Setelah menuntaskan sebuah panggilan, dada Sapto ditimpa kegundahan. Kakak perempuan satu-satunya tiba-tiba mengalami sesak napas dan sempat hilang kesadaran sepuluh menit sebelumnya. Lantun duka itu lekas dilayangkan oleh sang bibi jelang pukul tujuh malam yang kebetulan berniat mampir ke rumah untuk memberikan bingkisan lebaran.Â
"Kamu bagaimana, sih, mosok Idul Fitri masih sibuk cari uang di sana? Ra ono libure blas! Memangnya awakmu ndak kasihan sama saudara sendiri? Sudah tiga tahun kamu minggat. Aku ndak bisa jamin kalau besok Mbakyu-mu masih menyambutmu dengan senyuman. Pulang saja sekarang!" hardik Bulik Narti, adik bungsu dari ibu Sapto yang kini sudah berpulang bersama belahan jiwanya.Â
Percakapan diakhiri tanpa salam seperti biasanya. Sapto mafhum benar jika Bulik Narti sudah memuntahkan nada tinggi layaknya orator, lelaki gempal berkacamata 33 tahun itu tak mampu berkutik. Ia sudah menganggap bibinya sebagai ibu asuh, menyalakan kembali cita kasih yang sempat meredup lima tahun lalu. Bersama Kirana, sang kakak yang juga jadi harta berharganya, Sapto mampu menapaki kegilaan dunia dengan tegar.
Keesokan paginya, tanpa pikir panjang Sapto langsung menghadap atasannya dengan raut pias. Ia memohon waktu cuti sampai dua minggu. Untung saja, manajer biro periklanan itu memaklumi lewat senyum tipis namun tulus, turut berduka dengan kondisi yang dialami anak buahnya. Setelah mendapatkan surat izin, Sapto bergegas mengemasi seluruh perlengkapan ke dalam koper dan ransel. Mengarungi jalanan Nagasaki menuju bandara Osaka dengan taksi. Di kepalanya bergantian melintas wajah kakaknya yang kuyu, raut kesal Bulik Narti, dan rekening tabungan hasil kerja selama tiga tahun, pelan terkikis.
***
Burung raksasa mendarat di bandara Adi Sumarmo sepuluh menit lebih lambat dari biasanya. Ia tergopoh menuju deretan taksi sambil menguasai rasa lapar yang mulai merongrong. Langsung dikebut menuju RS Murni Kasih. Di kursi belakang Sapto kembali menyimak isi pesan suara kiriman Bulik Narti yang baru dapat dibukanya.
"Mbakyu-mu dirawat di Ruang Kencana nomor 127, lantai lima. Oh, ya, nanti kamu temui Dokter Sadewo juga. Beliau yang mengurus proses perawatannya."
Tidak butuh waktu lama bagi Sapto saat menyusuri selasar tiap bangsal rumah sakit berlantai delapan tersebut. Sosok yang dicarinya baru saja selesai memeriksa kondisi Kirana bersama dua suster berwajah mungil. Sapto langsung menahan langkah Dokter Sadewo. Â
"Jadi begini, Mas," sang dokter menepuk lembut bahu Sapto sambil memasang raut datar, "Mbak Kirana mengalami hipoksia yang berasal dari penyakit paru obstruktif kronis atau COPD. Dari diagnosis yang kami lakukan, ternyata penyakit tersebut sudah diderita pasien sejak lima tahun lalu, ditambah kurangnya kadar oksigen dalam darah sehingga memicu jumlah karbon monoksida. Pengidap COPD dapat mengalami gangguan pernapasan saat sel atau jaringan dalam tubuh tidak mendapatkan asupan oksigen sebanyak yang dibutuhkan, normalnya 75 sampai 100 persen. Jika gejala ini berkelanjutan, dapat terjadi peradangan, terutama di bagian alveoli atau kantung udara paru-paru."
"Lalu, selanjutnya gimana, Dok?" kejar Sapto cemas. Keringat di sekujur wajahnya masih menderas walau di atas kepalanya terhembus kesiur pendingin ruangan.
"Untuk kesembuhan pasien, Mas tinggal melakukan tiga hal: berdoa, ikhtiar, dan istirahat yang cukup. Oh, ya, satu lagi yang tak kalah penting. Melunasi biaya administrasi."
Setibanya di konter administrasi, Sapto tambah dibuat bingung sekaligus kesal. Teller perempuan melayani setengah mengantuk, memberi penjelasan teknis soal surat persetujuan yang harus dibubuhi tanda tangan dari Sang Penggores.
"Memang siapa, sih, Sang Penggores? Kepala pengurus rumah sakit? Dokter senior? Donatur utama pembangunan gedung? Kenapa saya harus minta tanda tangan ke dia?"
"Bukan, Pak. Beliau memang pihak luar rumah sakit, tapi jika ingin melanjutkan perawatan, memantau perkembangan riwayat penyakit, bahkan persetujuan untuk operasi memang harus melalui Sang Penggores sebagai pemberi izin sekaligus penjamin keselamatan pasien."
"Sebegitu pentingnya peran orang itu, hah?" Si teller mengangguk yakin.
"Aneh amat!" Sapto menunjuk-nunjuk kolom kosong di kanan bawah surat. "Setahu saya, dari tahun jebot sampai sekarang sudah 2034, di rumah sakit mana pun, yang berhak menandatangani justru pihak keluarga atau sanak famili sama dokter yang bersangkutan. Selain itu, nonsense! Lha ini kok orang luar malah pake ikut-ikutan."
"Prosedurnya sudah dari tiga tahun lalu, Pak. Semua pasien di sini tidak ada yang keberatan dengan aturan tersebut, karena hanya melalui persetujuan Sang Penggores, pasien akan ditindaklanjuti atau tidak. Khusus untuk pasien rawat inap saja, selain itu tidak perlu."
Mata Sapto kian membelalak. "Sontoloyo! Kemarikan suratnya!" Â Tiga lembar kertas itu lalu ditanyakan ke Dokter Sadewo. Ternyata sang dokter turut mengiyakan, membuat kepalanya terus berdenyut. Ia muntab ingin menemui pimpinan rumah sakit, tapi tangkas dicegah oleh sepasang sekuriti. Maka, tidak ada jalan keluar selain menemui Sang Penggores demi sebuah tanda tangan yang menentukan nyawa kakaknya.
***
Tidak cukup mudah untuk mencari Sang Penggores yang bermukim jauh dari keriuhan ibukota. 500 kilometer dari Kota S, harus melewati puluhan jalan beraspal, kelokan, pertigaan, dan gang-gang kecil. Berbekal alamat yang diberikan pihak rumah sakit dan tanya sana-sini, Sapto mulai menemukan titik terang. Dalam radius sekian meter lagi, ia menemukan lokasi yang dicari: Jalan Keadilan, Gang Nadi, nomor 010. Setelah melewati enam rumah penduduk, balai desa, lalu menyusuri hutan jati yang dikelilingi kesenyapan, tibalah Sapto pada tujuan. Rumah berdinding kayu jati, beratap rumbia, dan beralaskan tanah humus. Berseberangan dengan rawa, dikelilingi lima batang pohon bambu besar, serta surau tak berkaca dan berpintu tak jauh dari sana. Saat lelaki berambut ikal itu menghampiri kediaman Sang Penggores sembari menyibak gerumbul ilalang, lima orang melawan arah di hadapannya. Selintas tertangkap kekecewaan dari mata dan mulut mereka.
"Tahu begitu tiga hari yang lalu saya kemari, ya..."
"Bikin dongkol aje! Emangnye kite kagak punya kesibukan selain nunggu kagak jelas juntrungannya gini. Mentang-mentang banyak yang nyari, jadi belagak sok penting!"
"Kalau berhasil ketemu, kita musti protes! Emangnya kita boneka apa?"
"Alahh, kelamaan! Enggak usah banyak cingcong, langsung jotos aja. Beres urusan."
Sapto terus melenggang, pura-pura tuli terhadap embus ocehan. Di halaman rumah terlihat ada dua orang yang menunggu. Seorang lelaki paruh baya berpakaian necis bak manajer eksekutif serta perempuan muda dengan seragam putih abu-abu. Keduanya sempat terperanjat dengan kedatangan Sapto, berseri tipis lalu kembali datar. Sapto mulai menyalami mereka sebagai tanda perkenalan sambil memasang senyum selebar mungkin.
"Ada urusan apa datang ke sini, Pak? Urusan bisnis, ya?"
Lelaki tambun yang dipenuhi uban dari balik tipis rambut itu menjawab, "Ya, begitulah. Anda bisa menilai sendiri dari penampilan saya, kan? Saya datang kemari dengan niat dan tekad bulat. Enggak seperti orang-orang payah tadi, baru tiga hari nunggu aja udah nyerah, padahal ngakunya punya hajat darurat. Memble!"Â
Sapto menilik kostum lelaki bernama Yongki tersebut dari atas ke bawah. Kemeja hijau lumut dibalut jas tuxedo, dasi garis hitam putih mencapai perut, celana bahan, dan sepatu kulit cokelat. Tersemat cincin akik sebesar jengkol di ketiga jari kanan serta liontin menggayuti lehernya.
"Kalau boleh tahu, bisnis apa, Pak?"
 "Saya dapat proyek mega nasional, ngebangun lahan tambang di Jeneponto. Mantep, kan? Saya ke sini karena ditunjuk langsung sama Dirut buat ngedapetin tanda tangan Sang Penggores biar proyeknya gol. Nih, buktinya!" Sambil menyapu keringat yang terus mengaliri dahi sampai tompel di bibirnya, Yongki mengeluarkan beberapa berkas resmi dari perusahaan swasta terkemuka, lengkap dengan tanda tangan kementerian ESDM. Secepat kilat lembaran-lembaran itu dimasukkan lagi dalam koper.
Sapto beralih menatap perempuan berseragam yang duduk di atas balai-balai. Si perempuan sempat balas melirik, tahu akan ditanya. "Kalau Dik Sulastri?"
"Minta tanda tangan surat rekomendasi buat masuk UI dari Kepsek."
"Wuiihh..., bagus, dong! Mau ngambil jurusan apa?"
"Rahasia! Intinya, tujuan saya buat ngebuktiin kalau anak dari keluarga miskin juga bisa kuliah di kampus bergengsi. Enggak dikasih beasiswa dari pemerintah juga enggak masalah, saya bisa freelance. Daripada punya gelar tinggi tapi digunain buat jilat atas-bawah biar dapat proyek mentereng," pungkas Sulastri tajam sambil mencuri pandang pada Yongki.
"Cih, belagu amat lu, bocah! Kalau emang dasarnya melarat, enggak usah sok kuliah. Ngelindur lu mau masuk kampus elite? Ngaca! Paling baru bayar semester satu udah amblas tuh duit. Jadi beban negara, dah!" sembur Yongki.
"Seenggaknya saya lebih baik daripada Anda. Gaya mewah tapi jiwanya miskin. Enggak malu, tuh, lulusan sarjana ekonomi tapi jadi tikus kantor? Makan duit haram tiap hari."
"Bangsat!" Yongki merangsek maju hendak menampar, namun tangannya segera dicengkeram Sapto.
"Sudah, Pak, enggak ada gunanya berantem. Apa pun urusannya, toh kita sama-sama butuh Sang Penggores buat meluluskan permintaan." Amarah di dada Yongki sedikit mereda. Ketiganya kembali dilingkupi keheningan, menunggu sosok Sang Penggores membuka pintu dan menyambut mereka.
***
Setahun tanpa sadar menggilas kesabaran. Penantian tak menghasilkan apa-apa selain jengkel dan gundah. Yongki pamit pulang, begitu juga Sulastri. Mereka berjanji akan kembali minggu depan. Keduanya tertatih menembus hutan jati begitu letih dan kuyu. Anehnya, Sapto masih belum kapok menunggu kehadiran Sang Penggores, walau sebulan belakangan beberapa warga yang melintas memperingatkan jika sosok yang ditunggu tidak ada di tempat. Dikatakan bahwa Sang Penggores sedang terlibat proyek pariwisata musim panas di Okinawa, menghadiri rapat kerja penanggulangan tsunami di Aceh, sedang tafakur di Madinah, ikut tim perdamaian ke Palestina, mendampingi imam besar di Istanbul, menjadi tim logistik di Afrika. Entah kesaksian mana yang benar.
Tanpa disangka, ketika Sapto hampir menyerah, tanah di sekitar rumah berguncang hebat. Kilat menyambar-nyambar, deras hujan membuncah. Angin badai mengempaskan tubuhnya hingga ke halaman surau. Lamat-lamat ada pendar cahaya yang membesar menyilaukan mata, mencoba menyeretnya untuk merangkak ke dalam. Dari balik kemilau itu mulai terdengar riuh takbir bersahutan seperti di Makkah. Sontak mengalirkan sungai dari pelupuk mata Sapto lalu turut berseru lirih. Dahinya perlahan menyentuh lantai keramik yang pecah-pecah.
Lelaki itu kemudian merasakan ada seseorang yang berbisik parau di telinga kanannya, "Yang kau cari ada di Negeri Kekal. Dia sedang bertelekan di atas kursi emas bersama bidadari, menikmati secawan madu dan sepiring kurma."
Tak ada siapa-siapa di sekelilingnya. Bisakah ia menemui Sang Penggores?[]
Â
Bekasi, 31 Maret---6 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H