Setibanya di konter administrasi, Sapto tambah dibuat bingung sekaligus kesal. Teller perempuan melayani setengah mengantuk, memberi penjelasan teknis soal surat persetujuan yang harus dibubuhi tanda tangan dari Sang Penggores.
"Memang siapa, sih, Sang Penggores? Kepala pengurus rumah sakit? Dokter senior? Donatur utama pembangunan gedung? Kenapa saya harus minta tanda tangan ke dia?"
"Bukan, Pak. Beliau memang pihak luar rumah sakit, tapi jika ingin melanjutkan perawatan, memantau perkembangan riwayat penyakit, bahkan persetujuan untuk operasi memang harus melalui Sang Penggores sebagai pemberi izin sekaligus penjamin keselamatan pasien."
"Sebegitu pentingnya peran orang itu, hah?" Si teller mengangguk yakin.
"Aneh amat!" Sapto menunjuk-nunjuk kolom kosong di kanan bawah surat. "Setahu saya, dari tahun jebot sampai sekarang sudah 2034, di rumah sakit mana pun, yang berhak menandatangani justru pihak keluarga atau sanak famili sama dokter yang bersangkutan. Selain itu, nonsense! Lha ini kok orang luar malah pake ikut-ikutan."
"Prosedurnya sudah dari tiga tahun lalu, Pak. Semua pasien di sini tidak ada yang keberatan dengan aturan tersebut, karena hanya melalui persetujuan Sang Penggores, pasien akan ditindaklanjuti atau tidak. Khusus untuk pasien rawat inap saja, selain itu tidak perlu."
Mata Sapto kian membelalak. "Sontoloyo! Kemarikan suratnya!" Â Tiga lembar kertas itu lalu ditanyakan ke Dokter Sadewo. Ternyata sang dokter turut mengiyakan, membuat kepalanya terus berdenyut. Ia muntab ingin menemui pimpinan rumah sakit, tapi tangkas dicegah oleh sepasang sekuriti. Maka, tidak ada jalan keluar selain menemui Sang Penggores demi sebuah tanda tangan yang menentukan nyawa kakaknya.
***
Tidak cukup mudah untuk mencari Sang Penggores yang bermukim jauh dari keriuhan ibukota. 500 kilometer dari Kota S, harus melewati puluhan jalan beraspal, kelokan, pertigaan, dan gang-gang kecil. Berbekal alamat yang diberikan pihak rumah sakit dan tanya sana-sini, Sapto mulai menemukan titik terang. Dalam radius sekian meter lagi, ia menemukan lokasi yang dicari: Jalan Keadilan, Gang Nadi, nomor 010. Setelah melewati enam rumah penduduk, balai desa, lalu menyusuri hutan jati yang dikelilingi kesenyapan, tibalah Sapto pada tujuan. Rumah berdinding kayu jati, beratap rumbia, dan beralaskan tanah humus. Berseberangan dengan rawa, dikelilingi lima batang pohon bambu besar, serta surau tak berkaca dan berpintu tak jauh dari sana. Saat lelaki berambut ikal itu menghampiri kediaman Sang Penggores sembari menyibak gerumbul ilalang, lima orang melawan arah di hadapannya. Selintas tertangkap kekecewaan dari mata dan mulut mereka.
"Tahu begitu tiga hari yang lalu saya kemari, ya..."
"Bikin dongkol aje! Emangnye kite kagak punya kesibukan selain nunggu kagak jelas juntrungannya gini. Mentang-mentang banyak yang nyari, jadi belagak sok penting!"