Tetapi menariknya ada stetmen begini dari salah seorang peserta "saya katakan kita tidak boleh mengucapkan selamat Natal sebab kita bisa memyerupai satu kaum, sambil dia mengutip dalil-dalil agama, tetapi saya menghargai dengan datang silaturahmi ke rumah-rumah keluarga, kerabat, dan sahabat. seraya mengucapkan selamat merayakan hari raya, selamat baku dapa dll".Â
Ada juga yang mengatakan boleh mengucapkan selamat Natal dengan alasan dari pengalaman pribadi keluarganya yang telah kawin-mawin antara Islam-Kristen.Â
Keempat, perihal jihad ini juga menarik ada yang bilang jihad dimasa sekarang itu adalah jihad melawan kebodohan sudah tidak lagi dengan peperangan. Tetapi ada juga peserta yang bilang, jihad harus dengan perang karena dia merujuk pada sejarah masa lalu yang selalu perang atas nama jihad bela agama dll.
Darisana ternyata, penerimaan-penerimaan akan perbedaan masih menjadi barang mahal ketika saya mendengar begitu banyak tanggapan yang justru berseberangan dengan alur sejarah atas proses panjang Islam Indonesia dan juga ketika kita berbicara multikultural dikampus hijau.Â
Masih sangat banyak yang anti akan perbedaan, dan jika ini kita biarkan terus menerus, perbedaan sebagai fakta itu justru tidak lagi menjadi kekuatan melainkan menjadi "triger" akan kehancuran akibat peperangan.
Mengikuti atau tinggal bersama orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita, mengucapkan selamat Natal, dan mengizinkan pendirian rumah ibadah (non muslim.Â
Saya ingin tutup dengan: saya mencita-citakan umat islam indonesia menjadi umat beragama yang berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan kebersamaanya yang utuh dengan segala pihak, menjunjung tinggi kebabasan sebagai sarana demokrasi. (KH. Abdurahman wahid/Gusdur)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H