Mohon tunggu...
Fakta P.B.
Fakta P.B. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pencari loker. Penulis spesialis lomba. Tukang makan yang doyan berimajinasi.

Laki-laki asal Semarang yang numpang lahir di Jakarta dan tinggal di Bekasi. Punya hobi melahap segala fiksi dan nonfiksi (khususnya topik kepenulisan atau literasi, biografi, film, dan humaniora); menuangkan imajinasi, perasaan, atau riset kecil-kecilan ke dalam karya fiksi; mendengarkan musik segala genre sesuai selera; bersepeda; jalan santai; kulineran; rebahan; dan koleksi kaset pita buat konsumsi pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laki-laki yang Merawat Mimpi

12 Agustus 2023   18:04 Diperbarui: 12 Agustus 2023   18:27 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pras, cita-citamu mau jadi apa?"

"Jadi presiden, Pak!"

Seisi kelas berisi delapan siswa, termasuk Pras, berubah riuh. Ada yang terbahak geli, ada pula yang tersenyum meledek. Anak-anak kelas 5 SD Panca Nusa berpikir impian terpendam milik Pras terlalu tinggi dan mustahil untuk diraih. Pak Kasdiman, guru bahasa Indonesia yang menanyakan cita-cita sebelum memulai pelajaran, segera menenteramkan suasana.

"Sudah, sudah. Jangan ribut. Menurut Bapak, itu cita-cita yang sangat bagus, kok. Harus didukung. Kalian tahu, tidak banyak anak-anak seumuran kalian yang bermimpi jadi presiden, dan Bapak hargai itu. Kenapa kalian tertawa?"

Mardaji alias Aji, si ketua kelas, berdiri. "Itu aneh, lho, Pak. Mana mungkin dia bisa jadi presiden," telunjuknya diarahkan kepada Pras yang duduk berselang satu deret darinya, "dia, kan, miskin seperti kita. Saya yang jadi ketua kelas malah lebih pantas."

"Betul, Pak..." sahut lainnya.

Nuning alias Ning, salah satu dari tiga siswi dan paling cerewet, ikut menambahi. "Pras juga gampang sakit, sering telat bayar SPP, terus pernah telat upacara lima kali, masa kepingin jadi presiden. Mana ada presiden kayak gitu, Pak. Memble, huuu!"     

"Wuuuu...."

"Sudah! Bapak kecewa kalau sikap kalian jadi begitu. Gampang mencemooh dan menilai buruk sesuatu yang belum kalian tahu." Pak Kasdiman lalu mendekati meja Pras. "Coba beritahu alasan tentang cita-citamu."

Pras termangu menatap wajah gurunya. Sempat diliriknya ekspresi teman-teman yang ikut penasaran, menunggu jawaban.

"Jika saya bisa jadi presiden, saya akan menyelamatkan sekolah ini. Saya bisa bawa Ibu naik haji. Dicintai semua orang dan dihormati negara lain. Itu alasannya, Pak."

Tiba-tiba suasana sesunyi kuburan. Mata Ning membelalak. Aji menganga. Begitu juga Pak Kasdiman. Lelaki 63 tahun berkacamata yang juga merangkap sebagai wali kelas itu merasa ada hantaman keras menubruk dadanya. Kata-kata Pras seperti bukan dilahirkan dari bibir seorang anak SD. Ia merasa ada keunikan tersimpan dalam diri Pras, selayaknya mutiara tertimbun pasir lautan.

"Pak?" Pras menepuk lengan Pak Kasdiman, menyadarkannya. Diam-diam, dari ujung mata sang guru, terdapat titik bening hendak mengaliri pipinya. Pelajaran akhirnya dimulai.

Pras bisa menjawab demikian, sebab telinganya pernah tak sengaja menguping pembicaraan antara wali kelasnya dengan kepala sekolah. Hari Jumat, usai jam pulang berdentang dan kelas-kelas mulai ditinggalkan, Pras dapat jadwal piket bersama Yayuk dan Satrio. Ia hendak membuang kantung sampah ke bak penampungan. Saat itulah, samar-samar suara berat dan bernada tinggi terdengar dari dalam ruangan kepala sekolah yang hampir setiap hari tertutup. Pras sempat menangkap bayang-bayang dua orang itu dari gorden tipis yang sedikit terbuka.

"Saya sangat tidak setuju! Banyak sekali kenangan dan perjuangan yang meliputi sekolah ini, Pak. Anak-anak semakin ceria setiap hari. Bertahun-tahun kita dapat kepercayaan penuh dari wali murid. Walaupun akreditasi sulit menandingi kabupaten lain bahkan tingkat kotamadya, tapi sekolah ini patut dipertahankan. Bukankah Anda berjanji mengemban amanah dari tiga pimpinan terdahulu?" 

"Pak Diman perlu tahu bahwa progres keberlangsungan sekolah kini ditentukan sistem zonasi. Kita kehilangan 75 persen siswa. Mereka memprioritaskan bersekolah di luar kota yang lebih bergengsi. Fasilitas juga sudah banyak yang tidak layak. Dana penunjang pendidikan dari pemerintah pusat belum ada kejelasan lagi. Saya sampai bosan mengirim surat pernyataan lewat pos dan surel. Pak Diman juga tahu, kan, tiga guru sudah mengundurkan diri?"

Pak Kasdiman mengangguk pasrah. Realita di depan mata sudah terlalu pahit. Tiga guru yang dimaksud sudah lama pindah ke luar kota. Mutasi ke sekolah lain. Hanya dia dan tujuh guru lain yang memilih bertahan.

"Jadi, sekolah ini akan benar-benar hilang?"

"Ya. Satu tahun lagi."

"Bagaimana keputusan pihak pendiri?"

"Minggu lalu, para investor memboyong serta kepala konstruksi dan pengacara menemui keluarga pewaris. 30 persen pembelian tanah sekaligus balik nama sudah dilakukan. Orang-orang kota itu memberikan kesempatan selama setahun untuk kita sebelum mengubahnya menjadi vila." 

Percakapan terhenti sebab kepala Pras membentur kusen kaca. Ia terbirit kembali ke kelas. Meski tak mampu mengerti sepenuhnya, tetapi benaknya menangkap bakal ada sesuatu yang terjadi terhadap sekolah. Pras kemudian memilih menyimpan rahasia itu.

***

Di kamarnya, terpikir oleh Pras ingin menulis surat untuk presiden. Ia ingin pemimpin negara mengetahui nasib sekolahnya. Tangannya kemudian merobek bagian tengah buku tulis, meraih pena dalam tas, lalu sibuk menyusun kalimat pembuka.

Assalamualaikum, Pak Presiden. Perkenalkan, nama saya Prastowo Handyoko. Siswa kelas 4 SD Panca Nusa dari Kabupaten Bangun Bedoyo, Jawa Tengah. Saya, mewakili sekolah, mau menyampaikan sesuatu kepada Bapak. Saat sedang piket, tidak sengaja saya mendengar kalau sekolah akan ditutup. Disulap jadi vila sama orang kota. Saya tidak tahu dari kota mana, cuma itu membuat semuanya sedih. Saya, teman-teman, bapak dan ibu guru, tidak mau kehilangan sekolah tercinta ini...

Tulisan terputus. Ibu menghambur masuk kamar, meminta dibelikan garam dan bawang merah untuk pecel pincuk dagangannya esok pagi. Seiring langkah menuju warung, Pras mendapati Aji baru saja diserang tiga bocah dari dusun lain.

"Kamu kenapa, Ji?"

Aji langsung menggenggam erat lengan baju Pras. Wajahnya pias berkeringat. "Tolongin aku, Pras. Mereka malak uangku, padahal mau kubelikan layangan."

"Aku juga enggak bisa ngelawan mereka sendirian. Kita atur siasat saja."

Mereka berdua membuntuti ketiga bocah. Sebentar lagi bocah-bocah itu akan melewati rumah Pakde Harjo, seorang tuan tanah yang punya dua anjing besar. Tali kekangnya terikat mengendur dan pagar berandanya terbuka. Saat itulah, Pras melontarkan kerikil dengan karet, mengarahkannya ke moncong. Kebetulan, tiga bocah itu melintas dan si anjing mengira merekalah pelakunya. Tanpa ampun kejar-kejaran pun terjadi. Kocar-kacir. Adegan itu membuat Pras dan Aji tertawa puas. Karena peristiwa itu Aji mengubah penilaiannya terhadap Pras. Ia tak mau lagi meremehkan impian orang baik yang tulus menolongnya.

Kebaikan dari diri Pras turut mengaliri temannya yang lain. Tiga hari setelah menolong Aji, ternyata Ning diserang demam tinggi. Membuatnya kepayahan jika nekat masuk sekolah. Tanpa diketahui olehnya, dengan cekatan dan detil Pras menyalin seluruh materi yang disampaikan guru. Sebelum senja menyapa, catatan itu lantas diantarkan ke rumah Ning, membuat gadis yang selalu dikepang rambutnya itu terharu.

Pras tak henti melakukan kebaikan untuk orang-orang di sekelilingnya. Teman sekelasnya lambat laun berubah simpatik dan mendukung cita-citanya. Tak lupa ia terus mencurahkan isi hatinya untuk presiden melalui surat. Walau kemudian tanpa terasa usianya menginjak angka 19, perubahan belum kunjung datang, Pras tetap merawat mimpinya. Menjadi presiden untuk mengabulkan harapannya.[]

Bekasi, 11-12 Agustus 2023

BIONARASI

 

Pemuda asli Semarang yang tinggal di Bekasi ini lahir setahun sebelum Orde Baru tumbang. Nyemplung di dunia kepenulisan saat SMP, manuskrip perdananya cerpen 5 halaman di kertas HVS. Hobi melahap segala fiksi, mendengarkan musik lawas, berburu lomba, dan menggurat karya yang membuncah di kepala. Jika ingin menyapa, colek saja @faktaputra97. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun