Mohon tunggu...
Fakta P.B.
Fakta P.B. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pencari loker. Penulis spesialis lomba. Tukang makan yang doyan berimajinasi.

Laki-laki asal Semarang yang numpang lahir di Jakarta dan tinggal di Bekasi. Punya hobi melahap segala fiksi dan nonfiksi (khususnya topik kepenulisan atau literasi, biografi, film, dan humaniora); menuangkan imajinasi, perasaan, atau riset kecil-kecilan ke dalam karya fiksi; mendengarkan musik segala genre sesuai selera; bersepeda; jalan santai; kulineran; rebahan; dan koleksi kaset pita buat konsumsi pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Sebuah Tanda Tangan

26 Juli 2023   23:24 Diperbarui: 26 Juli 2023   23:42 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Rahasia! Intinya, tujuan saya buat ngebuktiin kalau anak dari keluarga miskin juga bisa kuliah di kampus bergengsi. Enggak dikasih beasiswa dari pemerintah juga enggak masalah, saya bisa freelance. Daripada punya gelar tinggi tapi digunain buat jilat atas-bawah biar dapat proyek mentereng," pungkas Sulastri tajam sambil mencuri pandang pada Yongki.

"Cih, belagu amat lu, bocah! Kalau emang dasarnya melarat, enggak usah sok kuliah. Ngelindur lu mau masuk kampus elite? Ngaca! Paling baru bayar semester satu udah amblas tuh duit. Jadi beban negara, dah!" sembur Yongki.

"Seenggaknya saya lebih baik daripada Anda. Gaya mewah tapi jiwanya miskin. Enggak malu, tuh, lulusan sarjana ekonomi tapi jadi tikus kantor? Makan duit haram tiap hari."

"Bangsat!" Yongki merangsek maju hendak menampar, namun tangannya segera dicengkeram Sapto.

"Sudah, Pak, enggak ada gunanya berantem. Apa pun urusannya, toh kita sama-sama butuh Sang Penggores buat meluluskan permintaan." Amarah di dada Yongki sedikit mereda. Ketiganya kembali dilingkupi keheningan, menunggu sosok Sang Penggores membuka pintu dan menyambut mereka.

***

Setahun tanpa sadar menggilas kesabaran. Penantian tak menghasilkan apa-apa selain jengkel dan gundah. Yongki pamit pulang, begitu juga Sulastri. Mereka berjanji akan kembali minggu depan. Keduanya tertatih menembus hutan jati begitu letih dan kuyu. Anehnya, Sapto masih belum kapok menunggu kehadiran Sang Penggores, walau sebulan belakangan beberapa warga yang melintas memperingatkan jika sosok yang ditunggu tidak ada di tempat. Dikatakan bahwa Sang Penggores sedang terlibat proyek pariwisata musim panas di Okinawa, menghadiri rapat kerja penanggulangan tsunami di Aceh, sedang tafakur di Madinah, ikut tim perdamaian ke Palestina, mendampingi imam besar di Istanbul, menjadi tim logistik di Afrika. Entah kesaksian mana yang benar.

Tanpa disangka, ketika Sapto hampir menyerah, tanah di sekitar rumah berguncang hebat. Kilat menyambar-nyambar, deras hujan membuncah. Angin badai mengempaskan tubuhnya hingga ke halaman surau. Lamat-lamat ada pendar cahaya yang membesar menyilaukan mata, mencoba menyeretnya untuk merangkak ke dalam. Dari balik kemilau itu mulai terdengar riuh takbir bersahutan seperti di Makkah. Sontak mengalirkan sungai dari pelupuk mata Sapto lalu turut berseru lirih. Dahinya perlahan menyentuh lantai keramik yang pecah-pecah.

Lelaki itu kemudian merasakan ada seseorang yang berbisik parau di telinga kanannya, "Yang kau cari ada di Negeri Kekal. Dia sedang bertelekan di atas kursi emas bersama bidadari, menikmati secawan madu dan sepiring kurma."

Tak ada siapa-siapa di sekelilingnya. Bisakah ia menemui Sang Penggores?[]

 

Bekasi, 31 Maret---6 April 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun