Tiba-tiba suasana sesunyi kuburan. Mata Ning membelalak. Aji menganga. Begitu juga Pak Kasdiman. Lelaki 63 tahun berkacamata yang juga merangkap sebagai wali kelas itu merasa ada hantaman keras menubruk dadanya. Kata-kata Pras seperti bukan dilahirkan dari bibir seorang anak SD. Ia merasa ada keunikan tersimpan dalam diri Pras, selayaknya mutiara tertimbun pasir lautan.
"Pak?" Pras menepuk lengan Pak Kasdiman, menyadarkannya. Diam-diam, dari ujung mata sang guru, terdapat titik bening hendak mengaliri pipinya. Pelajaran akhirnya dimulai.
Pras bisa menjawab demikian, sebab telinganya pernah tak sengaja menguping pembicaraan antara wali kelasnya dengan kepala sekolah. Hari Jumat, usai jam pulang berdentang dan kelas-kelas mulai ditinggalkan, Pras dapat jadwal piket bersama Yayuk dan Satrio. Ia hendak membuang kantung sampah ke bak penampungan. Saat itulah, samar-samar suara berat dan bernada tinggi terdengar dari dalam ruangan kepala sekolah yang hampir setiap hari tertutup. Pras sempat menangkap bayang-bayang dua orang itu dari gorden tipis yang sedikit terbuka.
"Saya sangat tidak setuju! Banyak sekali kenangan dan perjuangan yang meliputi sekolah ini, Pak. Anak-anak semakin ceria setiap hari. Bertahun-tahun kita dapat kepercayaan penuh dari wali murid. Walaupun akreditasi sulit menandingi kabupaten lain bahkan tingkat kotamadya, tapi sekolah ini patut dipertahankan. Bukankah Anda berjanji mengemban amanah dari tiga pimpinan terdahulu?"Â
"Pak Diman perlu tahu bahwa progres keberlangsungan sekolah kini ditentukan sistem zonasi. Kita kehilangan 75 persen siswa. Mereka memprioritaskan bersekolah di luar kota yang lebih bergengsi. Fasilitas juga sudah banyak yang tidak layak. Dana penunjang pendidikan dari pemerintah pusat belum ada kejelasan lagi. Saya sampai bosan mengirim surat pernyataan lewat pos dan surel. Pak Diman juga tahu, kan, tiga guru sudah mengundurkan diri?"
Pak Kasdiman mengangguk pasrah. Realita di depan mata sudah terlalu pahit. Tiga guru yang dimaksud sudah lama pindah ke luar kota. Mutasi ke sekolah lain. Hanya dia dan tujuh guru lain yang memilih bertahan.
"Jadi, sekolah ini akan benar-benar hilang?"
"Ya. Satu tahun lagi."
"Bagaimana keputusan pihak pendiri?"
"Minggu lalu, para investor memboyong serta kepala konstruksi dan pengacara menemui keluarga pewaris. 30 persen pembelian tanah sekaligus balik nama sudah dilakukan. Orang-orang kota itu memberikan kesempatan selama setahun untuk kita sebelum mengubahnya menjadi vila."Â
Percakapan terhenti sebab kepala Pras membentur kusen kaca. Ia terbirit kembali ke kelas. Meski tak mampu mengerti sepenuhnya, tetapi benaknya menangkap bakal ada sesuatu yang terjadi terhadap sekolah. Pras kemudian memilih menyimpan rahasia itu.