tangan aku, semua berjalan cepat, semua ide datang sekaligus. Tapi setelah itu..." Dia berhenti sejenak, suaranya melembut, "setelah itu, datang masa-masa di mana aku nggak bisa ngapa-ngapain. Dunia jadi hampa, dan aku cuma bisa bertanya-tanya, 'Kenapa aku harus ngerasain ini semua?'"
Lady tersenyum pahit, merasa kalimat itu begitu akrab di telinganya. "Iya... Rasanya kayak tenggelam dalam air, tapi nggak bisa berenang. Mau teriak tapi nggak ada suara yang keluar."
Otto menghela napas, matanya tetap tertuju pada Lady. "Tapi di antara semua itu, kita masih bisa bertahan, Lady Octoria. Masih bisa nulis. Masih bisa cari cara buat ngerti diri kita sendiri." Dia berhenti, lalu tersenyum kecil. "Dan kadang, kita ketemu orang yang ngerasa sama. Kayak sekarang."
Mata Lady sedikit berbinar, merasa kehangatan yang selama ini jarang dia rasakan. "Kamu benar. Mungkin ini alasan kenapa aku nggak pernah berhenti nulis, meskipun kadang rasanya sia-sia. Aku selalu nulis untuk ngerti diri sendiri... dan mungkin juga untuk nemuin seseorang yang ngerti aku."
Otto menatapnya dengan penuh perhatian, lalu berkata lembut, "Lady Octoria, kamu bukan cuma tulisanmu. Kamu lebih dari itu. Kamu adalah seluruh dirimu, dengan semua kekuatan dan kelemahanmu." Ada keheningan sejenak, lalu dia menambahkan, "Dan aku suka semuanya."
Perkataan Otto membuat Lady terdiam, jantungnya berdebar. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi terasa begitu dalam. Dia menatap Otto, merasa simpati yang mereka miliki perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pemahaman. Mungkin ini bukan sekadar persahabatan. Mungkin ini adalah bentuk cinta yang tumbuh dari saling memahami luka.
Lady tersenyum, "Terima kasih, Otto. Kamu nggak tahu seberapa pentingnya kata-kata itu buat aku."
Otto tersenyum, tatapannya lembut, seolah ingin mengatakan banyak hal tapi memilih untuk menyimpannya dalam hati. "Aku juga, Lady Octoria. Aku nggak pernah nyangka akan ketemu seseorang yang bisa bikin aku merasa nggak sendirian. Rasanya kayak... aku udah lama nunggu ini."
Lady tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. Di tengah segala keterasingan dan perasaan terjebak dalam pikirannya sendiri, dia merasa menemukan tempat di hati seseorang yang mengerti dirinya dengan utuh. Untuk pertama kalinya, dia merasa mungkin, meskipun dunia mereka berantakan, mereka bisa saling merangkul dan berjalan bersama.
Tetapi, perjalanan mereka tidak mudah. Kedua jiwa yang rapuh ini sering kali harus bergulat dengan diri mereka sendiri. Ada saat-saat ketika Lady merasa begitu rendah hingga dia menghindari Otto berhari-hari. Begitu pula Otto, yang kadang-kadang terperangkap dalam pikirannya sendiri, tenggelam dalam kesunyian yang mendalam. Tetapi mereka terus berusaha, meskipun hubungan mereka diwarnai oleh naik turun yang tak terhindarkan. Mereka tahu bahwa cinta di antara mereka bukan tentang memperbaiki satu sama lain, melainkan tentang saling mendukung dalam kegelapan. Antara stigma masyarakat dan keraguan sendiri dia tuangkan dalam pusi:
Cinta diantara 2 Kutub
Karya: Â Lady Octoria
Aku adalah ombak yang tak pernah tenang
Kadang aku terhempas di atas langit
Di puncak angin yang memeluk tanpa batas
Kadang aku tenggelam jauh ke dasar laut
Ditarik arus kelam yang tak pernah henti menarik
Aku adalah bintang yang terbit dan padam
Bersinar terang di satu malam
Lalu hilang, lenyap
Dalam gelap yang tak pernah kutahu akhirnya
Tapi, di antara gemuruh pikiranku
Aku masih berhak jatuh cinta
Meski hati ini terkadang rapuh
Meski pikiranku sering kali kusut dan kusam
Aku ingin merangkul cinta seperti cahaya pagi
Yang datang perlahan, menghangatkan
Meskipun malamku begitu panjang
Aku tahu cinta adalah hak setiap manusia
Hak yang tak bisa dihapuskan oleh gelapnya pikiranku
Mungkin kita, yang hidup di antara dua kutub
Tidak sempurna, sering kali terhuyung
Tapi bukankah cinta adalah tentang saling memeluk?
Tentang saling memahami celah dan retak?
Aku, yang jatuh dan bangkit
Masih berhak mencintai dan dicintai
Karena cinta bukan hanya untuk mereka yang utuh
Tapi juga untuk kita, yang mencari cahaya di dalam badai
***
Ketika ayahnya membaca salah satu tulisannya yang menceritakan perjuangannya dengan bipolar, dia menangis. Untuk pertama kalinya, dia menyadari betapa berat beban yang dipikul putrinya selama ini. "Maafkan Ayah, Nak. Kami tidak pernah benar-benar mengerti," ucapnya dengan air mata yang mengalir di pipinya. Sejak saat itu, keluarganya berusaha lebih terbuka, lebih mendengarkan, dan lebih mendukung, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan Lady masih panjang.
Lady menyadari bahwa meskipun bipolar tidak pernah benar-benar hilang, dia tidak lagi sendirian. Ada Otto di sisinya, keluarganya yang kini mendukung, dan sebuah komunitas yang memberinya kekuatan. Di tengah naik turun emosi, Lady menemukan cara untuk tetap menulis, menciptakan keindahan dari rasa sakitnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H